Resources / Regulation / Undang-Undang

Undang-Undang – 13 TAHUN 1985

Menimbang :

  1. bahwa Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan segenap warganya untuk berperan menghimpun dana pembiayaan yang memadai, terutama harus bersumber dari kemampuan dalam negeri, hal mana merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Nasional;

  2. bahwa Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia;

  3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diadakan pengaturan kembali tentang Bea Meterai yang lebih bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat;

  4. bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu dikeluarkan undang-undang baru mengenai Bea Meterai yang menggantikan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921);

Menimbang :

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

  2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Dengan mencabut Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) (Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38).

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG BEA METERAI

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1)

Dengan nama Bea Meterai di kenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini.

(2)

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

  1. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan;

  2. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia;

  3. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan;

  4. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum dilunasi sebagaimana mestinya;

  5. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.

BAB II
OBYEK, TARIF, DAN YANG TERHUTANG BEA METERAI

Pasal 2

(1)

Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk :

  1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;

  2. akta-akta notaris termasuk salinannya;

  3. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya;

  4. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) :
    1) yang menyebutkan penerimaan uang;
    2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
    3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
    4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;

  5. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah);

  6. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).

(2)

Terhadap dokumen sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah).

(3)

Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp.1000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan:

  1. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;

  2. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula;

(4)

Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp.500,- (lima ratus rupiah) dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tidak terhutang Bea Meterai.

Pasal 3

Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 4

Tidak dikenakan Bea Meterai atas :

  1. dokumen yang berupa :
    1) surat penyimpanan barang;
    2) konsumen;
    3) surat angkutan penumpang dan barang;
    4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);
    5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
    6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
    7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).

  2. segala bentuk Ijazah;

  3. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;

  4. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;

  5. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank;

  6. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;

  7. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;

  8. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Penggadaian;

  9. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Pasal 5

Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :

  1. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;

  2. dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat;

  3. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.

Pasal 6

Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

BAB III
BENDA METERAI, PENGGUNAAN, DAN CARA PELUNASANNYA

Pasal 7

(1)

Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(2) Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :
  1. menggunakan benda meterai;
  2. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3)

Meterai tempel di rekatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.

(4)

Meterai tempel di rekatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

(5)

Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.

(6)

Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.

(7)

Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.

(8)

Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.

(9)

Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

Pasal 8

(1)

Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

(2)

pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian.

Pasal 9

Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian.

Pasal 10

Pemeteraian-kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang tetapkan oleh Menteri Keuangan.

BAB IV
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 11

(1)

Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :

  1. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya atau kurang dibayar;
  2. meletakan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
  3. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
  4. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya.
(2)

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administratif dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12

Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.

BAB V
KETENTUAN PIDANA

Pasal 13

Di pidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana :

  1. barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;

  2. barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;

  3. barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau di masukan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tanda-tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakan dengan melawan hak;

  4. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai.

Pasal 14

(1)

Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana di maksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

(2)

Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 15

(1)

Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterainya yang dibuat sebelum Undang-undang ini berlaku, bea meterainya tetap terhutang berdasarkan aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921).

(2)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 16

Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran negara Republik Indonesia

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

S O E H A R T O Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 69

PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 1985

TENTANG

BEA METERAI

UMUM

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada semua Warga Negara untuk berperan serta dalam pembangunan Nasional.

Salah satu cara dalam mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen-dokumen tertentu yang digunakan.

Pengaturan pengenaan bea Meterai selama ini yang terdapat dalam Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) (staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang No 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia sehingga perlu disederhanakan.

Untuk itu Undang-undang ini tidak lagi mencantumkan Bea Meterai menurut luas kertas dan Bea Meterai sebanding melainkan hanya Bea Meterai tetap yang besarnya Rp.1.000,- (seribu rupiah) dan Rp 500,- (lima ratus rupiah).

Selanjutnya untuk kesederhanaan dan kemudahan pemenuhan Bea Meterai maka pelunasannya cukup dilakukan dengan menggunakan meterai tempel dan kertas meterai, sehingga masyarakat tidak perlu lagi datang ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk memperoleh Surat Kuasa Untuk Menyetor (SKUM).

Yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumen-dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini, yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum.
Untuk melunasi Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar beserta dendanya (jika ada) dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian (nexegeling).

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Huruf a

Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, di bebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya.

Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d, huruf e, dan huruf f

Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d, huruf e, dan huruf f ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing.

Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)

Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas surat-surat yang semula tidak kena Bea Meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan maka lebih dahulu harus dilakukan pemeteraian-kemudian.

Huruf a

Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang.

Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian dipakai sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeteraian-kemudian. Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar barang.

Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai.

Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar harga barang ini terlebih dahulu dilakukan pemeteraian-kemudian.

Huruf b

Surat-surat yang dimaksud dalam huruf b ayat ini ialah surat-surat yang karena tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannya kemudian diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai.

Misalnya tanda penerimaan tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka tanda penerimaan uang tersebut harus dilakukan pemeteraian-kemudian terlebih dahulu.

Ayat (4)

Lihat penjelasan ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Huruf a

Angka 1
Cukup jelas.

Angka 2
Cukup jelas

Angka 3
Cukup jelas

Angka 4
Cukup jelas

Angka 5
Cukup jelas

Angka 6
Cukup jelas

Sebagai contoh surat perjanjian jual beli.
Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.

Huruf c
Cukup jelas

Pasal 6

Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terhutang oleh penerima kuitansi.

Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.

Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.

Pasal 7

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

Disamping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi pelunasan Bea Meterai, misalnya membubuhkan tanda-tera sebagai pengganti benda meterai di atas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Yang sejenis dengan tinta misalnya pensil tinta, ballpoint dan sebagainya.

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)

Ayat ini menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai.

Andai kata bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Jika sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.

Ayat (8)
Cukup jelas

Ayat (9)
Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 9

Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia. Jika dokumen tersebut hendak digunakan di Indonesia harus dibubuhi meterai terlebih dahulu yang besarnya sesuai dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan cara pemeteraian-kemudian tanpa denda. Namun apabila dokumen tersebut baru dilunasi Bea Meterainya sesudah digunakan, maka pemeteraian-kemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200% (dua ratus persen).

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi.

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) tanpa izin Menteri Keuangan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara.

Oleh karena itu harus dikenakan sanksi pidana berupa hukuman setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3313

Reading: Undang-Undang – 13 TAHUN 1985