Resources / Regulation / Peraturan Menteri Keuangan

Peraturan Menteri Keuangan – 128/PMK.06/2007

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, dipandang perlu mengatur petunjuk pelaksanaan tentang Pengurusan Piutang Negara dengan memperhatikan prinsip-prinsip efektifitas, efisiensi, akuntabilitas, transparansi dan kehati-hatian;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurusan Piutang Negara;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10Tahun 1998tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
  3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3437);
  4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah;
  6. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentangPiutang Negara;
  7. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan;
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.06/2007tentang Keanggotaan dan Tata Kerja Panitia Urusan Piutang Negara;
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2006tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:

  1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh negara, berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
  2. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
  3. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
  4. Panitia adalah Panitia Urusan Piutang Negara, baik tingkat pusat maupun cabang.
  5. Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal.
  6. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal.
  7. Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang pada Direktorat Jenderal.
  8. Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, atau badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki Badan Usaha Milik Negara, yang untuk selanjutnya disingkat BUMN, atau Badan Usaha Milik Daerah, yang untuk selanjutnya disingkat BUMD, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara.
  9. Penanggung Hutang adalah badan/atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan/atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang.
  10. Penjamin Hutang adalah badan/atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.
  11. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara, yang untuk selanjutnya disebut SP3N, adalah surat yang diterbitkan oleh Panitia, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang.
  12. Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara Panitia Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelesaiannya, dan sanksi.
  13. Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Panitia, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung Hutang.
  14. Pencegahan adalah larangan bepergian ke luar dari wilayah Republik Indonesia.
  15. Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Panitia Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan.
  16. Juru Sita Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab kejurusitaan.
  17. Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian hutang.
  18. Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak diikat sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan penyelesaian hutang.
  19. Penilai Internal adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang dan tanggung Jawab untuk melakukan penilaian.
  20. Nilai Pasar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak dalam waktu yang cukup, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak hati-hati, dan tanpa paksaan.
  21. Nilai Likuidasi adalah nilai properti yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya.
  22. Nilai Limit adalah nilai terendah atas pelepasan barang dalam lelang.
  23. Nilai Pembebanan adalah nilai yang tercantum dalam akta hipotik/crediet verband/hak tanggungan/fidusia.
  24. Lelang adalah penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  25. Penjualan tanpa melalui lelang adalah penjualan barang yang dilakukan oleh Penanggung Hutang dengan persetujuan Panitia Cabang.
  26. Penebusan adalah pembayaran yang dilakukan oleh Penjamin Hutang untuk mengambil kembali Barang Jaminan.
  27. Pemeriksaan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemeriksa guna memperoleh informasi dan/atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian Piutang Negara.
  28. Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan.
  29. Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-­undangan yang berlaku harus bertanggung jawab.
  30. Tempat Paksa Badan adalah tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan serta pengawasan memadai, yang digunakan untuk pelaksanaan Paksa Badan.

BAB II
PENYERAHAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

Bagian Pertama
Syarat Penyerahan

Pasal 2

Piutang Negara pada tingkat pertama diselesaikan sendiri oleh Instansi Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

(1) Dalam hal penyelesaian Piutang Negara tidak berhasil, Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada Panitia Cabang.
(2) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal dari Komisi Negara/Lembaga Tinggi Negara, Badan Hukum Milik Negara, dan Badan Layanan Umum.

Pasal 4

(1) Penyerahan pengurusan Piutang Negara disampaikan secara tertulis disertai resume dan dokumen kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang.
(2) Dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (1), dalam hal :

  1. tempat dibuatnya perjanjian kredit/tempat terjadinya piutang berada di luar kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan dapat dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat dibuatnya perjanjian kredit/tempat terjadinya piutang dimaksud;
  2. domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian berada di luar kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan harus dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian dimaksud;
  3. domisili Penanggung Hutang berbeda dengan kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan dapat dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi domisili Penanggung Hutang dimaksud.

Pasal 5

(1) Resume berkas kasus Piutang Negara yang diserahkan memuat informasi:

  1. identitas Penyerah Piutang;
  2. identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
  3. bidang usaha Penanggung Hutang;
  4. keadaan usaha Penanggung Hutang pada saat diserahkan;
  5. dasar hukum terjadinya piutang;
  6. jenis Piutang Negara;
  7. penjamin kredit oleh perusahaan penjamin kredit;
  8. sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet;
  9. tanggal realisasi kredit dan tanggal-tanggal Penyerah Piutang mengkategorikan kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal Piutang Negara berasal dari perbankan, atau tanggal Penanggung Hutang dinyatakan wanprestasi sesuai dengan perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat berwenang atau sebab apapun dalam hal Piutang Negara berasal dari nonperbankan;
  10. rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda, dan ongkos/beban lainnya;
  11. daftar Barang Jaminan, yang memuat uraian barang, pembebanan, kondisi dan nilai Barang Jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan didukung oleh Barang Jaminan;
  12. daftar Harta Kekayaan Lain;
  13. penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian piutang yang telah dilakukan oleh Penyerah Piutang; dan
  14. informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh Penyerah Piutang.
(2) Dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagai berikut:

  1. perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, perjanjian, perubahan perjanjian, kontrak, surat perintah kerja, keputusan yang diterbitkan pejabat yang berwenang, peraturan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan/atau dokumen lain yang membuktikan adanya piutang;
  2. rekening koran, prima nota, mutasi piutang, faktur, rekening, bukti tagihan, dan/atau dokumen lain yang dapat membuktikan besarnya piutang;
  3. dokumen yang terkait dengan Barang Jaminan dan pembebanannya;
  4. surat menyurat antara Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka penyelesaian hutang.

Pasal 6

Ketentuan mengenai dokumen-dokumen yang dilampirkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 7

Dalam hal pada waktu yang bersamaan Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan Piutang Negara lebih dari 1 (satu) berkas kasus, setiap berkas kasus dilengkapi surat penyerahan dengan nomor surat tersendiri.

Bagian Kedua
Permintaan Kelengkapan Data dan Ekspose

Pasal 8

Kantor Pelayanan dapat meminta kelengkapan data kepada Penyerah Piutang dalam hal:

  1. berkas kasus yang diserahkan belum lengkap; atau
  2. Kantor Pelayanan membutuhkan informasi lebih lanjut sebagai bahan pengurusan.

Pasal 9

Dalam kasus-kasus tertentu, Kantor Pelayanan dapat meminta bantuan Penyerah Piutang untuk memberikan penjelasan (ekspose) atas kasus yang diserahkan.

Bagian Ketiga
Kredit Sindikasi

Pasal 10

Dalam hal piutang berasal dari kredit sindikasi/konsorsium, sepanjang terdapat Piutang Negara yang harus diselesaikan, pengurusannya dapat diserahkan kepada Panitia Cabang.

Pasal 11

(1) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan oleh Agen atau anggota sindikasi yang berasal dari Instansi Pemerintah.
(2) Dalam hal Instansi Pemerintah berkedudukan sebagai Anggota Sindikasi/Konsorsium, penyerahan pengurusan Piutang Negara harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Agen anggota Sindikasi/Konsorsium.

Pasal 12

(1) Jumlah Piutang. Negara yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 adalah sebesar piutang dari Anggota Sindikasi/Konsorsium yang berasal, dari Instansi Pemerintah.
(2) Penyerahan Piutang Negara dengan jumlah sebesar seluruh piutang sindikasi/konsorsium hanya boleh dilakukan oleh:

  1. Agen Sindikasi/Konsorsium yang berasal dari Instansi Pemerintah setelah mendapat persetujuan dari seluruh Anggota Sindikasi/Konsorsium.
  2. Anggota Sindikasi/Konsorsium yang berasal dari Instansi Pemerintah setelah mendapat persetujuan dari Agen dan seluruh Anggota Sindikasi/Konsorsium yang lain.

BAB III
PENERIMAAN DAN PENOLAKAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

Bagian Pertama
Penelitian Adanya dan Besarnya Piutang Negara

Pasal 13

(1) Kantor Pelayanan meneliti surat penyerahan pengurusan Piutang Negara berikut lampirannya.
(2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus.

Pasal 14

Berdasarkan resume dan dokumen penyerahan, Kantor Pelayanan menghitung besarnya Piutang Negara.

Pasal 15

(1) Piutang Negara terdiri atas hutang pokok, bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya sesuai perjanjian/peraturan/putusan pengadilan.
(2) Besarnya pembebanan bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan setelah kredit/piutang dikategorikan macet berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal :

  1. piutang pokok terdapat beban bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya; atau
  2. piutang denda terdapat beban bunga.

Pasal 16

Dalam menghitung besarnya Piutang Negara:

  1. polis asuransi, biaya pembebanan hak tanggungan/fidusia, biaya perpanjangan hak atas tanah, biaya pengukuhan hak atas tanah, dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan, diperhitungkan sebagai penambahan.
  2. Piutang Negara dalam satuan mata uang asing tetap dihitung dalam satuan mata uang asing yang bersangkutan.

Pasal 17

(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, Piutang Negara dapat dihitung dan ditetapkan dalam satuan mata uang Rupiah dalam hal sebelum pengurusan Piutang Negara diserahkan kepada Panitia telah ada kesepakatan antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang atau telah ada persetujuan dari Penyerah Piutang.
(2) Dalam hal mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b sudah tidak berlaku, piutang negara dihitung dalam mata uang asing pengganti yang masih berlaku.

Pasal 18

(1) Dalam hal Penyerah Piutang tidak dapat menyampaikan rekening koran, prima nota, atau data mutasi keuangan, Kantor Pelayanan dapat menghitung sendiri besarnya Piutang Negara berdasarkan syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian/peraturan/putusan pengadilan.
(2) Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonfirmasikan kepada Penyerah Piutang.

Bagian Kedua
Penerimaan

Pasal 19

(1) Dalam hal berkas penyerahan telah memenuhi persyaratan dan dari hasil penelitian berkas dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara, Panitia Cabang menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan SP3N.
(2) Dalam hal berkas penyerahan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (2), yang disebabkan keadaan kahar, penyerahan dapat diterima dengan ketentuan penyerahan dilampiri :

  1. dokumen pengganti, daftar nominatif/rekapitulasi dan/atau data pendukung yang menunjukkan adanya dan besarnya piutang; dan
  2. laporan kepada Kepolisian atau keterangan dari pejabat yang berwenang tentang dokumen yang hilang/musnah karena keadaan kahar.
(3) Dalam hal Kantor Pelayanan menghitung sendiri besarnya Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, hasil perhitungan Kantor Pelayanan yang telah mendapat konfirmasi secara tertulis dari Penyerah Piutang, digunakan sebagai dasar menetapkan besarnya Piutang Negara dalam SP3N.

Pasal 20

SP3N memuat sekurang-kurangnya:

  1. nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan Piutang Negara;
  2. identitas Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang;
  3. pernyataan menerima pengurusan Piutang Negara;
  4. rincian dan jumlah Piutang Negara yang telah diperhitungkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18;
  5. uraian barang jaminan; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.

Pasal 21

Panitia Cabang menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang atas piutang yang terjadi atau diperjanjikan di luar negeri dalam hal:

  1. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan
  2. Penanggung Hutang berstatus Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia; atau
  3. terdapat kewenangan Penyerah Piutang untuk memilih yurisdiksi hukum di Indonesia.

Pasal 22

(1) Dalam hal Penanggung Hutang adalah Instansi Pemerintah, pengurusan Piutang Negara dilaksanakan secara khusus dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai pengurusan Piutang Negara dengan Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 23

(1) Sejak SP3N diterbitkan, pengurusan Piutang Negara beralih kepada Panitia Cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh Kantor Pelayanan.
(2) Dalam hal piutang didukung dengan barang jaminan, sejak SP3N diterbitkan Penyerah Piutang wajib menyerahkan semua dokumen asli Barang Jaminan.

Bagian Ketiga
Penolakan

Pasal 24

Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara dalam hal:

  1. kelengkapan syarat-syarat penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dipenuhi oleh Penyerah Piutang, sehingga tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara;
  2. Penyerah Piutang dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), tidak memberikan tanggapan; atau
  3. Penyerah Piutang bukan berasal dari Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Bagian Keempat
Permintaan Dokumen Asli

Pasal 25

Dalam hal setelah diterbitkan SP3N, Penyerah Piutang belum menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan dan pembebanannya, Kantor Pelayanan menerbitkan surat permintaan kepada Penyerah Piutang.

BAB IV
KOREKSI DAN PERUBAHAN BESARAN PIUTANG NEGARA

Bagian Pertama
Koreksi Besaran Piutang Negara

Pasal 26

(1) Koreksi besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan jika terdapat:

  1. pembayaran yang tidak tercatat; dan/atau
  2. kesalahan perhitungan oleh Penyerah Piutang;
(2) Koreksi besaran Piutang Negara tidak dapat dilakukan terhadap perhitungan pembebanan bunga, denda dan/atau ongkos/beban lainnya yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).

Pasal 27

Koreksi besaran Piutang Negara tidak boleh dilakukan dengan maksud memberikan keringanan hutang.

Pasal 28

Ketentuan mengenai koreksi besaran Piutang Negara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Kedua
Perubahan Besaran Piutang Negara

Pasal 29

Perubahan besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan, jika terdapat:

  1. pembebanan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a; dan/atau
  2. persetujuan keringanan jumlah hutang.

