Resources / Regulation / Keputusan Menteri Keuangan

Keputusan Menteri Keuangan – 301/KMK.06/2004

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2004, di anggarkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat;
  2. bahwa untuk memperlancar penyaluran subsidi BBM, diperlukan tata cara penghitungan dan pembayarannya;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Mengingat :

  1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
  2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  3. Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang;
  4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  5. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
  6. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212);
  7. Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2002 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri;
  8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 217/KMK.03/1990 tentang Mekanisme Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 531/KMK.03/2000;
  9. Keputusan Bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Keuangan Nomor : 31K/20/MEM/2003, 31/KMK.01/2003tentang Pedoman Penetapan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri oleh Pertamina.

Memperhatikan :

Surat Anggota Pembina Auditama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor : 01/S/IV-XII/01/2004 tanggal 14 Januari 2004 tentang Penempatan Sisa Dana Subsidi dan PSO di Escrow Account.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) TAHUN ANGGARAN 2004.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:

  1. Bahan Bakar Minyak yang selanjutnya disebut BBM adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang meliputi Premium, Minyak Tanah, Minyak Solar, Minyak Diesel dan Minyak Bakar.
  2. Harga Jual Eceran BBM adalah harga jual eceran BBM dalam negeri yang ditetapkan Direktur Utama PT. Pertamina (Persero) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Hasil penjualan BBM bersih adalah hasil perkalian volume penjualan BBM dalam negeri dengan harga jual dikurangi dengan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dan Margin Pemegang Pompa Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).
  4. Biaya pengadaan BBM adalah biaya penyediaan minyak mentah dan produk BBM serta biaya operasi.
  5. Nilai produk Non BBM adalah hasil penjualan produk non BBM (produk sampingan) antara lain berupa hasil penjualan Avigas, Avtur, Pertamax, Pertamax Plus, LPG, Naptha, LSWR, HOMC, LOMC, Lube Base, Lilin, Asphalt, Pertasol, Minasol, Polytham, Green Cokes, Parafinic, Residu yang berasal dari hasil kilang BBM.
  6. Biaya Operasi adalah biaya pengolahan, distribusi, angkutan laut, bunga, penyusutan dan biaya umum kantor pusat.
  7. Subsidi BBM adalah pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara hasil penjualan bersih BBM dengan biaya pengadaan BBM dan selanjutnya disebut dengan subsidi BBM.
  8. Laba Bersih Minyak yang selanjutnya disebut LBM adalah penerimaan negara yang dihitung dari selisih lebih antara hasil penjualan bersih BBM dengan biaya pengadaan BBM.
  9. Auditor adalah Instansi yang berwenang melakukan audit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 2

(1)

Subsidi BBM diberikan kepada konsumen BBM sesuai ketentuan yang berlaku.

(2)

Pemberian subsidi BBM kepada konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan Pemerintah melalui PT. Pertamina (Persero).

Pasal 3

(1)

Pembayaran subsidi BBM dilaksanakan berdasarkan permohonan tagihan pembayaran subsidi BBM yang diajukan secara tertulis setiap bulan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) kepada Menteri Keuangan cq Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Anggaran.

(2)

Permohonan tagihan pembayaran subsidi BBM diajukan oleh Direksi PT Pertamina (Persero) setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Pasal 4

(1) Jumlah Subsidi BBM yang dapat dibayarkan setiap bulannya kepada PT Pertamina (Persero) adalah:
  1. Paling tinggi 95% (sembilan puluh lima persen) dari perkiraan realisasi subsidi BBM hasil verifikasi, apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia lebih besar atau sama dengan USD 33/barrel
  2. Paling tinggi 90% (sembilan puluh persen) dari perkiraan realisasi subsidi BBM hasil verifikasi, apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia lebih kecil dari USD 33/barrel.
(2)

Pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat sementara.

Pasal 5

(1)

Dalam rangka penghitungan perkiraan realisasi subsidi BBM, dibentuk Satuan Kerja Tetap Finek BBM (Satker Tetap Finek BBM) yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.

(2)

Satker Tetap Finek BBM setiap bulan melakukan verifikasi atas data pendukung biaya pengadaan BBM, produk Non BBM (produk sampingan) dan hasil penjualan BBM bersih untuk menghitung perkiraan realisasi subsidi BBM bulanan dan triwulanan.

