Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 07/PJ.4/1989

Sehubungan dengan surat Kepala Kantor Wilayah XII Direktorat Jenderal Pajak tanggal 31 Oktober 1988 Nomor : S-051/WPJ.12/BD.04/1988 yang meminta penjelasan mengenai penyitaan terhadap uang kas dan lain-lain, bersama ini diberikan penjelasan sebagai berikut :

  1. Penyitaan dalam Hukum Pajak bertujuan agar barang yang disita dapat dipakai sebagai jaminan atas pelunasan hutang pajak berikut biaya penagihannya sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan (berdasarkan ketentuan perundang-undangan) hutang pajak tersebut belum dilunasi oleh Wajib Pajak maka barang yang telah disita tersebut dapat dijual (oleh fiskus) di muka umum, dan hasil penjualannya dipergunakan untuk melunasi hutang pajak berikut biaya penagihannya.

  2. PENYITAAN UANG KAS/UANG TUNAI
    2.1.

    Dalam pengertian UANG TUNAI (istilah menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959) termasuk pula CEK ATAS UNJUK, sedangkan cek atas nama tidak termasuk di dalamnya. Berdasarkan pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa, UANG TUNAI termasuk harta gerak yang dapat disita, namun bagaimana prosedur dan tata cara penyitaannya hingga kini belum diatur.

    2.2.

    Penyitaan UANG TUNAI pada prinsipnya harus dihadiri oleh Wajib Pajak atau salah seorang anggota keluarga terdekat (istri atau anak yang sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun atau lebih) atau oleh KASIR Perusahaan Wajib Pajak serta dihadiri 2 (dua) orang saksi. Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh Wajib Pajak maka salah seorang saksi haruslah Kepala Daerah Setempat (Camat atau Lurah). Jumlah uang tunai yang disita harus dirinci dalam suatu daftar seperti contoh terlampir (Lampiran 1) yang merupakan lampiran dari Berita Acara Pelaksanaan Sita (KP Pan 13). Jumlah setinggi-tingginya UANG TUNAI yang boleh disita adalah sama dengan jumlah hutang pajak sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita (KP Pan 13) ditambah dengan biaya penagihan penyampaian Surat Paksa dan biaya penagihan pelaksanaan sita.

    2.3.

    Lampiran sebagaimana dimaksud dalam butir 2.2. dibuat dalam rangkap 3 (tiga). Asli untuk Juru Sita, tindasan pertama untuk Wajib Pajak dan tindasan kedua dimasukkan dalam brankast atau tempat penyimpanan uang tunai yang disita. Selanjutnya brankast atau tempat penyimpanan uang tunai yang disita ditempeli dengan Segel Sita (KP Pan 14).

    2.4.

    Apabila setelah 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan Sita, hutang pajak beserta biaya penagihannya sebagaimana tersebut di atas belum dilunasi oleh Wajib Pajak/penanggung pajak maka Juru Sita segera memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak/penanggung pajak bahwa uang tunai yang telah disita akan dipergunakan untuk melunasi hutang pajak berikut biaya penagihannya (Lampiran 2).

    2.5.

    Setelah itu Uang Tunai yang disita dihitung kembali dengan dihadiri oleh Wajib Pajak/penanggung pajak atau salah seorang anggota keluarga terdekat atau KASIR serta dua orang saksi. Setelah cocok maka dengan mempergunakan NPWP Wajib Pajak/penanggung pajak dibuatlah KPU 33 dan KP Pan 30 untuk selanjutnya Juru Sita menyetorkannya ke Kas Negara.

  3. PENYITAAN ATAS KERTAS-KERTAS BERHARGA
    Termasuk kertas-kertas berharga antara lain Cek Atas Nama, Giro Bilyet, Sertifikat Deposito, Bukti Pemilikan Saham dan lain-lain. Pada prinsipnya cara penyitaan atas kertas-kertas berharga sama seperti penyitaan atas uang tunai. Namun mengingat kertas-kertas berharga tersebut diatas, tak dapat diuangkan tanpa persetujuan Wajib Pajak/penanggung pajak maka sebaiknya Juru Sita mengarahkan perhatiannya kepada penyitaan uang tunai.

    Adapun Rekening Koran atau Rekening Koran Giro hanyalah semacam Daftar Perhitungan yang dibuat oleh Bank mengenai posisi keuangan dari nasabah Bank yang bersangkutan pada suatu saat tertentu. Penyitaan terhadap Rekening Koran mungkin dimaksudkan agar Bank memblokir Rekening Simpanan Wajib Pajak pada Bank tersebut. Namun dengan adanya ketentuan mengenai Rahasia Bank, hal tersebut hanya dapat dilakukan atas izin Menteri Keuangan (periksa pasal 36 dan 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang “Pokok-Pokok Perbankan”).

  4. PENYITAAN HARTA GERAK/HARTA TAK GERAK YANG MASIH DALAM ANGSURAN KREDIT
    Pada dasarnya semua harta yang berada dalam penguasaan Wajib Pajak/penanggung pajak dapat disita, kecuali beberapa jenis harta tertentu yang menurut undang-undang tidak boleh disita. Namun apabila Juru Sita mengetahui bahwa harta gerak/harta tak gerak yang bersangkutan masih dalam angsuran kredit, sebaiknya mengalihkan perhatiannya kepada harta gerak/harta tak gerak yang lain, satu dan lain hal untuk menghindari kemungkinan timbulnya sanggahan dari pihak ketiga atas harta yang telah disita. Selain itu perlu diingat bahwa harta yang masih dalam angsuran kredit, secara hukum belum merupakan hal milik Wajib Pajak/penanggung pajak.

Demikianlah untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.

A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK
DIREKTUR PERENCANAAN PENERIMAAN DAN PENAGIHAN

ttd

Drs. MADE ARMADE

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 07/PJ.4/1989