Pasal 30

Dalam hal kasus Piutang Negara telah diterbitkan SP3N, perubahan besaran Piutang Negara tidak boleh dilakukan dengan cara menerbitkan SP3N kembali.

Bagian Ketiga
Penelitian Bukti-bukti

Pasal 31

Koreksi besaran Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) atau perubahan besaran Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a harus didasarkan pada penelitian atas bukti-bukti, baik yang bersumber dari Penyerah Piutang maupun dari Penanggung Hutang.

BAB V
PENGEMBALIAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

Pasal 32

Pengembalian pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan oleh Panitia Cabang dalam hal:

  1. terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan;
  2. piutang terkait dengan perkara pidana;
  3. Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif;
  4. terdapat putusan Lembaga Peradilan dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum tetap yang membatalkan penyerahan pengurusan Piutang Negara.
  5. pengurusan piutang BUMN telah sampai pada tahap PSBDT; atau
  6. Piutang Negara yang diserahkan, terjadi atau disalurkan di eks-Provinsi Timor-Timur.

Pasal 33

Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena kekeliruan Penyerah Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a harus berdasarkan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kekeliruan.

Pasal 34

(1) Perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b merupakan perkara yang terkait dengan penyalahgunaan penggunaan kredit atau menyangkut proses pemberian kredit.
(2) Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena terkait dengan perkara pidana dapat dilakukan pada tahap penyidikan.
(3) Piutang Negara yang telah dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diserahkan kembali kepada Panitia Cabang apabila:

  1. dalam putusan pidana tidak terdapat kerugian negara yang harus diganti; atau
  2. dalam putusan pidana Penanggung Hutang dibebaskan dari segala tuntutan.
(4) Penyerahan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi piutang yang berasal dari BUMN/BUMD.

Pasal 35

(1) Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf c dapat dilakukan apabila:

  1. Penyerah Piutang tidak bersedia menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan berikut pengikatannya kepada Kantor Pelayanan, setelah diminta secara tertulis; atau
  2. Penyerah Piutang tidak menanggapi surat atau tidak bersedia memenuhi permintaan tertulis dari Kantor Pelayanan.
(2) Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan peringatan secara tertulis kepada Penyerah Piutang.

Pasal 36

Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena adanya putusan Lembaga Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf d harus berdasarkan bukti salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pasal 37

Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf e dan f hanya dapat dilaksanakan apabila:

  1. terdapat permintaan secara tertulis dari Penyerah Piutang; dan
  2. pengembalian dilaksanakan untuk keperluan hapus buku/hapus tagih.

Pasal 38

(1) Pengembalian pengurusan Piutang Negara dituangkan dalam Surat Pengembalian Pengurusan Piutang Negara yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
(2) Surat Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyerah Piutang dengan disertai semua dokumen yang telah diterima oleh Kantor Pelayanan.

BAB VI
PANGGILAN

Bagian Pertama
Surat Panggilan dan Panggilan Terakhir

Pasal 39

Kantor Pelayanan melakukan panggilan secara tertulis kepada Penanggung Hutang dalam rangka penyelesaian hutang.

Pasal 40

Dalam hal Penanggung Hutang adalah:

  1. perorangan, panggilan ditujukan kepada diri pribadi Penanggung Hutang;
  2. badan hukum berbentuk perseroan terbatas, panggilan ditujukan kepada direksi dan komisaris yang melakukan kegiatan pengurusan perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga badan hukum;
  3. badan hukum koperasi atau yayasan, panggilan ditujukan kepada pengurus koperasi atau yayasan;
  4. Firma, panggilan ditujukan kepada salah seorang firman; atau
  5. commanditer vennootschap, panggilan ditujukan kepada pesero pengurus.

Pasal 41

Tenggang waktu antara tanggal surat panggilan dan tanggal menghadap disesuaikan dengan perkiraan lamanya surat sampai di alamat Penanggung Hutang ditambah waktu yang diperlukan untuk datang menghadap ke Kantor Pelayanan.

Pasal 42

Dalam hal Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan, Kantor Pelayanan melakukan panggilan terakhir secara tertulis paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal menghadap yang ditetapkan dalam surat panggilan.

Pasal 43

Surat panggilan dan surat panggilan terakhir disampaikan oleh kurir atau menggunakan jasa pos.

Pasal 44

Ketentuan mengenai panggilan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Kedua
Pengumuman Panggilan

Pasal 45

(1) Dalam hal Penanggung Hutang menghilang atau tidak mempunyai tempat tinggal/tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, Kantor Pelayanan melakukan Pengumuman Panggilan melalui:

  1. surat kabar harian;
  2. media elektronik;
  3. papan pengumuman di Kantor Pelayanan; dan/atau
  4. media massa lainnya:
(2) Dalam hal dianggap perlu, Panggilan, Panggilan terakhir atau panggilan lain-lain dapat dilakukan melalui surat kabar dan/atau media massa lainnya.

Pasal 46

Pengumuman panggilan memuat identitas Penanggung Hutang dan kewajiban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya kepada Negara.

Bagian Ketiga
Surat Kuasa Khusus

Pasal 47

(1) Dalam hal Penanggung Hutang diwakili oleh pihak ketiga, pihak yang mewakili harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus yang dibuat dengan akta notaris atau dilegalisir oleh notaris.
(2) Dalam hal jenis piutang adalah Kredit Usaha Kecil dan Menengah atau yang sejenis, surat kuasa khusus dapat dibuat dengan surat kuasa di bawah tangan, dengan ketentuan:

  1. surat kuasa khusus dibuat di atas kertas bermeterai cukup dan diketahui kepala desa atau lurah setempat;
  2. dilampiri fotokopi kartu identitas Pemberi dan Penerima Kuasa; dan
  3. pada saat menghadap, Penerima Kuasa menunjukkan kartu identitas asli Pemberi dan Penerima Kuasa.

BAB VII
PERNYATAAN BERSAMA

Bagian Pertama
Wawancara

Pasal 48

Dalam hal Penanggung Hutang datang memenuhi panggilan atau datang atas kemauan sendiri, Kantor Pelayanan melakukan wawancara dengan Penanggung Hutang tentang kebenaran adanya dan besarnya Piutang Negara serta cara-cara penyelesaiannya.

Pasal 49

Hasil wawancara dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab, yang ditandatangani oleh:

  1. Penanggung Hutang;
  2. Kepala Kantor Pelayanan atau pejabat yang ditunjuk; dan
  3. Sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurang-­kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.

Bagian Kedua
Pembuatan Pernyataan Bersama

Pasal 50

Berdasarkan Berita Acara Tanya Jawab dibuat Pernyataan Bersama, yang ditandatangani oleh:

  1. Panitia Cabang;
  2. Penanggung Hutang; dan
  3. sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurang-­kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.

Pasal 51

Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang dan sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan dibuat Pernyataan Bersama yang memuat sekurang-kurangnya:

  1. irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
  2. identitas Penanggung Hutang;
  3. identitas Penyerah Piutang;
  4. besarnya Piutang Negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan/atau ongkos/beban lain;
  5. besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
  6. pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang;
  7. kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutang dan cara penyelesaiannya;
  8. sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang;
  9. tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama;
  10. tanda tangan Panitia Cabang;
  11. tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan
  12. tanda tangan para saksi.

Pasal 52

(1) Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia, Pernyataan Bersama dibuat dengan ahli waris Penanggung Hutang.
(2) Ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan fatwa waris atau penetapan dari pengadilan.

Pasal 53

Dalam hal Penanggung Hutang diwakili oleh kuasanya, Pernyataan Bersama dibuat dengan kuasa Penanggung Hutang.

Pasal 54

Jangka waktu penyelesaian hutang yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Pernyataan Bersama ditandatangani.

Pasal 55

(1) Pembayaran Piutang Negara yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama dapat dilakukan secara tunai atau angsuran.
(2) Dalam hal pembayaran ditetapkan secara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jangka waktu angsuran tidak boleh melebihi triwulanan.

Pasal 56

(1) Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang namun tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pernyataan Bersama tetap dibuat.
(2) Pernyataan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

  1. pengakuan hutang; dan
  2. pernyataan Penanggung Hutang tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan.

Bagian Ketiga
Peringatan Pernyataan Bersama

Pasal 57

(1) Dalam hal Penanggung Hutang tidak membayar angsuran sesuai ketentuan dalam Pernyataan Bersama, paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis kepada Penanggung Hutang untuk memenuhi kewajibannya.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang memenuhi kewajiban sesuai dengan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jadwal angsuran yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama tetap berlaku.

Pasal 58

Surat peringatan Pernyataan Bersama dapat diterbitkan lebih dari 1 (satu) kali, dalam hal Penanggung Hutang memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam surat peringatan Pernyataan Bersama, namun pada jadwal angsuran berikutnya Penanggung Hutang melakukan tunggakan.

Bagian Keempat
Perubahan Besaran Piutang Negara

Pasal 59

(1) Dalam hal setelah Pernyataan Bersama dibuat terdapat perubahan besaran Piutang Negara sebagai akibat penambahan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pemberitahuan Perubahan Besaran Piutang Negara kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.
(2) Surat Pemberitahuan Perubahan Besaran Piutang Negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pernyataan Bersama.

BAB VIII
PENETAPAN JUMLAH PIUTANG NEGARA

Bagian Pertama
Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara

Pasal 60

(1) Panitia Cabang menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara, dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena:

  1. Penanggung Hutang tidak mengakui jumlah hutang baik sebagian atau seluruhnya, tetapi tidak dapat membuktikan;
  2. Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang, tetapi menolak menandatangani Pernyataan Bersama tanpa alasan yang sah; atau
  3. Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan dan/atau pengumuman panggilan.
(2) Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara memuat sekurang-­kurangnya:

  1. berkepala “Keputusan Panitia Urusan Piutang Negara” tentang Penetapan Jumlah Piutang Negara;
  2. pertimbangan diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara;
  3. dasar hukum diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara;
  4. besarnya Piutang Negara dengan rincian hutang pokok, bunga, denda, ongkos/beban lainnya dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara yang wajib dilunasi Penanggung Hutang;
  5. tanggal penerbitan Penetapan Jumlah Piutang Negara; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.

Bagian Kedua
Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara

Pasal 61

(1) Dalam hal setelah diterbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara terdapat koreksi/perubahan besaran Piutang Negara, tidak perlu dibuat Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara yang baru, tetapi cukup diterbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
(2) Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara merupakan bagian yang tidak terpisah dari Penetapan Jumlah Piutang Negara.

BAB IX
KERINGANAN HUTANG

Bagian Pertama
Kewenangan

Pasal 62

Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan diberi kewenangan untuk memberikan keringanan hutang dalam bentuk:

  1. keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya; dan/atau
  2. keringanan jangka waktu, penyelesaian hutang.

Pasal 63

Berdasarkan kewenangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, Kepala Kantor Wilayah berwenang untuk:

  1. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit/hutang lebih dari Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), atau pokok kredit/hutang dalam satuan mata uang asing yang setara berupa keringanan hutang;
    1. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen);
    2. jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk pokok kredit/hutang paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
    3. jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun untuk pokok kredit/hutang lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
    4. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk pokok kredit/hutang paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
    5. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun untuk pokok kredit/hutang lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
  2. Menolak permohonan keringanan hutang.

Pasal 64

Berdasarkan kewenangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, Kepala Kantor Pelayanan berwenang untuk:

  1. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit/hutang paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), atau pokok kredit/hutang dalam satuan mata uang asing yang setara berupa keringanan hutang:
    1. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen);
    2. jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun; atau
    3. bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
  2. menolak permohonan keringanan hutang; atau
  3. memberikan pertimbangan keringanan hutang kepada Kepala Kantor Wilayah.

Pasal 65

(1) Pokok kredit/hutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 dan 64 adalah pokok kredit/hutang yang tercantum dalam perjanjian kredit, perjanjian lain yang sejenis, atau keputusan pejabat yang berwenang.
(2) Persetujuan keringanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan 64, dalam hal Piutang Negara merupakan piutang yang berasal dari:

  1. Instansi Pemerintah Pusat, pemberian keringanan hutang dalam bentuk keringanan jumlah hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, hanya dapat dilakukan dengan ketentuan besarnya keringanan Hutang paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); dan
  2. Instansi Pemerintah Daerah, pemberian keringanan hutang dalam bentuk keringanan jumlah hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, hanya dapat dilakukan setelah Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan atau menyerahkan keputusan kepada Kantor Pelayanan dan besarnya keringanan hutang paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Bagian Kedua
Permohonan

Pasal 66

(1) Permohonan keringanan hutang diajukan oleh Penanggung Hutang/Penjamin Hutang kepada Kepala Kantor Pelayanan disertai proposal/alasan-alasannya.
(2) Permohonan keringanan hutang dapat juga diajukan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang melalui Penyerah Piutang.