(3)

Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan c.q. Direktorat Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak sesuai tugas dan fungsinya melakukan evaluasi dan koreksi atas perhitungan perkiraan realisasi subsidi BBM bulanan hasil verifikasi yang dilaksanakan oleh Satker Tetap Finek BBM untuk menetapkan besaran perkiraan realisasi subsidi BBM setiap bulan dan setiap triwulan.

(4)

Besaran perkiraan realisasi subsidi BBM hasil verifikasi triwulanan dilaporkan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.

(5)

Dalam hal terdapat kelebihan atau kekurangan pembayaran subsidi BBM bulanan dibandingkan dengan perhitungan hasil verifikasi triwulanan, kelebihan atau kekurangan pembayaran subsidi BBM langsung dikoreksi pada perhitungan subsidi BBM triwulan berikutnya.

Pasal 6

(1)

Dalam rangka verifikasi, PT. Pertamina (Persero) dan BP Migas wajib menyampaikan data pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan secara lengkap kepada Satker Tetap Finek BBM.

(2) Data pendukung yang harus disampaikan oleh PT Pertamina (Persero), sekurang-kurangnya terdiri dari:
  1. Data pembelian minyak mentah dari dalam negeri dan luar negeri (impor).
  2. Data pembelian produk BBM dari dalam negeri dan luar negeri (impor).
  3. Data minyak mentah yang diolah kilang BBM Unit Pengolahan I (satu) sampai dengan Unit Pengolahan V (lima) berupa Monthly Quantity Accounting Report (MQAR);
  4. Data biaya operasi berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) PT. Pertamina (Persero) yang terdiri dari biaya pengolahan, distribusi, angkutan laut, bunga, penyusutan dan biaya umum kantor pusat.
  5. Dalam hal pada data biaya operasi terdapat komponen biaya yang menggunakan valuta asing, data biaya operasi terlebih dahulu disesuaikan dengan nilai tukar pada bulan yang bersangkutan.
  6. Data Nilai produk non BBM (produk sampingan) yang berasal dari hasil kilang BBM UP I sampai dengan UP V;
  7. Data hasil penjualan BBM di dalam negeri dan ke luar negeri (ekspor).
  8. Data pendukung lainnya yang berkaitan dengan penghitungan subsidi BBM.
(3)

Data pendukung yang harus disampaikan oleh BP Migas, adalah data pengiriman minyak mentah bagian Pemerintah dan bagian Kontraktor untuk diolah di kilang BBM.

Pasal 7

Produk Non BBM (produk sampingan) yang berasal dari hasil kilang BBM (UP I sampai dengan UP V) diperhitungkan langsung sebagai faktor pengurang (reducting factor) biaya pengadaan BBM.

Pasal 8

(1)

Data sebagaimana dimaksud pada Pasal (6) disampaikan setiap bulan selambat-lambatnya pada tanggal 5 bulan berikutnya.

(2)

Dalam hal data yang disampaikan oleh PT Pertamina (Persero) dan BP Migas dianggap kurang akurat, Pejabat Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan cq. Direktorat Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak yang ditunjuk dapat melakukan verifikasi langsung ke unit sumber data.

(3)

Dalam hal penyampaian data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penyampaian permohonan tagihan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (2) tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dapat menetapkan waktu penyampaian data pendukung dan pengajuan permohonan tagihan pembayaran subsidi BBM.

Pasal 9

Proyeksi subsidi BBM yang ditetapkan dalam APBN-P merupakan pagu subsidi BBM pada Tahun Anggaran yang bersangkutan.

Pasal 10

Besarnya subsidi BBM dalam satu tahun anggaran (final) ditetapkan berdasarkan laporan hasil audit yang disampaikan oleh auditor kepada Menteri Keuangan.

Pasal 11

(1)

Dalam hal pada akhir tahun anggaran terdapat sisa pagu subsidi BBM yang belum dibayar oleh Pemerintah kepada PT. Pertamina (Persero), sisa pagu subsidi BBM dimaksud ditempatkan pada rekening sementara PT Pertamina (Persero) di Bank Pemerintah sebagai dana cadangan subsidi BBM (escrow account).

(2)

Sisa pagu subsidi BBM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan selisih lebih antara pagu subsidi BBM dengan pembayaran subsidi BBM pada tahun anggaran yang bersangkutan.

