Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 22/PJ.35/1993

Dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor : SE-08/PJ.35/1993 tanggal 11 Maret 1993 dimaksudkan agar Wajib Pajak dalam negeri yang wajib memotong PPh Pasal 26 terhindar dari kesalahan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara “treaty partner” yang dapat mengakibatkan mereka terpaksa menanggung beban PPh Pasal 26 yang kurang dibayar beserta sanksi administrasinya.

Selain dari pada itu, melalui prosedur Surat Keterangan Bebas (SKB) dan Surat Keterangan Tarif (SKT) PPh Pasal 26 tersebut diharapkan dapat menghilangkan penyalahgunaan ketentuan P3B tersebut, dan bagi administrasi Direktorat Jenderal Pajak sendiri akan lebih mudah untuk memantau penerapan ketentuan P3B RI dengan suatu negara “treaty partner” oleh orang atau perusahaan yang merupakan penduduk dari negara “treaty partner” tersebut. Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan dan setelah mempertimbangkan masukan-masukan dari berbagai pihak mengenai pelaksanaan Surat Edaran tersebut, maka dianggap perlu dilakukan penyempurnaan sebagai berikut :

  1. Surat permohonan untuk mendapatkan SKP atau SKT PPh Pasal 26 :
    1. Bentuk Surat Permohonan lebih disederhanakan dan dapat dibuat sendiri oleh pemohon sepanjang tidak mengubah isinya. Contoh formulir Surat Permohonan yang disederhanakan seperti terlampir. (Lampiran I).
    2. Apabila dalam perjanjian dengan Wajib Pajak treaty partner jumlah pembayaran telah dinyatakan dalam jumlah netto, maka permohonan dapat dilakukan oleh pihak pemotong pajak tanpa perlu melampirkan Surat Kuasa (power of attorney) dari pihak yang menerima pembayaran, dengan menggunakan formulir seperti contoh pada lampiran II.
  2. Surat Keterangan Domisili.
    1. Surat Keterangan Domisili yang asli dari pejabat yang berwenang (competent authority) atau wakilnya yang sah dari negara “treaty partner” harus dilampirkan dalam surat permohonan. Dalam hal Surat Keterangan Domisili tersebut digunakan untuk lebih dari 1 (satu) Kantor Pelayanan Pajak (KPP), maka pemohon dapat melampirkan foto copy Surat Keterangan yang telah dilegalisir oleh salah satu Kantor Pelayanan Pajak di mana si pembayar penghasilan/pemotong pajak terdaftar. Kantor Pelayanan Pajak yang melegalisir surat tersebut memegang aslinya.
    2. Bentuk Surat Keterangan Domisili tergantung kepada bentuk yang lazim di negara treaty partner masing-masing, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa pemohon yang bersangkutan adalah berdomisili di negara “treaty partner” sesuai dengan ketentuan P3B RI dengan negara tersebut disertai tanggal dan tandatangan “competent authority” atau wakilnya yang sah yang bersangkutan.
    3. Surat Keterangan Domisili yang dilampirkan pada Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 2 b adalah yang belum melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Surat Keterangan tersebut diterbitkan.
  3. Surat Kuasa (Power of Attorney).
    1. Dalam hal Surat Kuasa untuk menandatangani permohonan pembebasan/pengurangan tarif PPh Pasal 26 akan digunakan pada lebih dari 1 (satu) KPP, maka Surat Kuasa dapat berupa foto copy.
    2. Surat Kuasa asli tersebut pada butir 3a harus bermeterai, dan Surat Kuasa yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan harus telah dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian kemudian oleh Pejabat Pos.
  4. Dokumen-dokumen pendukung yang harus dilampirkan pada permohonan disederhanakan sebagai berikut :
    1. Bunga. Foto copy “loan agreement” atau dokumen lain yang membuktikan adanya kewajiban dari penduduk Indonesia untuk membayar bunga kepada pemohon dari negara “treaty partner”.
    2. Dividen. Surat keterangan dari pembayar dividen (emiten) yang menjelaskan bahwa pemohon adalah pemegang saham yang berhak menerima dividen. Dalam satu surat keterangan dapat meliputi lebih dari satu pemegang saham (berupa daftar).
    3. Sewa, royalty dan penghasilan lain karena penggunaan harta. Fotokopi perjanjian atau dokumen lain yang membuktikan adanya transaksi dan kewajiban untuk membayar sewa, royalty dan penghasilan lain atas penggunaan harta.
    4. Jasa yang dilakukan di Indonesia.
    5. d.1 Oleh perusahaan
      1. Foto copy kontrak perjanjian atau dokumen lain yang membuktikan adanya kewajiban untuk membayar jasa dari pembayar hasil/pemotong PPh Pasal 26, dan
      2. Surat pernyataan pemohon bahwa mereka tidak mempunyai tempat usaha tetap (a fixed place) di Indonesia dan dokumen yang membukti-kan bahwa kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia tidak melampaui jangka waktu yang dipersyaratkan (time test) untuk adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT) oleh P3B yang bersangkutan.
      d.2 Oleh perseorangan.
      d.2.a. Dalam hubungan dengan pekerjaan bebas.
      1. Surat pernyataan pemohon bahwa dia tidak mempunyai tempat tetap (a fixed base) di Indonesia, dan
      2. Dokumen yang membuktikan bahwa pemohon berada di Indonesia tidak melampaui jangka waktu yang dipersyarat-kan (time test) dalam ketentuan pekerjaan bebas dari P3B yang bersangkutan.
      d.2.b. Dalam hubungan kerja sebagai karyawan atau Dependent Personal Services.
      Surat pernyataan pemohon yang menyatakan bahwa pemohon berada di Indonesia tidak melampaui jangka waktu yang dipersyaratkan (time test) dalam P3B yang bersangkutan, dan gaji atau penghasilan yang diperoleh atau diterimanya tersebut tidak dibayar atau terutang oleh Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan tidak menjadi beban suatu BUT di Indonesia.