Pasal 67

(1) Dalam hal permohonan keringanan hutang yang diajukan melebihi kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64 atau berkas/data yang disampaikan tidak lengkap, Kantor Pelayanan dapat menolak permohonan karena tidak dapat diproses lebih lanjut.
(2) Permohonan kembali keringanan hutang dapat dilakukan terhadap kasus Piutang Negara yang telah pernah ditolak dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 68

(1) Permohonan keringanan hutang atau permohonan kembali keringanan hutang diajukan selambat-lambatnya sebelum Pengumuman Lelang.
(2) Dalam hal Lelang pernah dilaksanakan, permohonan keringanan hutang atau permohonan kembali keringanan hutang dapat diajukan dengan ketentuan selambat-lambatnya sebelum Pengumuman Lelang berikutnya.

Pasal 69

Ketentuan mengenai permohonan keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Ketiga
Analisis

Pasal 70

Persetujuan, penolakan, dan pemberian pertimbangan atas permohonan keringanan hutang harus berdasarkan hasil analisis.

Pasal 71

Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang masih berjalan dan permohonan keringanan berupa keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, analisis permohonan keringanan hutang meliputi sekurang-kurangnya:

  1. latar belakang permohonan keringanan hutang;
  2. itikad baik Penanggung Hutang;
  3. kemampuan/usaha Penanggung Hutang;
  4. nilai dan daya laku barang jaminan; dan
  5. rencana pelunasan hutang.

Pasal 72

Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak berjalan/tidak ada, atau usaha masih berjalan tetapi hanya mengajukan permohonan keringanan jumlah hutang, analisis permohonan keringanan hutang meliputi sekurang-kurangnya:

  1. latar belakang permohonan keringanan hutang;
  2. itikad baik Penanggung Hutang;
  3. nilai dan daya laku barang jaminan; dan
  4. rencana dan sumber pelunasan hutang.

Pasal 73

(1) Pembayaran hutang yang diterima sejak SP3N diterbitkan, diperhitungkan sebagai pembayaran hutang pokok.
(2) Pembayaran hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pembayaran yang dilaksanakan sejak tanggal berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara sampai dengan saat pengajuan permohonan keringanan hutang.
(3) Pembayaran hutang yang dilaksanakan sebelum berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara dimintakan konfirmasi kepada Penyerah Piutang mengenai alokasi pembayaran yang telah dilakukan Penanggung Hutang.

Pasal 74

Besar keringanan jumlah hutang dihitung dari sisa hutang bunga, denda, dan ongkos/beban lainnya pada saat keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang diterbitkan.

Pasal 75

Ketentuan mengenai analisis keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Keempat
Keputusan

Pasal 76

Keputusan keringanan hutang dapat berupa menyetujui seluruhnya, menyetujui sebagian, atau menolak permohonan keringanan yang diajukan.

Pasal 77

(1) Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak ada, atau tidak mendukung penyelesaian hutang secara bertahap, atau permohonan diajukan oleh Penjamin Hutang, keringanan hutang yang dapat dipertimbangkan hanya dalam bentuk keringanan jumlah hutang.
(2) Dalam hal dari hasil analisis menunjukkan kegiatan usaha Penanggung Hutang mendukung penyelesaian seluruh hutang secara bertahap, keringanan hutang yang dapat dipertimbangkan hanya dalam bentuk keringanan jangka waktu.
(3) Dalam hal dari hasil analisis menunjukkan kegiatan usaha Penanggung Hutang mendukung penyelesaian sebagian hutang secara bertahap, keringanan hutang dapat dipertimbangkan dalam bentuk keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu.
(4) Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), keringanan hutang dalam bentuk keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu dapat dipertimbangkan dalam hal :

  1. Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang bersedia menyerahkan jaminan tambahan dan melakukan pengikatan;
  2. Sumber pembayaran yang digunakan merupakan kegiatan usaha yang masih berjalan dan mendukung penyelesaian hutang; dan
  3. Pengurus dari Badan usaha dan Badan usaha yang digunakan sebagai sumber pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat diikat sebagai Penjamin Hutang.

Pasal 78

(1) Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui dalam bentuk keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, pembayaran secara angsuran tidak boleh ditetapkan melebihi triwulanan.
(2) Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui dalam bentuk keringanan jumlah hutang, pelunasan hutang harus dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan permohonan keringanan hutang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan.

Pasal 79

(1) Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui, keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat persetujuan permohonan keringanan hutang.
(2) Dalam hal permohonan keringanan hutang tidak dapat disetujui, keputusan penolakan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat penolakan permohonan keringanan hutang.

Pasal 80

(1) Penanggung Hutang yang pernah diberikan persetujuan keringanan hutang namun wanprestasi, pada prinsipnya tidak dapat lagi diberikan persetujuan keringanan hutang kecuali apabila cara penyelesaian tersebut lebih baik/menguntungkan dibandingkan cara penyelesaian lainnya atau telah pernah dilakukan lelang namun tidak terjual/tidak lunas.
(2) Persetujuan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan ketentuan:

  1. dalam hal pada keputusan terdahulu terdapat keringanan jumlah hutang, besaran keringanan jumlah hutang yang dapat ditetapkan sama dengan keputusan terdahulu:
  2. dalam hal pada keputusan terdahulu tidak terdapat keringanan jumlah hutang, dapat diberikan keringanan jumlah hutang;
  3. pembayaran hutang yang telah dilakukan sejak keputusan terdahulu dihitung sebagai pengurang hutang pokok dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73; dan
  4. pembayaran bersifat tunai paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal persetujuan.
(3) Persetujuan kembali keringanan hutang dapat dilakukan untuk mengubah jadwal pembayaran dan besarnya angsuran hutang apabila cara penyelesaian tersebut berdasarkan hasil analisis merupakan cara penyelesaian yang lebih baik/menguntungkan, dengan ketentuan:

  1. Penanggung Hutang belum dinyatakan wanprestasi;
  2. tidak boleh mengurangi jumlah hutang yang ditetapkan dalam persetujuan keringanan hutang sebelumnya; dan
  3. tidak boleh memperpanjang jangka waktu penyelesaian hutang sesuai dengan persetujuan keringanan hutang sebelumnya.
(4) Persetujuan kembali keringanan hutang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.

Pasal 81

(1) Keputusan persetujuan atau penolakan permohonan keringanan hutang diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Pelayanan kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.
(2) Sejak permohonan keringanan hutang diterima Kantor Pelayanan secara lengkap sampai terbitnya keputusan permohonan keringanan hutang, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.

Pasal 82

Ketentuan mengenai keputusan keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

BAB X
PENGELOLAAN BARANG JAMINAN DAN/ATAU HARTA KEKAYAAN LAIN

Bagian Pertama
Barang Jaminan Dengan Pengikatan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH)/
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

Pasal 83

Barang jaminan untuk menjamin kredit selain Kredit Usaha Kecil atau yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam surat Keputusan Bank Indonesia yang pembebanannya masih dalam tahap pemberian SKMH/SKMHT dan belum ditingkatkan menjadi Hipotik/Hak Tanggungan, dalam hal:

  1. milik Penanggung Hutang, merupakan harta kekayaan lain yang dapat digunakan sebagai pembayaran hutang;
  2. milik penjamin hutang, diatur lebih lanjut dalam Keputusan Dirjen.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup Pengelolaan

Pasal 84

Ruang lingkup pengelolaan Barang jaminan dan/atau Harta Kekayaan meliputi kegiatan:

  1. penatausahaan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain;
  2. pengamanan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan
  3. pendayagunaan Barang Jaminan.

Pasal 85

Kantor Pelayanan melakukan pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.

Bagian Ketiga
Penatausahaan

Pasal 86

Dalam rangka penatausahaan dilakukan tindakan meliputi penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.

Pasal 87

Kepala Kantor Pelayanan menunjuk petugas khusus di unit kerjanya yang bertanggung jawab dalam kegiatan penatausahaan dokumen dan fisik barang.

Pasal 88

Ketentuan mengenai penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Keempat
Pengamanan

Pasal 89

Dalam rangka pengamanan dapat dilakukan kegiatan:

  1. penelitian terhadap keaslian, kebenaran atau jangka waktu berlakunya hak atas dokumen Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain beserta pembebanannya;
  2. penelitian lapangan; dan/atau
  3. pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.

Pasal 90

Dalam hal jangka waktu berlakunya dokumen Barang Jaminan akan segera berakhir atau dokumen asli Barang Jaminan rusak/hilang, Kantor Pelayanan melakukan koordinasi dengan Penyerah Piutang untuk mengurus kepada instansi yang berwenang.

Pasal 91

(1) Dalam hal barang yang akan diteliti berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat barang yang akan diteliti berada.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penelitian lapangan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal barang yang akan diteliti berada di Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan.

Pasal 92

Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 huruf c wajib dilakukan terhadap barang milik Penanggung Hutang yang tidak dibebani Hak Tanggungan/Fidusia.

Pasal 93

Pemblokiran terhadap Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan dan ditujukan kepada instansi yang berwenang.

Pasal 94

(1) Pemblokiran terhadap Harta Kekayaan Lain yang tersimpan pada bank dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah dari Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Izin sebagaJmana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Direktur Jenderal/Panitia Pusat kepada Pimpinan Bank Indonesia berdasarkan usul dari Kepala Kantor Pelayanan dan didukung Kepala Kantor Wilayah.

Pasal 95

(1) Pemblokiran terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Direktur Jenderal/Panitia Pusat kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan berdasarkan usul dari Kantor Pelayanan.

Pasal 96

(1) Kantor Pelayanan mencabut pemblokiran dalam hal:

  1. Piutang Negara dinyatakan lunas/selesai;
  2. Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain bukan atau bukan lagi merupakan jaminan penyelesaian hutang;
  3. Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain telah disita lebih dahulu oleh instansi lain yang berwenang; atau
  4. Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diketahui mengandung cacat hukum berdasarkan keputusan instansi yang berwenang.
(2) Surat pencabutan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Kantor Pelayanan kepada instansi yang berwenang.

Pasal 97

Ketentuan mengenai penelitian lapangan dan pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Kelima
Pendayagunaan

Pasal 98

Dalam rangka pendayagunaan Barang Jaminan, dapat dilakukan sewa menyewa/kontrak yang hasilnya digunakan untuk pembayaran hutang.

Pasal 99

Pendayagunaan Barang Jaminan dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian dalam bentuk sewa-menyewa Barang jaminan dengan ketentuan:

  1. Permohonan sewa-menyewa diajukan oleh Penanggung Hutang, dan/atau Pemilik Barang Jaminan;
  2. sewa-menyewa disepakati oleh Kantor Pelayanan, Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Pemilik Barang Jaminan;
  3. jangka waktu sewa-menyewa ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun;
  4. tidak menghalangi proses pengurusan Piutang Negara terhadap Barang jaminan lainnya dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan
  5. perjanjian sewa-menyewa antara Pemilik Barang Jaminan dengan Penyewa dibuat dengan akta notaris.

Pasal 100

Perjanjian sewa-menyewa dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dan Pasal 99.

BAB XI
PEMERIKSAAN

Bagian Pertama
Objek Pemeriksaan

Pasal 101

(1) Objek Pemeriksaan adalah:

  1. Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, atau pemegang saham;
  2. kemampuan Penanggung Hutang;
  3. Harta Kekayaan Lain; dan/atau
  4. Fisik Barang Jaminan.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia, Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap diri, Harta Kekayaan Lain, dan/atau kemampuan ahli waris.

Pasal 102

(1) Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu:

  1. orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang atau orang yang berdasarkan peraturan perundang-­undangan yang berlaku atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
  2. badan hukum, yang diwakili oleh:
    1. direksi/pengurus perusahaan/koperasi; dan/atau
    2. anggota dewan komisaris/dewan pengawas perusahaan/koperasi; atau
  3. salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari badan usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap, atau persekutuan perdata.
(2) Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu:

  1. penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarantee);
  2. penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau
  3. pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri sebagai penjamin (corporate guarantee).
(3) Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu pemegang saham yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dapat diminta pertanggungjawaban pribadi.

Pasal 103

Kemampuan Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b meliputi:

  1. penghasilan Penanggung Hutang; dan/atau
  2. hasil usaha dari Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.

Pasal 104

Harta Kekayaan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf c meliputi:

  1. barang tidak bergerak, antara lain tanah, tanah berikut bangunan, kapal dengan isi kotor lebih dari 20 m3 (dua puluh meter kubik);
  2. barang bergerak, antara lain kendaraan bermotor, perhiasan, furniture, peralatan elektronik;
  3. surat berharga, antara lain saham, obligasi, bukti piutang, penyertaan modal;
  4. barang tidak berwujud, antara lain hak cipta, hak paten, hak merek; dan /atau
  5. uang atau harta kekayaan yang tersimpan di bank.

Pasal 105

Fisik Barang Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf d meliputi Barang Jaminan yang:

  1. belum ditemukan; dari/atau
  2. terdapat permasalahan hukum.

Bagian Kedua
Pemeriksa

Pasal 106

(1) Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa dari Kantor Pelayanan.
(2) Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang beranggotakan paling sedikit 2 (dua) orang.

Pasal 107

Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Pemeriksa diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Ketiga
Tugas dan Wewenang

Pasal 108

Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa bertugas:

  1. mencari, meneliti, dan mengumpulkan keterangan atau bukti-bukti yang berhubungan dengan objek pemeriksaan; dan/atau
  2. melakukan wawancara atau meminta penjelasan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan objek Pemeriksaan.

