Resources / Regulation / Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah – 143 TAHUN 2000

Menimbang :

bahwa dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang-Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984),
  3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
  4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

  1. Undang-undang PPN adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000

  2. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

  3. Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.

  4. Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan atau persediaan barang jadi.

  5. Pedagang Eceran adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut:
  1. menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan yang dilakukan dari rumah ke rumah;dan
  2. menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut; dan
  3. melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya.

BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

Pasal 2

(1)

Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, adalah Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak.
(2) Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang PPN, adalah bentuk kerjasama operasi.
(3)

Saat pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.

BAB III
IMPOR BARANG KENA PAJAK

Pasal 3

Atas impor Barang Kena Pajak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan Pabean dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, Pajak yang terutang tetap dipungut kecuali ditetapkan lain berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

BAB IV
DASAR PENGENAAN PAJAK

Pasal 4

(1)

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak yang terutang.
(2)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.
(3)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.

BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 5

(1) Dalam kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, harus disebutkan dengan jelas nilainya, Dasar Pengenaan Pajak, dan besarnya Pajak yang terutang.
(2) Apabila dalam nilai kontrak atau perjanjian tertulis telah termasuk Pajak, maka wajib disebutkan dengan jelas bahwa dalam nilai tersebut telah termasuk Pajak.
(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, maka jumlah harga yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Pasal 6

(1) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, maka cara penghitungan Pajaknya adalah sebagai berikut:

  1. Pajak Pertambahan Nilai =
    10
    ———–
    X harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak
    110 + t
  1. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah =
    10
    ———–
    X harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak
    110 + t

t = besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah

(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Pengusaha Kena Pajak tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban pemungutan Pajak, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga Jual, atau Penggantian, atau Nilai Lain sesuai hasil pemeriksaan, sehingga besarnya Pajak yang terutang dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar Pengenaan Pajak menurut hasil pemeriksaan.
(4) Pengusaha yang seharusnya melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaksanakan kewajibannya tersebut, maka besarnya Pajak yang terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 7

(1) Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa, dan tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak penerima jasa.
(2) Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi baik karena bencana alam ataupun sebab lain di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut.
(3) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan Pajak yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut dan Pajak yang salah dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak tersebut tidak dapat meminta kembali Pajak yang salah dipungut tersebut.
(4) Pajak yang salah dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.
(5) Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) adalah importir, pembeli barang, penerima jasa, atau pihak yang memanfaatkan barang tidak berwujud atau jasa dari luar Daerah Pabean.

Pasal 8

(1) Atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Harga Jual.
(2) Atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, serta atas pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 9

(1) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam menghitung Pajak yang terutang dapat memilih Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan, atas penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang tidak memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan, maka penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 10

Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 11

(1) Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang PPN mempergunakan mata uang asing, maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

BAB VI
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN

Pasal 12

(1) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.

BAB VII
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG

Pasal 13

(1) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan.
(2) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli;
(3) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :

  1. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;
  2. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak;
  3. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau
  4. saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui,
(4) Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
(5) Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(6) Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(7) Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat :

  1. ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris; atau
  2. berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; atau
  3. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau
  4. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
(8) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat ditandatanganinya akte yang berkenaan oleh Notaris.

Pasal 14

(1) Tempat Pajak terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan,yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Tempat Pajak terutang atas :

  1. Impor Barang Kena Pajak, adalah di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan ke dalam Daerah Pabean;
  2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean adalah di tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau badan tersebut bukan sebagai Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak;
  3. Kegiatan membangun sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya atau oleh bukan Pengusaha Kena Pajak, adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat Pajak terutang atas ekspor Barang Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.

Pasal 15

(1) Setiap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak.
(2) Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 13 ayat (5) Undang-undang PPN, yaitu :

  1. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
  6. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
  7. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(4) Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2) dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak Standar.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang berlaku sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Ketentuan mengenai :

1. Jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; dan

2.Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 19

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3581), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 113) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 20

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 259

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 143 TAHUN 2000

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000

UMUM

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maka perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian atas peraturan pelaksanaan yang telah berlaku selama ini. Untuk mencapai maksud tersebut, perlu ditetapkan peraturan pelaksanaan yang baru sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 1999.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terlaksana secara efektif dan lancar, sudah sewajarnya apabila Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dihasilkannya, dan atas perolehannya telah dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tersebut merupakan bagian dari biaya produksi Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dihasilkannya. Dengan demikian, Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang menjadi bagian atau digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah termasuk dalam Dasar Pengenaan Pajak.

Contoh:
Pengusaha Kena Pajak (PKP) “A” merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PKP “A” juga membeli Tape dan AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan Tape dan AC tersebut PKP “A” telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar Rp 350.000,00 (Rp 100.000,00 untuk Tape dan Rp 250.000,00 untuk AC). Apabila Harga Produksi mobil sebesar Rp 110.000.000,00 dan keuntungan yang diinginkan PKP “A” sebesar Rp 40.000.000,00 maka Harga Jual mobil tersebut sebesar Rp 150.350.000,00. Dengan demikian Dasar Pengenaan Pajak atas mobil tersebut adalah Rp 150.350.000.00. Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.:

a. Pajak Pertambahan Nilai = 10% X Rp 150.350.000,00 = Rp 15.035.000,00
b. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (tarif 20%) = 20% X Rp 150.350.000,00 = Rp 30.070.000,00

Ayat (3)
Pengusaha Kena Pajak A membeli Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dari Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut sebagai berikut :

Harga Beli (sebagai Dasar Pengenaan Pajak) = Rp 100.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai = Rp 10.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20% = Rp 20.000.000,00

Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A

=

Rp 130.000.000,00

Kemudian Pengusaha Kena Pajak A tersebut menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada Pengusaha Kena Pajak B sebagai berikut :