  5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan harus menerbitkan:
    1. SKB PPh Pasal 26 seperti contoh pada lampiran III, atau
    2. SKT PPh Pasal 26 seperti contoh pada lampiran IV, atau
    3. Surat Penolakan seperti contoh pada lampiran V berikut alasan penolakannya.
  6. SKB atau SKT PPh Pasal 26 menjadi dasar bagi pemotong PPh Pasal 26 untuk membebaskan PPh Pasal 26 sesuai SKB atau memotong PPh Pasal 26 dengan tarif yang tercantum dalam SKT. Pemotong wajib melampirkan Daftar SKB/SKT PPh Pasal 26 sebagaimana contoh pada lampiran IV pada SPT Masa PPh Pasal 26 untuk bulan yang bersangkutan.

  1. Bagi Pemotong, SKB atau SKT PPh Pasal 26 yang telah diterbitkan dapat berlaku terus sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 26 sepanjang :
    1. pembayaran dilakukan kepada orang/badan yang tercantum dalam SKB atau SKT PPh Pasal 26 tersebut, dan
    2. orang/badan tersebut masih tetap sebagai Wajib Pajak dalam negeri negara “treaty partner” yang menerbitkan Surat Keterangan Domisili yang bersangkutan, pada saat penghasilan dibayarkan atau terutang kepada orang atau badan tersebut, dan
    3. berkenaan dengan perjanjian dan transaksi yang tercantum dalam SKB atau SKT PPh Pasal 26 tersebut. Apabila orang/badan sebagaimana dimaksud dalam butir b tidak lagi sebagai Wajib Pajak dalam negeri negara treaty partner yang menerbitkan Surat Keterangan Domisili yang bersangkutan, maka Pemotong Pajak wajib memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan SKB atau SKT PPh Pasal 26 tersebut.
  2. Penyederhanaan dalam Surat Edaran ini diberlakukan sejak tanggal 11 Maret 1993, sehingga bagi Pemotong Pajak yang belum memenuhi ketentuan dalam Surat Edaran Nomor : SE-08/PJ.35/1993 tanggal 11 Maret 1993 tersebut dapat mengikuti ketentuan dalam Surat Edaran ini. Apabila terdapat Pemotong Pajak yang membebaskan atau mengurangi tarif PPh Pasal 26 tanpa mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Nomor : SE-08/PJ.35/1993 dan Surat Edaran ini, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak boleh menolak SPT Masa PPh Pasal 26 yang disampaikan oleh Pemotong Pajak tersebut. Dalam hal demikian, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus segera memberitahukan kepada Pemotong Pajak yang bersangkutan untuk mengajukan Surat Permohonan dan melengkapi dokumen sebagaimana yang telah ditentukan dalam Surat Edaran ini. Apabila setelah 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan tersebut Pemotong Pajak belum memenuhinya, maka terhadap Pemotong Pajak tersebut hendaknya segera dilakukan verifikasi kantor atas kebenaran dari penerapan ketentuan P3B yang dilakukan oleh Pemotong Pajak tersebut. Apabila dalam penelitian tersebut Pemotong Pajak yang bersangkutan ternyata tidak dapat melengkapi dokumen-dokumen pendukung sebagaimana yang disyaratkan dalam Surat Edaran ini sebagai bukti kebenaran dari penerapan ketentuan P3B yang bersangkutan, maka atas jumlah PPh Pasal 26 yang dibebaskan atau yang dikurangkan tarifnya tersebut ditagih kembali dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

  1. Khusus untuk transaksi pinjaman jangka pendek yaitu pinjaman yang kurang dari 1 (satu) bulan, pembebasan atau pengurangan tarif PPh Pasal 26 dapat dilakukan oleh Pemotong Pajak tanpa terlebih dahulu menunggu terbitnya SKB atau SKT PPh Pasal 26 dari Kantor Pelayanan Pajak setempat. Dalam hal demikian, Pemotong Pajak wajib mengajukan permohonan SKB atau SKT PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini pada waktu Pemotong Pajak yang bersangkutan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26 untuk bulan yang bersangkutan.

Demikian, agar surat edaran ini disebarluaskan kepada Wajib Pajak di wilayah Kantor Saudara.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 22/PJ.35/1993