Pasal 109

Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa berwenang meminta keterangan kepada Penanggung Hutang dan/atau pihak lain, yang berkaitan dengan :

  1. tempat kediaman/rumah, kantor, tempat usaha/tempat kegiatan milik atau diduga milik Penanggung Hutang;
  2. usaha dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan/atau
  3. catatan dan pembukuan dari usaha milik atau diduga milik Penanggung Hutang.

Bagian Keempat
Pelaksanaan Pemeriksaan

Pasal 110

Pemeriksaan hanya dapat dilaksanakan setelah SP3N diterbitkan.

Pasal 111

Pemeriksaan dilaksanakan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.

Pasal 112

Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa:

  1. wajib didampingi sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi;
  2. dapat meminta bantuan dan bekerja sama dengan aparat kepolisian, aparat pemerintah daerah, Penyerah Piutang, instansi lain yang terkait, dan/atau masyarakat sekitar; dan
  3. harus memberitahukan maksud Pemeriksaan kepada Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, dan/atau aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.

Pasal 113

(1) Dalam hal Pemeriksa, memasuki rumah, kantor, dan/atau tempat usaha/kegiatan yang diduga milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, Pemeriksaan harus diketahui oleh Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak berada di tempat, Pemeriksaan harus diketahui oleh:

  1. anggota keluarga dari Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, yang telah dewasa;
  2. pegawai senior pada kantor dan/atau tempat usaha/kegiatan; dan/atau
  3. aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.

Pasal 114

(1) Dalam hal objek Pemeriksaan berupa tanah dan bangunan dalam keadaan kosong atau terkunci, Pemeriksaan harus didampingi oleh aparat pemerintah desa/kelurahan dan/atau aparat kepolisian setempat.
(2) Dalam hal objek Pemeriksaan berupa tanah kosong, Pemeriksaan dilaksanakan dengan diketahui oleh aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.

Pasal 115

(1) Pelaksanaan Pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan.
(2) Berita Acara Pemeriksaan ditandatangani oleh:

  1. Pemeriksa;
  2. saksi-saksi; dan
  3. Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, ahli warisnya, penghuni, atau penanggung jawab objek Pemeriksaan.

Pasal 116

Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang menolak atau keberatan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, Pemeriksa mencatat dalam Berita Acara Pemeriksaan.

Pasal 117

(1) Berita Acara Pemeriksaan tetap sah meskipun Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang:

  1. menolak atau keberatan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan; atau
  2. tidak berada di tempat objek Pemeriksaan.
(2) Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui oleh aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.

Pasal 118

(1) Dalam hal objek pemeriksaan berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat objek pemeriksaan berada.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal objek pemeriksaan berada di Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan.

Pasal 119

Ketentuan mengenai pelaksanaan Pemeriksaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

BAB XII
PENCEGAHAN

Bagian Pertama
Objek dan Jangka Waktu Pencegahan

Pasal 120

Objek Pencegahan adalah:

  1. Penanggung Hutang, yaitu:
    1. pihak-pihak yang menandatangani perikatan hutang atau orang-­orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
    2. direksi/anggota pengurus perusahaan/yayasan;
    3. anggota dewan komisaris/dewan pengawas yang berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham melakukan tindakan kepengurusan; atau
    4. salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari Badan Usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap, atau persekutuan perdata.
  2. Penjamin Hutang, yaitu:
    1. penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarantee);
    2. penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau
    3. pengurus dari badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri sebagai penjamin (corporate guarantee).

Pasal 121

(1) Objek Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dapat dicegah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing selama 6 (enam) bulan.

Bagian Kedua
Syarat Pencegahan

Pasal 122

(1) Pencegahan hanya dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan.
(2) Pencegahan dilaksanakan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.

Pasal 123

Pencegahan dapat dilakukan dalam hal:

  1. sisa hutang:
    1. lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); atau
    2. kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tetapi objek Pencegahan sering bepergian keluar wilayah Republik Indonesia;
  2. objek Pencegahan beritikad tidak baik; dan
  3. nilai Barang Jaminan diperkirakan tidak menutup sisa hutang.

Pasal 124

(1) Objek Pencegahan dapat dikategorikan sering ke luar wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 huruf a angka 2, jika selama kurun waktu 12 (dua belas) bulan objek Pencegahan paling sedikit 2 (dua) kali keluar wilayah Republik Indonesia.
(2) Kesimpulan bahwa objek Pencegahan sering bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia dapat diperoleh Kantor Pelayanan dari paspor objek Pencegahan, pengakuan objek Pencegahan, informasi dari instansi berwenang, Penyerah Piutang dan/atau dari sumber lainnya.

Pasal 125

(1) Objek Pencegahan dapat dikategorikan beritikad tidak baik dalam hal:

  1. tidak pernah atau jarang memenuhi panggilan Kantor Pelayanan;
  2. belum pernah membayar atau pernah membayar dalam jumlah relatif kecil dibanding sisa hutangnya;
  3. menunda-nunda pembayaran tanpa alasan yang sah; dan/atau
  4. bergaya hidup mewah.
(2) Kesimpulan objek Pencegahan bergaya hidup mewah dapat diperoleh dari hasil penelitian lapangan, informasi dari Penyerah Piutang, dan/atau informasi dari pihak lain.

Bagian Ketiga
Kasus Piutang Negara Lebih Dari Satu

Pasal 126

Dalam hal objek Pencegahan mempunyai kewajiban menyelesaikan hutang lebih dari satu kasus Piutang Negara dan telah dicegah pada salah satu kasus, tidak dilakukan Pencegahan kembali untuk kasus yang lain sepanjang jangka waktu Pencegahan dan/atau perpanjangan Pencegahan masih berlaku.

Pasal 127

Dalam hal jangka waktu Pencegahan dan/atau perpanjangan Pencegahan telah berakhir, objek Pencegahan dapat dicegah untuk kasus yang lain.

Bagian Keempat
Izin Ke Luar Wilayah Republik Indonesia

Pasal 128

(1) Izin ke luar wilayah Republik Indonesia dalam jangka waktu Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan dapat diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh objek Pencegahan dengan dilengkapi bukti-bukti yang mendukung alasan ke luar wilayah Republik Indonesia.

Pasal 129

(1) Izin ke luar wilayah Republik Indonesia diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa objek Pencegahan:

  1. menjalankan tugas negara atau mewakili kepentingan negara di forum internasional;
  2. menjalankan ibadah haji;
  3. memerlukan perawatan atau pengobatan kesehatan keluar wilayah Republik Indonesia yang didukung oleh rekomendasi dokter ahli di Indonesia;
  4. melakukan kerjasama dengan mitra luar negeri untuk kegiatan usaha dalam rangka menyelesaikan hutangnya; atau
  5. memerlukan pergi ke luar wilayah Republik Indonesia karena alasan kemanusiaan.
(2) Alasan kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e antara lain objek Pencegahan membesuk atau mendampingi orang tua/suami/istri/anak yang memerlukan pengobatan/perawatan.

Bagian Kelima
Berakhirnya Masa Pencegahan

Pasal 130

Masa Pencegahan berakhir dalam hal:

  1. Pencegahan dicabut;
  2. Pencegahan berakhir demi hukum.

Pasal 131

(1) Pencabutan Pencegahan terhadap objek Pencegahan dilakukan dalam hal:

  1. Piutang Negara dinyatakan lunas/selesai;
  2. objek Pencegahan telah meninggal dunia;
(2) Pencegahan berakhir demi hukum dalam hal:

  1. jangka waktu Pencegahan berakhir dan tidak ada perpanjangan;
  2. jangka waktu perpanjangan Pencegahan pertama berakhir dan tidak ada perpanjangan; atau
  3. jangka waktu perpanjangan pencegahan kedua berakhir.

Pasal 132

Pencabutan Pencegahan atau masa Pencegahan tidak diperpanjang dapat dilakukan dalam hal:

  1. terdapat perubahan susunan kepengurusan perusahaan secara sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus mendapat persetujuan dari Penyerah Piutang; atau
  2. objek Pencegahan telah menunjukkan itikad baik dengan:
    1. melakukan pembayaran ke arah pelunasan; dan
    2. mengajukan rencana penyelesaian hutangnya secara jelas.

Bagian Keenam
Pengajuan Usul

Pasal 133

Usul penetapan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, atau, pemberian izin ke luar wilayah Republik Indonesia diajukan oleh Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur jenderal.

Pasal 134

Ketentuan mengenai usul Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, atau pemberian izin ke luar wilayah Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Ketujuh
Keputusan

Pasal 135

(1) Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, dan pencabutan Pencegahan ditetapkan secara tertulis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan.
(2) Keputusan mengenai:

  1. Perpanjangan Pencegahan pertama, ditetapkan sebelum jangka waktu Pencegahan berakhir; dan
  2. Perpanjangan Pencegahan kedua, ditetapkan sebelum jangka waktu perpanjangan Pencegahan pertama berakhir

Pasal 136

(1) Keputusan Pencegahan dan perpanjangan Pencegahan memuat sekurang-kurangnya:

  1. identitas objek Pencegahan;
  2. alasan Pencegahan; dan
  3. jangka waktu Pencegahan.
(2) Keputusan pencabutan Pencegahan memuat sekurang-kurangnya:

  1. identitas objek Pencegahan; dan
  2. alasan pencabutan Pencegahan.

Pasal 137

Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, dan izin ke luar wilayah Republik Indonesia disampaikan antara lain kepada Menteri Hukum dan HAM dan objek Pencegahan.

BAB XIII
SURAT PAKSA

Bagian Pertama
Penerbitan Surat Paksa

Pasal 138

Penagihan sekaligus dengan Surat Paksa dilakukan dalam hal:

  1. Penanggung Hutang tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama, setelah terlebih dahulu diberi peringatan tertulis;
  2. Penanggung Hutang menandatangani Pernyataan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56; atau
  3. telah diterbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara.

Pasal 139

(1) Panitia Cabang menerbitkan Surat Paksa yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
(2) Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-­kurangnya:

  1. irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
  2. identitas Penyerah Piutang serta nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan Piutang Negara;
  3. identitas Penanggung Hutang;
  4. sisa hutang yang harus diselesaikan termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
  5. alasan yang menjadi dasar penagihan;
  6. dasar hukum penerbitan Surat Paksa;
  7. perintah kepada Penanggung Hutang untuk melunasi seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
  8. tempat dan tanggal penetapan; dan
  9. tanda tangan Panitia Cabang.

Pasal 140

(1) Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia lewat waktu 6 (enam) bulan, Surat Paksa dibuat atas nama para ahli warisnya tiap orang secara pro rata parte sebagai Penanggung Hutang kepada negara.
(2) Dalam Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dicantumkan nama Penanggung Hutang yang telah meninggal dunia.
(3) Dalam hal ahli waris Penanggung Hutang belum diketahui atau belum ditetapkan, Surat Paksa diterbitkan atas nama “Ahli Waris Almarhum Penanggung Hutang”.

Bagian Kedua
Juru Sita dan Pemberitahuan Surat Paksa

Pasal 141

(1) Juru Sita Piutang Negara diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Juru Sita Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 142

(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Piutang Negara dengan membacakan dan menyerahkan salinan Surat Paksa.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa.

Pasal 143

(1) Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa memuat sekurang-kurangnya:

  1. hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Paksa;
  2. identitas Juru Sita Piutang Negara, penerima Surat Paksa, dan saksi-­saksi; dan
  3. tempat pemberitahuan Surat Paksa.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:

  1. Juru Sita Piutang Negara;
  2. saksi-saksi; dan
  3. Penanggung Hutang atau penerima Surat Paksa.

Pasal 144

(1) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan kepada Penanggung Hutang di tempat tinggal, kantor/tempat usahanya, atau di tempat lain yang memungkinkan.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang tidak dijumpai, Surat Paksa diberitahukan kepada orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di kantor/tempat usaha Penanggung Hutang untuk disampaikan kepada Penanggung Hutang.
(3) Dalam hal Penanggung Hutang datang ke Kantor Pelayanan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada yang bersangkutan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dan Pasal 143.

Pasal 145

(1) Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi, Surat Paksa diberitahukan kepada salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi, Surat Paksa diberitahukan kepada para ahli waris.

Pasal 146

(1) Surat Paksa terhadap:

  1. badan hukum berbentuk perseroan terbatas diberitahukan kepada salah seorang direksi atau salah seorang komisaris di tempat kedudukan perseroan terbatas yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan;
  2. badan hukum berbentuk koperasi atau yayasan diberitahukan kepada salah seorang pengurus di tempat kedudukan koperasi atau yayasan yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan;
  3. badan usaha berbentuk firma diberitahukan kepada salah seorang firma di tempat kedudukan firma yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan; atau
  4. badan usaha berbentuk commanditer venootschap diberitahukan kepada salah seorang pesero pengurus di tempat kedudukan commanditer venootschap yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan.
(2) Dalam hal Juru Sita Piutang Negara tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, Surat Paksa diberitahukan kepada salah seorang karyawan di tempat kedudukan atau tempat usaha badan hukum/badan usaha untuk disampaikan kepada penanggung jawab badan hukum/badan usaha yang bersangkutan.