(3)

Untuk penempatan dana cadangan subsidi BBM pada rekening sementara PT. Pertamina (Persero) di Bank Pemerintah, Direksi PT. Pertamina (Persero) mengajukan surat permohonan tertulis kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dan Direktur Jenderal Anggaran.

Pasal 12

(1)

Dalam rangka meningkatkan kelancaran pembayaran subsidi BBM setiap bulannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 4, permohonan pembayaran subsidi BBM bulanan yang diajukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) dapat dibayarkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atas permintaan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.

(2)

Setelah melakukan penelitian, evaluasi dan koreksi atas permohonan subsidi BBM yang diajukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dan Pasal 4, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan mengajukan surat permintaan pembayaran subsidi BBM kepada Direktur Jenderal Anggaran dengan tembusan kepada Menteri Keuangan yang dilengkapi dengan Surat Permintaan Penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SPP-SKO) dan Surat Permintaan Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPP-SPM).

Pasal 13

(1)

Dalam rangka pembayaran subsidi BBM hasil verifikasi triwulanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Direksi PT. Pertamina (Persero) terlebih dahulu mengajukan permohonan tagihan pembayaran subsidi BBM secara tertulis kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dan Direktur Jenderal Anggaran.

(2)

Setelah meneliti dan mengevaluasi permohonan Direksi PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal Lembaga Keuangan mengajukan permohonan persetujuan pembayaran subsidi BBM triwulanan kepada Menteri Keuangan.

(3)

Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur Jenderal Lembaga Keuangan mengajukan surat permintaan pembayaran subsidi BBM kepada Direktur Jenderal Anggaran dengan tembusan kepada Menteri Keuangan yang dilengkapi dengan Surat Permintaan Penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SPP-SKO) dan Surat Permintaan Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPP-SPM) Pembayaran subsidi BBM hasil verifikasi triwulanan.

Pasal 14

(1)

Pembayaran final subsidi BBM pada satu tahun anggaran dilaksanakan setelah Laporan Hasil Audit atas Perhitungan Realisasi Biaya Pokok, Penjualan dan Subsidi Bahan Bakar Minyak disampaikan oleh auditor kepada Menteri Keuangan.

(2)

Apabila terdapat selisih kurang antara jumlah subsidi BBM yang telah dibayar oleh Pemerintah kepada PT. Pertamina (Persero) dengan jumlah subsidi BBM yang ditetapkan dalam laporan hasil auditor pada satu tahun anggaran, kekurangan pembayaran dimaksud hanya dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

(3)

Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur Jenderal Lembaga Keuangan mengajukan surat permintaan pembayaran subsidi BBM kepada Direktur Jenderal Anggaran dengan tembusan kepada Menteri Keuangan yang dilengkapi dengan Surat Permintaan Penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SPP-SKO) dan Surat Permintaan Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPP-SPM)

(4)

Dalam hal pada satu tahun anggaran terdapat selisih lebih pembayaran subsidi BBM dengan laporan hasil audit, Direktur Utama PT. Pertamina (Persero) harus segera menyetorkan kelebihan subsidi BBM yang telah diterimanya ke Kas Negara selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak surat penagihan dari Menteri Keuangan kepada Direksi PT. Pertamina (Persero) diterbitkan dan setoran dimaksud dicatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam APBN.

Pasal 15

Berdasarkan Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (3), Direktur Jenderal Anggaran melaksanakan pembayaran subsidi BBM dengan menerbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan Surat Perintah Membayar (SPM) subsidi BBM kepada PT. Pertamina (Persero).

Pasal 16

Dalam hal terdapat penerimaan negara yang berasal dari LBM, PT. Pertamina (Persero) wajib menyetor LBM secara periodik (bulanan).

Pasal 17

(1)

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 274/KMK.06/2002 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dinyatakan tidak berlaku.

(2)

Apabila dalam Tahun Anggaran 2005 masih dianggarkan subsidi BBM, Keputusan Menteri Keuangan ini masih berlaku sebagai acuan dalam pembayaran subsidi BBM Tahun Anggaran 2005 sampai dengan ditetapkannya pengganti Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Tahun Anggaran 2004.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran subsidi BBM yang belum diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan ini akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Keuangan atas nama Menteri Keuangan.

Pasal 19

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2004.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan diJakarta
pada tanggal22 Juni 2004
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BOEDIONO

Reading: Keputusan Menteri Keuangan – 301/KMK.06/2004