Harga Beli Pengusalia Kena Pajak A = Rp100.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00
Keuntungan yang diharapkan = Rp 15.000.000,00
———————– +
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 135.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai = Rp 13.500.000,00
———————– +
Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B = Rp 148.500.000,00

Pasal 5

Ayat (1)

Contoh :
Dalam pembuatan suatu kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut dengan pembeli, dapat dibuat sebagai berikut : Nilai Kontrak (sebagai Dasar Pengenaan Pajak) = Rp 100.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai = Rp 10.000.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20% = Rp 20.000.000,00 + Jumlah yang harus dibayar oleh pembeli = Rp 130.000.000,00
Ayat (2)
Contoh :
Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis bahwa dalam nilai kontrak sebesar Rp l30.000.000,00 sebagaimana contoh dalam ayat (1) di atas secara tegas dinyatakan sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (sebesar 20%), maka penghitungan PPN dan PPn BM menurut ayat ini adalah sebagai berikut :

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =

10
———–
xRp 130.000.000,00 = Rp 10.000.000,00
110 + 20

Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang =

20
———–
x Rp 130.000.000,00 = Rp 20.000.000,00
110 + 20

Ayat (3)

Sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan dengan tegas bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp 130.000.000,00.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui :

Harga Jual Rp 10.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak dalam contoh ini adalah Rp 10.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp 10.000.000,00 Rp 1.000.000,00

Apabila atas penyerahan tersebut juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20%, maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang adalah 20% x Rp 10.000.000,00 = Rp 2.000.000,00

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. Dalam hal piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut dihapuskan, penghapusan tersebut tidak mempunyai akibat atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut. Oleh karena itu baik Pengusaha Kena Pajak penjual yang menghapuskan piutangnya maupun Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang menikmati penghapusan piutangnya tidak harus melakukan penyesuaian atas Pajak yang telah dilaporkan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penyerahan aktiva adalah penyerahan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D Undang-undang PPN.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Tempat pengkreditan Pajak Masukan adalah di Tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak harus sama dengan alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan Pengukuhan. Dalam hal pengusaha melakukan impor Barang Kena Pajak dan tempat melakukan impor berbeda dengan tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, maka tempat pengkreditan Pajak Masukan atas impor Barang Kena Pajak adalah di tempat pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak tersebut tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak ditempat Barang Kena Pajak tersebut diimpor.

Ayat (2)

Contoh :

Pengusaha Kena Pajak “A” yang kantor pusatnya di Jakarta dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Gambir I memiliki pabrik yang terletak di kota Solo dan telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Solo. PIB dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan NPWP kantor pusat Jakarta. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Solo dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen impor tersebut.

Pasal 13

Ayat (1)

Saat penyerahan barang bergerak tidak selalu dikaitkan dengan berbagai syarat penyerahan yang lazim terjadi dalam dunia perdagangan. Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan barang bergerak telah terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (Penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Karena itu pajak terutang pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha angkutan, perusahaan angkutan atau pihak ketiga lainnya untuk atau atas nama pihak kedua atau pembeli.

Ayat (2)

Dalam penentuan atau penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Oleh karena itu pajak terutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan.

Contoh 1 :

Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2001, Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat pajak terutang adalah tanggal 1 September 2001. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.

Contoh 2 :

Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Saat Pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.

Contoh 3 :

Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat Pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Penyerahan barang tidak bergerak yang dilakukan dengan suatu perjanjian akan menyerahkan barang tersebut dalam masa tertentu tidak dapat digunakan untuk menentukan saat Pajak terutang.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Atas penyerahan jasa pemborong bangunan atau barang tidak bergerak :

Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Dan sebelum jasa pemborong itu selesai dan siap untuk diserahkan telah diterima pembayaran dimuka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 8Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak terutang pada Saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor. Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.

Contoh :

  1. Tanggal 1 April 2001, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20%.
  2. Tanggal 1 Mei 2001, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-l.
  3. Tanggal 1 Juni 2001, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2.
  4. Tanggal 20 Juni 2001, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3.
  5. Tanggal 25 Agustus 2001, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.
  6. Tanggal 1 September 2001, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan.
  7. Tanggal 1 Maret 2002, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan.

Pada angka 1 s.d. angka 4 Pajak terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (tahap), sedang angka 5 s.d. angka 7 Pajak terutang pada tanggal 25 Agustus 2001 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tak gerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telahi diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Cara penghitungan sebagaimana tersebut di atas juga berlaku dalam hal penjualan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dilakukan dengan pembayaran uang muka, sedangkan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan kemudian. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak selain pemborong bangunan, terutangnya Pajak terjadi pada saat :

  1. tersedianya barang atau fasilitas untuk dipakai, baik sebagian atau seluruhnya; atau
  2. dilakukan penagihan pembangunan atau penggantian; atau
  3. pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat(2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Contoh :

Pengusaha Kena Pajak “A” yang kantor pusat dan pabriknya di Bogor telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Bogor. Dalam rangka ekspor melalui Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Pengusaha Kena Pajak A mempunyai kantor di Jakarta dan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Gambir I. Pemberitahuan Ekspor Barang dalam rangka ekspor Barang Kena Pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Gambir I. Berdasarkan permohonan Pengusaha Kena Pajak atau karena jabatan, Direktur Jenderal Pajak dapal menetapkan tempat Pajak terutang untuk ekspor Barang Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Bogor sepanjang tidak terdapat penyerahan Barang Kena Pajak yang akan diekspor dari Bogor ke Jakarta dan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Gambir I semata-mata untuk mempermudah dan memperlancar pelaksanaan ekspor.

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4061

Reading: Peraturan Pemerintah – 143 TAHUN 2000