Pasal 147

(1) Surat Paksa diberitahukan melalui aparat pemerintah desa/kelurahan setempat, dalam hal pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 146:

  1. tidak dapat dilaksanakan; atau
  2. di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain yang memungkinkan tidak ditemui seseorang.
(2) Dalam melaksanakan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Juru Sita Piutang Negara melakukan hal sebagai berikut:

  1. menyerahkan salinan Surat Paksa;
  2. meminta kesediaan untuk menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Hutang;
  3. mencatat hal-hal yang dilakukan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa; dan
  4. meminta menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa sebagai tanda mengetahui.

Pasal 148

Dalam hal Penanggung Hutang dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator/Balai Harta Peninggalan atau Hakim Pengawas.

Pasal 149

Dalam hal badan hukum/badan usaha dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator.

Pasal 150

Dalam hal Penanggung Hutang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus yang dituangkan dalam akta notaris, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.

Pasal 151

(1) Pemberitahuan Surat Paksa tetap dilaksanakan dalam hal Penanggung Hutang tidak mempunyai tempat tinggal/kediaman yang dikenal di Indonesia atau menghilang.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan:

  1. menempelkan salinan Surat Paksa di papan pengumuman yang ada di Kantor Pelayanan yang menerbitkannya; dan/atau
  2. dimuat dalam surat kabar harian.

Pasal 152

(1) Dalam hal Penanggung Hutang menolak untuk menerima Surat Paksa, Juru Sita Piutang Negara meninggalkan salinan Surat Paksa dan mencatat dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa tetap sah meskipun Penanggung Hutang atau penerima Surat Paksa menolak menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa.

Pasal 153

(1) Dalam hal tempat pemberitahuan Surat Paksa berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pemberitahuan Surat Paksa dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemberitahuan Surat Paksa.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberitahuan Surat Paksa dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal :

  1. tempat pemberitahuan Surat Paksa berada dalam wilayah kerja Ketua Panitia Cabang yang bersangkutan; dan
  2. tempat pemberitahuan Surat Paksa berada di Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan yang bersangkutan.

Pasal 154

Surat Paksa tidak boleh diberitahukan kepada Penanggung Hutang di:

  1. tempat ibadah selama ibadah itu dilakukan;
  2. tempat sidang resmi selama sidang itu diadakan;
  3. bursa selama waktu bursa; atau
  4. tempat pemilihan umum selama waktu pemilihan umum.

Pasal 155

Ketentuan mengenai pemberitahuan Surat Paksa, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

BAB XIV
KEPAILITAN

Pasal 156

Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sedang dalam proses kepailitan di lembaga peradilan, pengurusan Piutang Negara tetap dilaksanakan.

Pasal 157

Dalam hal keputusan pailit telah berkekuatan hukum tetap, proses pengurusan Piutang Negara dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang Kepailitan.

Pasal 158

Ketentuan mengenai pengurusan Piutang Negara atas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang sedang dalam proses kepailitan atau telah dinyatakan pailit diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

BAB XV
PENYITAAN

Bagian Pertama
Surat Perintah Penyitaan

Pasal 159

Dalam hal setelah lewat waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Hutang tidak melunasi hutangnya, Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Penyitaan.

Pasal 160

Surat Perintah Penyitaan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Penyitaan;
  2. dasar hukum diterbitkannya Surat Perintah Penyitaan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Juru Sita Piutang Negara melakukan penyitaan;
  4. uraian barang yang disita;
  5. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyitaan; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Penyitaan

Pasal 161

(1) Penyitaan dilakukan terhadap barang milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
(2) Dalam hal Barang Jaminan tidak ada atau diperkirakan nilainya tidak dapat menutup sisa hutang, penyitaan dapat dilakukan terhadap Harta Kekayaan Lain.

Pasal 162

Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau di tempat lain, termasuk:

  1. barang dalam penguasaan pihak lain;
  2. barang yang dibebani dengan hak tanggungan/fidusia;
  3. uang dan/atau harta kekayaan yang tersimpan di bank; dan atau
  4. surat-surat berharga.

Pasal 163

Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain tidak boleh dilaksanakan terhadap barang-barang sebagai berikut:

  1. tempat tidur beserta perlengkapannya dari Penanggung Hutang dan anak-anaknya, demikian pula pakaian-pakaian mereka;
  2. perlengkapan Penanggung Hutang yang bersifat dinas pada anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil menurut dinas dan pangkatnya;
  3. alat-alat pertukangan yang termasuk usaha Penanggung Hutang;
  4. persediaan makanan dan minuman untuk satu bulan yang berada di rumah Penanggung Hutang;
  5. buku-buku yang bertalian dengan jabatan/pekerjaan Penanggung Hutang atas pilihannya, demikian pula perkakas-perkakas dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, maupun untuk kebudayaan dan keilmuan; dan/atau
  6. ternak yang semata-mata dipergunakan untuk menjalankan usaha Penanggung Hutang.

Pasal 164

(1) Penyitaan terhadap Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dilakukan oleh Juru Sita Piutang Negara berdasarkan Surat Perintah Penyitaan.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disaksikan sekurang-­kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurang-­kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah, dikenal, dan tidak ada hubungan keluarga dengan Juru Sita Piutang Negara.

Pasal 165

(1) Juru Sita Piutang Negara wajib memberitahukan secara lisan maksud penyitaan dan menyampaikan salinan Surat Perintah Penyitaan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang selaku pemilik barang yang disita, pada saat pelaksanaan penyitaan.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, tempat tinggal tidak diketahui, atau tempat tinggal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang berbeda dengan lokasi Objek penyitaan, penyitaan diberitahukan kepada aparat pemerintah desa/keiurahan setempat dan/atau:

  1. anggota keluarga/orang yang dipercaya Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, yang telah dewasa dan:
    1. bertempat tinggal sama dengan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; atau
    2. berada di lokasi objek penyitaan;
  2. pegawai senior yang berada di kantor/tempat usaha Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; atau
  3. penyewa, penggarap, atau pihak yang menguasai secara fisik objek penyitaan.

Pasal 166

(1) Pelaksanaan penyitaan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan.
(2) Berita Acara Penyitaan ditandatangani oleh:

  1. Juru Sita Piutang Negara;
  2. saksi-saksi; dan
  3. Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
(3) Berita Acara Penyitaan diketahui dan ditandatangani oleh:

  1. Aparat Pemerintahan Desa/Kelurahan, dalam hal barang yang disita tanah dan/atau bangunan;
  2. Syahbandar, dalam hal barang yang disita berupa kapal dengan isi lebih dari 20 m3 (dua puluh meter kubik); atau
  3. Pengelola Bandara dalam hal barang yang disita berupa pesawat terbang.
(4) Berita Acara Penyitaan memuat sekurang-kurangnya:

  1. nomor Berita Acara Penyitaan;
  2. hari, tanggal dan jam pelaksanaan penyitaan;
  3. identitas Juru Sita Piutang Negara dan saksi-saksi;
  4. nomor dan tanggal Surat Perintah Penyitaan; dan
  5. uraian barang yang disita.
(5) Selembar salinan Berita Acara Penyitaan disampaikan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.

Pasal 167

Dalam hal barang yang disita berupa tanah atau tanah beserta bangunannya, dalam Berita Acara Penyitaan dicantumkan batas-batas tanah yang disita.

Pasal 168

Penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan Berita Acara Penyitaan mempunyai kekuatan mengikat, meskipun:

  1. Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang menolak menandatangani Berita Acara Penyitaan atau tidak berada di tempat objek penyitaan; dan/atau
  2. Aparat Pemerintah Desa/Kelurahan, Syahbandar atau Pengelola Bandara menolak menandatangani Berita Acara Penyitaan.

Pasal 169

Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak berada di tempat objek penyitaan, penyitaan dilaksanakan dengan ketentuan:

  1. salah seorang saksi berasal dari aparat pemerintah desa/kelurahan setempat;
  2. dalam Berita Acara Penyitaan dicantumkan alasan ketidakhadiran Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; dan
  3. Berita Acara Penyitaan ditandatangani Juru Sita Piutang Negara dan saksi-saksi.

Pasal 170

Juru Sita Piutang Negara meminta bantuan kepada aparat kepolisian dan/atau aparat pemerintah desa/kelurahan untuk menyaksikan dan memberikan bantuan pengamanan dalam pelaksanaan penyitaan dalam hal Juru Sita Piutang Negara:

  1. memasuki tempat barang yang disita dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang tidak memperbolehkan atau menghalang-­halangi Juru Sita Piutang Negara memasuki tempat barang yang akan disita;
  2. membuka secara paksa ruangan yang terkunci dan barang yang akan disita berada di dalamnya; atau
  3. memasuki secara paksa bangunan yang akan disita dan dalam keadaan tidak berpenghuni;

Pasal 171

(1) Barang yang telah disita pada prinsipnya dititipkan untuk dijaga dan diawasi kepada Penanggung Hutang/Penjamin Hutang selaku pemilik barang yang disita.
(2) Dalam hal barang sitaan berupa barang tidak bergerak dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

  1. tidak bersedia menandatangani Berita Acara Penyitaan, pengawasan barang sitaan dapat dititipkan kepada aparat pemerintah desa/kelurahan setempat atau dalam pengawasan Kantor Pelayanan; atau
  2. tidak berada di tempat pelaksanaan penyitaan, pengawasan barang sitaan dapat dititipkan kepada aparat pemerintah desa/kelurahan setempat, anggota keluarga, penghuni, penyewa atau dalam pengawasan Kantor Pelayanan,
(3) Dalam hal barang sitaan berupa barang bergerak dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersedia menandatangani Berita Acara Penyitaan atau tidak berada di tempat pelaksanaan penyitaan, barang sitaan dapat disimpan oleh Kantor Pelayanan atau dititipkan di tempat penitipan yang baik.

Pasal 172

Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan Juru Sita Piutang Negara dengan:

  1. meminta bantuan tanaga ahli untuk melakukan penaksiran; dan
  2. membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan berat perhiasan yang disita;

Pasal 173

(1) Penyitaan terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek hanya dapat dilaksanakan setelah pemblokiran.
(2) Salinan Berita Acara Penyitaan terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek juga disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal, Pengelola Bursa Efek, dan Kustodian.
(3) Penyitaan terhadap surat berharga yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan terlebih dahulu meneliti keaslian, menghitung jumlah surat berharga dan nilai surat berharga yang disita.

Pasal 174

Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan dengan:

  1. membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam Berita Acara Penyitaan; dan
  2. membuat Persetujuan Pengalihan Hak Tagihan (cessie) dari Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang kepada Panitia Cabang, dan menyampaikan salinannya kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dan pihak yang berkewajiban membayar hutang.

Pasal 175

Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain berupa uang tunai dilaksanakan dengan:

  1. meneliti keaslian uang;
  2. menghitung uang yang disita sesuai dengan sisa hutang; dan
  3. menyetorkan uang hasil penyitaan ke rekening Bendaharawan Penerima Kantor Pelayanan.

Pasal 176

(1) Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain yang tersimpan pada bank hanya dapat dilaksanakan setelah dilakukan pemblokiran.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan:

  1. mencantumkan jumlah uang yang disita sesuai dengan sisa hutang dalam Berita Acara Penyitaan; dan
  2. mentransfer uang hasil penyitaan ke rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan.

Pasal 177

(1) Dalam hal tempat barang yang akan disita berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan penyitaan dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat barang yang akan disita berada.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan penyitaan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal:

  1. tempat barang yang akan disita berada dalam wilayah kerja Ketua Panitia Cabang yang bersangkutan; dan
  2. tempat barang yang akan disita berada di Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan yang bersangkutan.

Pasal 178

Penyitaan yang dilaksanakan oleh Juru Sita Piutang Negara merupakan sita eksekusi.

Bagian Ketiga
Sita Persamaan

Pasal 179

Pelaksanaan penyitaan tidak dapat dilakukan terhadap barang yang telah disita lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, Instansi Pajak, atau instansi lain yang berwenang.

Pasal 180

Terhadap barang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179, Juru Sita Piutang Negara menyampaikan salinan Surat Paksa kepada instansi yang lebih dahulu melakukan penyitaan disertai surat permintaan agar penyitaan yang telah dilakukan oleh instansi tersebut diberlakukan juga untuk pemenuhan Surat Paksa.

Bagian Keempat
Pengumuman Penyitaan

Pasal 181

(1) Salinan Berita Acara Penyitaan ditempelkan pada barang yang disita, di tempat barang yang disita berada, tempat-tempat umum, dan/atau tempat pengumuman di Kantor Pelayanan.
(2) Pada barang yang disita dapat ditempel atau dipasang tanda penyitaan yang memuat sekurang-kurangnya:

  1. kata-kata “DALAM PENYITAAN NEGARA q.q PUPN CABANG …………/KPKNL…………”;
  2. nomor dan tanggal Berita Acara Penyitaan;
  3. larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, menyewakan, mengubah bentuk, merusak barang sitaan;
  4. larangan untuk merusak tanda penyitaan; dan
  5. sanksi jika melakukan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan d.
(3) Penempelan atau pemasangan Salinan Berita Acara Penyitaan dan tanda penyitaan dimaksudkan sebagai pengumuman penyitaan agar penyitaan diketahui masyarakat.

Bagian Kelima
Pendaftaran Penyitaan

Pasal 182

Penyitaan yang telah dilaksanakan didaftarkan kepada instansi yang berwenang, sepanjang barang yang disita sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku wajib didaftarkan.

Bagian Keenam
Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan

Pasal 183

Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan dalam hal:

  1. Piutang Negara dinyatakan lunas/selesai;
  2. pengurusan Piutang Negara dikembalikan kepada Penyerah Piutang;
  3. Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain tidak atau tidak lagi menjadi jaminan hutang;
  4. barang yang disita telah disita lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, Instansi Pajak, atau instansi lain yang berwenang; atau
  5. pelaksanaan penyitaan mengandung cacat hukum.

Pasal 184

Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan pengangkatan sita;
  2. dasar hukum penerbitan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk mengangkat penyitaan;
  4. uraian barang yang akan diangkat sitanya;
  5. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.

Pasal 185

Berdasarkan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan Kantor Pelayanan membuat Surat Pemberitahuan Pengangkatan Sita yang ditujukan kepada instansi yang menerima salinan Berita Acara Penyitaan dan/atau instansi menerima pendaftaran penyitaan.

BAB XVI
PAKSA BADAN

Bagian Pertama
Objek Paksa Badan

Pasal 186

Objek Paksa Badan adalah:

  1. Penanggung Hutang yang terdiri dari:
    1. orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang, atau orang yang berdasarkan undang-undang atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
    2. pengurus badan hukum termasuk yayasan yang sesuai dengan akte pendirian badan hukum, diwakili oleh:
      1) direksi atau pengurus perusahaan/yayasan/koperasi; dan/atau
      2) anggota dewan komisaris/dewan pengawas;
    3. salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari badan hukum dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap, atau persekutuan perdata;
  2. Penjamin Hutang, terdiri dari:
    1. penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarentee);
    2. penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau
    3. pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikat diri sebagai penjamin (corporate guarentee);
  3. pemegang saham, dalam hal:
    1. secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;
    2. terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam perseroan; atau
    3. secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan; dan/atau
  4. ahli waris yang telah menerima warisan dari Penanggung Hutang.

Bagian Kedua
Surat Perintah Paksa Badan

Pasal 187

(1) Surat Perintah Paksa Badan diterbitkan dalam hal:

  1. Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Paksa;
  2. sisa hutang Penanggung Hutang paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
  3. Barang Jaminan tidak ada atau tidak menutup sisa hutang;
  4. Penanggung Hutang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutang tetapi tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan; dan
  5. objek Paksa Badan yang belum berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun.
(2) Dalam hal informasi mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan/atau huruf e tidak ada atau tidak mencukupi, dapat dilakukan Pemeriksaan.

Pasal 188

Surat Perintah Paksa Badan dapat diterbitkan terhadap objek Paksa Badan:

  1. yang telah atau sedang dilakukan pencegahan; dan/atau
  2. yang telah dipaksa badan untuk hutang yang lain.

Pasal 189

(1) Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Paksa Badan setelah memperoleh izin dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat.
(2) Permohonan izin Paksa Badan diajukan oleh Panitia Cabang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi setempat setelah rencana Paksa Badan disetujui oleh Ketua Panitia Pusat.

Pasal 190

Surat Perintah Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Paksa Badan;
  2. dasar Hukum penerbitan Surat Perintah Paksa Badan;
  3. nomor dan tanggal:
    1. surat izin Kepala Kejaksaan Tinggi setempat; dan
    2. surat persetujuan Ketua Panitia Pusat;
  4. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Juru Sita Piutang Negara melaksanakan Paksa Badan;
  5. identitas objek Paksa Badan;
  6. jangka waktu Paksa Badan;
  7. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Paksa Badan; dan
  8. tanda tangan Panitia Cabang.

Bagian Ketiga
Penangguhan

Pasal 191

Surat Perintah Paksa Badan dapat ditangguhkan pelaksanaannya dalam hal terdapat:

  1. penetapan penangguhan Paksa Badan dari pengadilan; atau
  2. pembayaran hutang lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari sisa hutang.

Pasal 192

Penangguhan pelaksanaan Surat Perintah Paksa Badan diberikan:

  1. secara tertulis oleh Panitia Cabang; dan
  2. berlaku untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

Bagian Keempat
Jangka Waktu

Pasal 193

Jangka waktu Paksa Badan Paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak objek Paksa Badan ditempatkan dalam tempat Paksa Badan.

Pasal 194

Jangka waktu Paksa Badan dapat diperpanjang oleh Panitia Cabang sebanyak 1 (satu) kali paling lama 6 (enam) bulan.

Bagian Kelima
Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan

Pasal 195

(1) Surat Perintah Paksa Badan diberitahukan oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan sesuai ketentuan mengenai pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 sampai dengan 155.
(2) Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.

Pasal 196

(1) Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan;
  2. identitas Juru Sita Piutang Negara, penerima Surat Perintah Paksa Badan dan saksi-saksi; dan
  3. tempat pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:

  1. Juru Sita Piutang Negara;
  2. saksi-saksi; dan
  3. objek Paksa Badan/atau penerima Surat Perintah Paksa Badan.

Pasal 197

Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan/atau penerima Surat Perintah Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.

Bagian Keenam
Pelaksanaan Paksa Badan

Pasal 198

(1) Paksa Badan dilaksanakan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan dalam hal:

  1. Penanggung Hutang tidak melunasi hutangnya; dan
  2. objek Paksa Badan belum berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Paksa Badan dapat dilaksanakan sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari namun telah lewat waktu 24 (dua puluh empat) jam sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan, dalam hal terdapat izin tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat dengan alasan untuk kepentingan umum.

Pasal 199

(1) Paksa Badan dilaksanakan oleh Juru Sita Piutang Negara dibantu oleh dua orang saksi penduduk Indonesia, yang telah mencapai usia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun dan dikenal oleh Juru Sita Piutang Negara sebagai orang yang dipercaya.
(2) Dalam melaksanakan Paksa Badan, Kepala Kantor Pelayanan dan/atau Juru Sita Piutang Negara dapat meminta bantuan aparat kepolisian dan/atau kejaksaan setempat.

Pasal 200

(1) Juru Sita Piutang Negara membuat Berita Acara Paksa Badan pada saat objek Paksa Badan ditempatkan di Tempat Paksa Badan.
(2) Berita Acara Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. nomor Berita Acara Paksa Badan;
  2. hari, tanggal dan jam pelaksanaan Paksa Badan;
  3. identitas Juru Sita Piutang Negara dan saksi-saksi;
  4. nomor dan tanggal Surat Perintah Paksa Badan; dan
  5. hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Paksa Badan.
(3) Berita Acara Paksa Badan ditandatangani oleh:

  1. Juru Sita Piutang Negara;
  2. saksi-saksi; dan
  3. objek Paksa Badan.
(4) Salinan Surat Perintah Paksa Badan dan salinan Berita Acara Paksa Badan disampaikan oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.

Pasal 201

Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Paksa Badan.

Pasal 202

Paksa Badan yang telah dilaksanakan tidak menghilangkan atau mengurangi:

  1. kewajiban Penanggung Hutang untuk melunasi hutang; dan
  2. status Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain sebagai tanggungan atas hutang Penanggung Hutang.

Bagian Ketujuh
Tempat Paksa Badan

Pasal 203

(1) Paksa Badan dilaksanakan di rumah Paksa Badan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal.
(2) Dalam hal rumah Paksa Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat diadakan, Paksa Badan dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara.

Pasal 204

Dalam hal Tempat Paksa Badan yang akan digunakan adalah rumah Paksa Badan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal, Kantor Pelayanan membentuk satuan tugas Paksa Badan yang bertugas untuk mengawasi objek Paksa Badan selama dalam pelaksanaan Paksa Badan.

Pasal 205

Dalam hal Tempat Paksa Badan yang akan digunakan lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, Kantor Pelayanan melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait.

Bagian Kedelapan
Biaya

Pasal 206

(1) Biaya pelaksanaan Paksa Badan termasuk biaya keperluan hidup objek Paksa Badan di tempat Paksa Badan ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh Direktorat Jenderal.

Bagian Kesembilan
Hak Objek Paksa Badan

Pasal 207

(1) Selama pelaksanaan Paksa Badan di Tempat Paksa Badan, objek Paksa Badan berhak:

  1. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
  2. memperoleh pelayanan kesehatan;
  3. mendapatkan makan;
  4. memperoleh bahan bacaan atas biaya sendiri; dan
  5. menerima kunjungan pada waktu tertentu dari :
    1. keluarga dan sahabat;
    2. dokter pribadi atas biaya sendiri; dan/atau
    3. rohaniwan.
(2) Dalam hal hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diperoleh atas biaya sendiri dan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.

Bagian Kesepuluh
Izin Keluar dari Tempat Paksa Badan

Pasal 208

(1) Objek Paksa Badan yang sedang menjalankan Paksa Badan dapat diizinkan keluar dari Tempat Paksa Badan dalam hal objek Paksa Badan akan:

  1. melaksanakan ibadah di tempat ibadah;
  2. menghadiri sidang di pengadilan;
  3. mengikuti pemilihan umum di tempat pemilihan umum;
  4. menjalani pemeriksaan kesehatan atau pengobatan di rumah sakit; atau
  5. menghadiri pemakaman orang tua, suami/isteri, dan/atau anak.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas permohonan objek Paksa Badan.

Pasal 209

Dalam hal dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) huruf d diketahui bahwa objek Paksa Badan harus menjalani pengobatan secara rawat inap, masa perawatan tidak Mengurangi jangka waktu Paksa Badan.

Pasal 210

(1) Persetujuan atau penolakan izin keluar dari Tempat Paksa Badan diterbitkan oleh Panitia Cabang dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak permohonan izin diterima dan disampaikan kepada objek Paksa Badan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(2) Dalam hal Tempat Paksa Badan yang digunakan adalah lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, persetujuan atau penolakan izin keluar dari Tempat Paksa Badan disampaikan kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggungjawab Tempat Paksa Badan.

Pasal 211

Jangka waktu izin keluar dari Tempat Paksa Badan ditetapkan paling lama 6 (enam) jam.

Bagian Kesebelas
Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan

Pasal 212

Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan diterbitkan oleh Panitia Cabang dalam jangka waktu 1 (satu) hari sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu Paksa Badan berakhir.

Pasal 213

Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
  2. dasar hukum penerbitan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Juru Sita Piutang Negara untuk melaksanakan perpanjangan Paksa Badan;
  4. identitas objek Paksa Badan;
  5. jangka waktu perpanjangan Paksa Badan;
  6. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Perpanjangan Badan; dan
  7. tanda tangan Panitia Cabang.

Bagian Kedua belas
Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan

Pasal 214

(1) Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan diberitahukah oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(2) Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan.

Pasal 215

(1) Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan, Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
  2. identitas Juru Sita Piutang Negara, objek Paksa Badan, dan saksi-­saksi; dan
  3. tempat pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:

  1. Juru Sita Piutang Negara;
  2. saksi-saksi; dan
  3. objek Paksa Badan.
(3) Salinan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan dan salinan Berita Acara Pemberitahuan Perpanjangan Paksa Badan disampaikan oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.

Pasal 216

Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan.

Bagian Ketiga belas
Objek Paksa Badan Melarikan Diri

Pasal 217

(1) Objek Paksa Badan yang melarikan diri dari tempat Paksa Badan, dapat segera dilaksanakan Paksa Badan kembali berdasarkan Surat Perintah Paksa Badan/atau Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan yang telah diterbitkan.
(2) Pelaksanaan Paksa Badan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jangka waktunya sama dengan masa pelaksanaan Paksa Badan menurut Surat Perintah Paksa Badan atau Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan yang telah diterbitkan, tanpa memperhitungkan jangka waktu pelaksanaan Paksa Badan yang telah dijalani sebelum objek Paksa Badan melarikan diri.

Pasal 218

(1) Objek Paksa BacJan berkewajiban membayar ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian.
(2) Ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian meliputi biaya:

  1. pelaksanaan Paksa Badan sebelum objek Paksa Badan melarikan diri; dan
  2. untuk mencari objek Paksa Badan.
(3) Ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Keempat belas
Pembatalan Paksa Badan

Pasal 219

Pelaksanaan Paksa Badan terhadap objek Paksa Badan yang dibatalkan oleh pengadilan, hanya dapat dipaksa badan lagi untuk hutang yang sama setelah lampau waktu 8 (delapan) hari sejak dibebaskan.

Pasal 220

Paksa Badan yang telah dijalankan sebelum dibatalkan oleh pengadilan, diperhitungkan dengan pelaksanaan Paksa Badan berikutnya.

Bagian Kelima belas
Pembebasan Objek Paksa Badan

Pasal 221

(1) Objek Paksa Badan harus dibebaskan dalam hal:

  1. Piutang Negara dinyatakan lunas;
  2. pengurusan Piutang Negara ditarik oleh atau dikembalikan kepada Penyerah Piutang;
  3. objek Paksa Badan telah berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun;
  4. objek Paksa Badan mengalami gangguan kejiwaan berat sehingga menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum; atau
  5. Jangka waktu Paksa Badan berakhir.
(2) Objek Paksa Badan dapat dibebaskan dalam hal:

  1. terdapat pembayaran hutang paling sedikit 70% (tujuh puluh persen ) dari sisa hutang; atau
  2. terdapat permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi demi kepentingan umum.

Pasal 222

Keterangan bahwa objek Paksa Badan mengalami gangguan kejiwaan berat sehingga menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter yang ditunjuk oleh Panitia Cabang.

Pasal 223

Dalam hal terdapat permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi untuk membebaskan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan demi kepentingan umum, Panitia Cabang terlebih dahulu secara tertulis meminta persetujuan dari Ketua Panitia Pusat.

Pasal 224

(1) Pembebasan Paksa Badan dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
(2) Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan;
  2. dasar hukum penerbitan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Juru Sita Piutang Negara membebaskan objek Paksa Badan;
  4. identitas objek Paksa Badan;
  5. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.

Bagian Keenam belas
Pelaksanaan Pembebasan Objek Paksa Badan

Pasal 225

Dalam hal objek Paksa Badan akan dibebaskan dari Tempat Paksa Badan, Panitia Cabang memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.

Pasal 226

(1) Pembebasan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan dilaksanakan oleh juru Sita Piutang Negara dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(2) Pembebasan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pembebasan Paksa Badan.

Pasal 227

(1) Berita Acara Pembebasan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. hari, tanggal, dan jam pembebasan objek Paksa Badan; dan
  2. identitas Juru Sita Piutang Negara, objek Paksa Badan, dan saksi-­saksi.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:

  1. Juru Sita Piutang Negara;
  2. saksi-saksi; dan
  3. objek Paksa Badan.
(3) Salinan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan dan salinan Berita Acara Pembebasan Paksa Badan disampaikan oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.

Bagian Ketujuh belas
Kerjasama

Pasal 228

Dalam rangka kelancaran pelaksanaan Paksa Badan, Direktur Jenderal/Ketua Panitia Pusat dapat melakukan kerjasama dengan Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Penyerah Piutang, dan/atau instansi lain yang terkait.

BAB XVII
PENILAIAN

Bagian Pertama
Objek Penilaian dan Penilai

Pasal 229

(1) Objek penilaian adalah Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.
(2) Penilaian dilakukan dalam rangka penjualan melalui lelang, penjualan tanpa melalui lelang, penebusan dengan nilai di bawah nilai pengikatan, atau keringanan hutang.

Pasal 230

(1) Penilaian terhadap objek penilaian dilakukan oleh Tim Penilai Internal.
(2) Dalam hal objek penilaian bersifat khusus dan/atau barang tidak berwujud, penilaian dilakukan oleh Penilai Eksternal.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penilaian dapat dilakukan oleh Tim Penilai Internal dalam hal memiliki kualifikasi untuk melakukan penilaian terhadap objek penilaian bersifat khusus dan/atau barang tidak berwujud.
(4) Penilaian terhadap objek penilaian yang bersifat tidak khusus dapat dilakukan oleh Penilai Eksternal dalam hal Penyerah Piutang bersedia membiayai.

Pasal 231

Kriteria dan jenis objek penilaian yang bersifat khusus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Penilaian

Pasal 232

Pelaksanaan penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 233

(1) Dalam hal objek penilaian yang akan dinilai berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan penilaian dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat objek penilaian berada.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian dapat dilaksanakan oleh kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal objek penilaian berada di Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan.

Bagian Ketiga
Laporan Penilaian

Pasal 234

(1) Hasil penilaian dituangkan dalam Laporan Penilaian yang memuat kesimpulan mengenai Nilai Pasar atau Nilai Pasar dengan Nilai Likuidasi.
(2) Nilai Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung dengan cara mengurangi Nilai Pasar dengan risiko-risiko penjualan melalui lelang.
(3) Risiko-risiko penjualan melalui lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Nilai Pasar.

Pasal 235

(1) Laporan Penilaian yang disampaikan Penyerah Piutang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan nilai penjualan melalui lelang, penebusan dengan nilai di bawah nilai pengikatan, penjualan tanpa melalui lelang, atau keringanan hutang, dengan ketentuan:

  1. penilai yang ditunjuk Penyerah Piutang adalah penilai atau perusahaan penilai yang independen;
  2. penilai atau perusahaan penilai memiliki izin resmi dari lembaga yang berwenang untuk melakukan kegiatan penilaian (appraisal) di Indonesia;
  3. Laporan Penilaian harus ditandatangani oleh penilai yang lulus Ujian Sertifikasi Penilai (USP) dan telah mempunyai izin penilaian dari Menteri Keuangan;
  4. Laporan Penilaian masih sesuai dengan kondisi barang atau kondisi pasar yang ada; dan
  5. Laporan Penilaian masih berlaku.
(2) Penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penilai atau perusahaan penilai yang tidak mempunyai hubungan kepemilikan/afiliasi dengan Penyerah Piutang atau tidak mempunyai kepentingan dengan objek penilaian.

BAB XVIII
LELANG

Bagian Pertama
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan

Pasal 236

Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dalam hal setelah dilakukan penyitaan, Penanggung Hutang tidak menyelesaikan hutangnya.

Pasal 237

(1) Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. pertimbangan hukum diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan;
  2. dasar hukum penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk melaksanakan Lelang;
  4. uraian barang sitaan yang akan dilelang;
  5. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.
(2) Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan diberitahukan secara tertulis kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.

Bagian Kedua
Pengumuman Lelang

Pasal 238

Pengumuman Lelang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Nilai Limit

Pasal 239

Nilai Limit barang yang akan dilelang ditetapkan:

  1. oleh Panitia Cabang; dan
  2. berdasarkan Laporan Penilaian yang masih berlaku.

Pasal 240

(1) Nilai Limit ditetapkan paling rendah sama dengan Nilai Likuidasi yang dibuat oleh Tim Penilai Internal.
(2) Dalam hal laporan penilaian dibuat oleh Penilai Eksternal, Nilai Limit ditetapkan paling rendah sama dengan Nilai Pasar dikurangi risiko-­risiko penjualan melalui lelang paling banyak 30% (tiga puluh persen).

Pasal 241

(1) Nilai Limit untuk Lelang kedua dan berikutnya ditetapkan:

  1. paling rendah sama dengan nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 dan nilai penawaran tertinggi pada pelaksanaan lelang sebelumnya;
  2. sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239, dalam hal pada pelaksanaan lelang sebelumnya tidak terdapat penawaran.
(2) Penawaran tertinggi yang terjadi pada lelang sebelumnya tidak dipergunakan sebagai dasar dalam penetapan Nilai Limit dalam hal penawaran dilakukan oleh pemenang lelang yang wanprestasi.

Pasal 242

Pemberitahuan Nilai Limit dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 243

Ketentuan mengenai Nilai Limit diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Keempat
Persiapan Lelang

Pasal 244

(1) Kantor Pelayanan melakukan:

  1. persiapan dokumen persyaratan lelang; dan
  2. pemberitahuan rencana lelang secara tertulis kepada Penyerah Piutang, Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum lelang dilaksanakan.

Pasal 245

(1) Kantor Pelayanan memberikan penjelasan kepada calon peserta lelang yang meminta penjelasan mengenai barang-barang yang akan dilelang.
(2) Kantor Pelayanan dapat mengundang dan memberikan penjelasan (aanwijzing) mengenai barang-barang yang akan dilelang dan hal lain yang terkait dengan Lelang kepada calon peserta lelang.

Bagian Kelima
Penentuan Urutan Barang yang Dilelang

Pasal 246

Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang selaku pemilik barang yang dilelang dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan guna menentukan urutan barang yang akan dilelang.

Pasal 247

Kepala Kantor Pelayanan menentukan urutan barang yang akan dilelang dalam hal:

  1. Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246; atau
  2. barang maupun pemilik barang yang akan dilelang lebih dari 1 (satu) dan masing-masing pemilik mengajukan permohonan urutan barang yang akan dilelang.

Bagian Keenam
Uang Jaminan Lelang

Pasal 248

(1) Setiap barang yang akan dilelang ditetapkan uang jaminan lelang.
(2) Besarnya uang jaminan lelang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketujuh
Lelang Terhadap Barang yang Berada di Luar Wilayah Kerja

Pasal 249

Dalam hal barang yang akan dilelang berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, Kantor Pelayanan meminta bantuan pelaksanaan lelang secara tertulis kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat barang yang akan dilelang berada.

Bagian Kedelapan
Penundaan dan Pembatalan Rencana Lelang Yang Telah Diumumkan

Pasal 250

(1) Lelang yang akan dilaksanakan pada prinsipnya tidak dapat ditunda kecuali:

  1. adanya putusan atau penetapan Pengadilan;
  2. persyaratan lelang tidak dipenuhi; atau
  3. adanya pembayaran hutang.
(2) Ketentuan mengenai penundaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 251

(1) Lelang yang akan dilaksanakan pada prinsipnya tidak dapat dibatalkan kecuali:

  1. Penanggung Hutang melunasi hutang;
  2. barang dan/atau dokumen barang yang akan dilelang disita dalam perkara pidana;
  3. barang dan/atau dokumen barang yang akan dilelang telah musnah;
  4. barang yang akan dilelang telah dijual tidak melaiui lelang; atau
  5. barang yang akan dilelang telah di tebus.
(2) Dalam hal atas 1 (satu) berkas kasus Piutang Negara terdapat beberapa barang yang akan dilelang, pembatalan rencana Lelang hanya berlaku atas objek Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e, sedangkan terhadap barang lainnya, tetap dilaksanakan Lelang.

Pasal 252

Penundaan atau pembatalan rencana Lelang diumumkan oleh:

  1. Kantor Pelayanan melalui:
    1. surat kabar harian;
    2. selebaran
    3. tempelan yang mudah dibaca oleh umum di tempat Lelang dilaksanakan; dan/atau
    4. media massa lainnya; dan
  2. Pejabat Penjual pada saat lelang.

Bagian Kesembilan
Pengembalian Kelebihan Hasil Lelang

Pasal 253

Dalam hal terdapat kelebihan hasil lelang setelah diperhitungkan dengan pelunasan hutang Penanggung Hutang, kelebihan hasil Lelang diserahkan kepada:

  1. Penanggung Hutang;
  2. Penjamin Hutang, dalam hal barang yang dilelang adalah milik pihak ketiga;
  3. ahli waris, dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia;
  4. Balai Harta Peninggalan, dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris;
  5. likuidator, dalam hal Penanggung Hutang adalah badan hukum yang telah dibubarkan; atau
  6. Pengadilan Niaga atau Kurator, dalam hal Penanggung Hutang dinyatakan pailit.

Pasal 254

Dalam hal hasil Lelang barang milik pihak ketiga melebihi Nilai Pembebanan Hipotik/Hak Tanggungan/Fidusia, hasil Lelang yang digunakan untuk pembayaran hutang sebesar Nilai Pembebanan Hipotik/Hak Tanggungan/Fidusia ditambah Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.

Pasal 255

Ketentuan mengenai kelebihan hasil Lelang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

BAB XIX
PENJUALAN TANPA MELALUI LELANG

Bagian Pertama
Permohonan Penjualan

Pasal 256

(1) Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang selaku pemilik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dapat mengajukan permohonan Penjualan tanpa melalui lelang untuk penyelesaian hutang.
(2) Permohonan penjualan tanpa melalui lelang diajukan secara tertulis oleh:

  1. Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dan dilampiri Surat Penawaran Pembelian dari calon Pembeli; atau
  2. Calon pembeli dengan persetujuan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang.
(3) Dalam hal permohonan diajukan oleh Penjamin Hutang, permohonan harus disetujui oleh Penanggung Hutang.
(4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat sekurang-kurangnya uraian barang yang akan dijual atau dibeli, nilai penjualan atau nilai pembelian, identitas calon pembeli, dan cara pembayaran.

Pasal 257

Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia, permohonan Penjualan tanpa melalui lelang dapat diajukan oleh ahli warisnya.

Pasal 258

(1) Permohonan penjualan tanpa melalui lelang dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan Lelang.
(2) Dalam hal Barang jamman dan/atau Harta Kekayaan telah dilelang tetapi belum laku, permohonan Penjualan tanpa melalui lelang dapat diajukan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan

Pasal 259

(1) Persetujuan penjualan tanpa melalui lelang ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan ketentuan:

  1. berpedoman pada Laporan Penilaian yang masih berlaku; dan
  2. nilai persetujuan paling sedikit sama dengan Nilai Pasar.
(2) Persetujuan penjualan tanpa melalui lelang atas saham/obligasi yang diperjualbelikan di bursa efek dapat dilakukan tanpa berpedoman pada Laporan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a.
(3) Ketentuan mengenai persetujuan penjualan tanpa melalui lelang atas saham/obligasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 260

(1) Dalam hal Nilai Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259huruf b di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia atau tidak ada pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia, Kantor Pelayanan wajib meminta persetujuan kepada Penyerah Piutang.
(2) Penjualan tanpa melalui lelang dengan Nilai Pasar di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia, atau tidak ada pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia dapat dilaksanakan setelah Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penjualan kepada Panitia Cabang/Kantor Pelayanan.

Pasal 261

(1) Tanggapan atas surat permintaan persetujuan wajib disampaikan oleh Penyerah Piutang paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima oleh Penyerah Piutang.
(2) Dalam hal Penyerah Piutang keberatan atas rencana penjualan dengan Nilai Pasar di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia, Penyerah Piutang wajib menyampaikan alasan keberatan secara tertulis.
(3) Dalam hal Penyerah Piutang tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penjualan tanpa melalui lelang tetap dapat dilaksanakan.

Pasal 262

Nilai persetujuan Penjualan tanpa melalui lelang yang ditetapkan:

  1. termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
  2. tidak termasuk beban Pajak dan beban lainnya.

Pasal 263

(1) Sejak permohonan penjualan diterima Kantor Pelayanan sampai terbitnya Keputusan Panitia Cabang tentang Penjualan tanpa melalui lelang, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.
(2) Tindakan hukum pengurusan Piutang Negara dapat dilaksanakan terhadap barang lain yang tidak diajukan permohonan untuk dijual.

Bagian Ketiga
Cara Pembayaran dan Wanprestasi

Pasal 264

(1) Pembayaran Penjualan tanpa melalui lelang dilakukan secara tunai paling lama dalam waktu 2 (dua) bulan sejak disetujui.
(2) Dalam hal pembeli wanprestasi terhadap syarat pembayaran, Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis.
(3) Dalam hal pembeli tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan penjualan menjadi batal.

Pasal 265

(1) Penanggung Hutang dapat mengajukan kembali Permohonan Penjualan tanpa melalui lelang atas Barang jaminan dan/atau Harta Kekayaan yang telah dibatalkan persetujuan penjualannya.
(2) Penjualan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi calon pembeli yang telah wanprestasi.
(3) Permohonan pengajuan kembali dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 sampai dengan Pasal 258.
(4) Pengajuan permohonan penjualan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku satu kali untuk barang yang sama.

BAB XX
PENEBUSAN

Bagian Pertama
Permohonan Penebusan

Pasal 266

(1) Penjamin Hutang dapat mengajukan permohonan untuk menebus Barang Jaminan miliknya.
(2) Permohonan Penebusan diajukan oleh Penjamin Hutang secara tertulis.
(3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat sekurang-kurangnya:

  1. uraian barang yang akan ditebus;
  2. nilai penebusan; dan
  3. cara pembayaran.

Pasal 267

Dalam hal Penjamin Hutang telah meninggal dunia, permohonan Penebusan dapat diajukan oleh ahli warisnya.

Pasal 268

(1) Permohonan Penebusan sebesar Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan lelang.
(2) Dalam hal Barang Jaminan telah dilelang tetapi belum laku, pengajuan permohonan Penebusan dengan nilai sebesar Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia tetap dapat dilakukan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan Lelang berikutnya.

Pasal 269

(1) Permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan Lelang.
(2) Dalam hal Barang Jaminan telah dilelang tetapi belum laku, pengajuan permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia tetap dapat dilakukan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan Lelang berikutnya.

Pasal 270

Penebusan tidak boleh diajukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang menjamin seluruh hutang Penanggung Hutang.

Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan

Pasal 271

Persetujuan Penebusan ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan ketentuan paling sedikit sama dengan Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia.

Pasal 272

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271, permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia, dapat disetujui dengan ketentuan:

  1. Nilai Pasar barang yang akan ditebus berdasarkan Laporan Penilaian yang masih berlaku di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia;
  2. Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada Panitia Cabang/Kantor Pelayanan; dan
  3. mendapat persetujuan Penanggung Hutang.

Pasal 273

(1) Permintaan persetujuan dari Kantor Pelayanan atas rencana Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia harus mendapat tanggapan dari Penyerah Piutang paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permintaan persetujuan diterima oleh Penyerah Piutang.
(2) Dalam hal Penyerah Piutang keberatan atas rencana Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia, Penyerah Piutang wajib menyampaikan alasan keberatan secara tertulis.
(3) Dalam hal Penyerah Piutang tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia tetap dapat dilaksanakan.

Pasal 274

Nilai Penebusan yang ditetapkan ditambah Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.

Pasal 275

(1) Sejak permohonan Penebusan diterima Kantor Pelayanan sampai terbitnya Keputusan Panitia Cabang tentang Penebusan, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.
(2) Tindakan hukum pengurusan Piutang Negara dapat dilaksanakan terhadap barang lain yang tidak diajukan permohonan untuk ditebus.

Bagian Ketiga
Cara Pembayaran dan Wanprestasi

Pasal 276

Pembayaran Penebusan dilakukan secara tunai paling lama dalam waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan disetujui.

Pasal 277

(1) Dalam hal Penjamin Hutang wanprestasi terhadap syarat pembayaran, Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis.
(2) Dalam hal Penjamin Hutang tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan Penebusan menjadi batal

Pasal 278

(1) Penjamin Hutang dapat mengajukan kembali permohonan Penebusan atas Barang Jaminan yang telah dibatalkan persetujuan penebusannya.
(2) Permohonan penebusan kembali dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 sampai dengan Pasal 270.
(3) Pengajuan permohonan penebusan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku satu kali untuk barang yang sama.

BAB XXI
PIUTANG NEGARA SEMENTARA BELUM DAPAT DITAGIH

Pasal 279

(1) Piutang Negara ditetapkan sebagai Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih, dalam hal masih terdapat sisa Piutang Negara, namun:

  1. Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan atau tidak diketahui tempat tinggalnya; dan
  2. Barang Jaminan tidak ada, telah terjual, ditebus, atau tidak lagi mempunyai nilai ekonomis.
(2) Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan Laporan Penilaian bahwa barang jaminan mempunyai nilai jual yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai nilai jual.

Pasal 280

Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu, dalam hal sisa hutang paling sedikit:

  1. Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk Piutang Negara Perbankan; atau
  2. Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk Piutang Negara Nonperbankan.

Pasal 281

(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 huruf b, penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan dalam hal Piutang Negara yang berasal dari Instansi Pemerintah dan telah mendapat rekomendasi penghapusan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Dalam hal semula piutang BUMN selanjutnya berubah menjadi piutang Instansi Pemerintah dan telah dilakukan penelitian bersama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan.

Pasal 282

Panitia Cabang menetapkan dan memberitahukan secara tertulis Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih kepada Penyerah Piutang.

Pasal 283

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 dapat dipergunakan sebagai dasar bagi Penyerah Piutang untuk mengusulkan/melakukan penghapusbukuan atau penghapustagihan piutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 284

(1) Pengurusan Piutang Negara yang telah diterbitkan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dilanjutkan dalam hal pada perkembangan selanjutnya Penanggung Hutang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan hutang.
(2) Dalam hal pengurusan Piutang Negara dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitia Cabang menetapkan dan memberitahukan secara tertulis Pencabutan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih yang telah diterbitkan.
(3) Dalam hal pernah diterbitkan Pencabutan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih, Surat Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih yang baru dapat diterbitkan dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 sampai dengan Pasal 282.

BAB XXII
BIAYA ADMINISTRASI PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

Bagian Pertama
Pemungutan dan Pembebanan

Pasal 285

(1) Setiap pengurusan Piutang Negara dipungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
(2) Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dibebankan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dan dikenakan terhitung mulai tanggal diterbitkannya SP3N.

Pasal 286

(1) Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dikenakan dari jumlah hutang yang wajib dilunasi/diselesaikan oleh Penanggung Hutang.
(2) Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara tidak dikenakan dalam hal:

  1. terdapat biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a yang timbul setelah SP3N diterbitkan;
  2. terjadi Pengembalian pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38; atau
  3. terdapat bagian dari kredit sindikasi yang tidak ikut diserahkan pengurusannya kepada Panitia Cabang.

Pasal 287

Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dipungut secara proporsional dari setiap pembayaran hutang yang diterima.

Bagian Kedua
Penerimaan Negara Bukan Pajak

Pasal 288

Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan wajib disetorkan ke Kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara

Pasal 289

Besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dikenakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XXIII
PEMBAYARAN HUTANG

Pasal 290

Pelaksanaan pembayaran hutang termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan melalui Kantor Pelayanan atau Penyerah Piutang.

Pasal 291

(1) Dalam hal pembayaran dilaksanakan melalui Kantor Pelayanan, pembayaran hutang dapat diterima oleh Bendahara Penerimaan melalui rekening Bendahara Penerimaan dan/atau secara tunai.
(2) Dalam hal pembayaran diterima secara tunai, besarnya pembayaran yang dapat diterima oleh Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan paling banyak sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 292

Dalam hal pembayaran dilaksanakan melalui Penyerah Piutang, Penyerah Piutang wajib segera memberitahukan data pembayaran hutang kepada Kantor Pelayanan dan wajib segera melimpahkan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara ke rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan.

Pasal 293

(1) Kantor Pelayanan menatausahakan penerimaan pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai penatausahaan penerimaan pembayaran diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal.

BAB XXIV
KERJASAMA

Pasal 294

(1) Direktorat Jenderal dapat melakukan kerjasama dengan:

  1. Penyerah Piutang;
  2. perusahaan penjamin kredit;
  3. pihak-pihak yang mempunyai keahlian di bidang pengelolaan aset, restrukturisasi hutang, peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan/atau
  4. instansi lain yang terkait dengan pengurusan Piutang Negara.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 295

Dalam rangka pelaksanaan kerjasama, biaya-biaya yang timbul dapat dibebankan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294 ayat (1), dan/atau Direktorat Jenderal.

Pasal 296

Ketentuan mengenai kerjasama diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

BAB XXV
PENARIKAN

Bagian Pertama
Usul Penarikan

Pasal 297

(1) Penyerah Piutang dapat mengajukan usul penarikan pengurusan Piutang Negara untuk keperluan restrukturisasi hutang.
(2) Usul penarikan disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi rencana pelaksanaan restrukturisasi hutang.
(3) Usul penarikan pengurusan Piutang Negara dapat diajukan sewaktu­waktu dengan ketentuan paling lambat 6 (enam) hari sebelum pelaksanaan Lelang.
(4) Dalam hal pernah dilaksanakan Lelang, penarikan dapat dilakukan paling lambat 6 (enam) hari, sebelum pelaksanaan Lelang berikutnya.

Pasal 298

(1) Untuk Piutang Negara Perbankan, restrukturisasi hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 adalah restrukturisasi hutang yang dilaksanakan Penyerah Piutang sesuai dengan ketentuan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan Pedoman Restrukturisasi yang diterbitkan Penyerah Piutang yang bersangkutan.
(2) Untuk Piutang Negara Nonperbankan, restrukturisasi hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 adalah restrukturisasi hutang yang dilaksanakan Penyerah Piutang sesuai Pedoman Restrukturisasi yang diterbitkan Penyerah Piutang yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan

Pasal 299

Kantor Pelayanan segera meneliti rencana pelaksanaan restrukturisasi hutang yang disampaikan oleh Penyerah Piutang.

Pasal 300

Dalam hal usul penarikan pengurusan Piutang Negara dapat disetujui, Panitia Cabang menerbitkan Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.

Pasal 301

Dalam hal usul penarikan pengurusan Piutang Negara tidak dapat disetujui, Panitia Cabang menerbitkan Surat Penolakan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.

Pasal 302

(1) Dalam hal setelah lewat waktu 14 (hari) sejak tanggal terbitnya Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara tidak diselesaikan, Kantor Pelayanan memberikan surat teguran kepada Penyerah Piutang.
(2) Dalam hal setelah lewat 14 (hari) hari sejak tanggal terbitnya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara tetap tidak diselesaikan, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pembatalan Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.
(3) Penyerah Piutang dapat mengajukan permohonan penarikan kembali terhadap pengurusan Piutang Negara yang telah dibatalkan persetujuan penarikannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Permohonan penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.

Bagian Ketiga
Piutang Negara Selesai

Pasal 303

(1) Dalam hal usul penarikan disetujui dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara atas penarikan pengurusan, Piutang Negara telah diselesaikan, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai.
(2) Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi dan bukti pembayaran Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara yang menunjukkan Piutang Negara telah selesai.

Pasal 304

Kantor Pelayanan menyampaikan Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai kepada Penyerah Piutang disertai semua dokumen asli yang telah diterima oleh Kantor Pelayanan.

BAB XXVI
PELUNASAN

Pasal 305

(1) Dalam hal hutang Penanggung Hutang telah lunas, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas.
(2) Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi.

Pasal 306

Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas disampaikan kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.

BAB XXVII
ROYA

Pasal 307

Penyerah Piutang wajib mengajukan permohonan roya, dalam hal:

  1. Barang Jaminan telah terjual atau ditebus; atau
  2. Piutang Negara dinyatakan lunas.

BAB XXVIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 308

(1) Kasus Piutang Negara yang diurus berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara dan belum lunas/selesai, tahap selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang berstatus BUMN/BUMD dan:

  1. telah dilaksanakan mediasi namun belum tercapai kesepakatan penyelesaian, selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini dimulai dengan Panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
  2. telah dilaksanakan tindakan pengurusan Piutang Negara, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan dengan melanjutkan tindakan pengurusan Piutang Negara menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

BAB XXIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 309

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:

  1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara; dan
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.09/1995 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Milik Penanggung Hutang/Penjamin Hutang yang Tersimpan di Bank oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 310

Ketentuan mengenai prosedur kerja dan bentuk surat yang diperlukan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 311

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Oktober 2007
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Reading: Peraturan Menteri Keuangan – 128/PMK.06/2007