Resources / Regulation / Keputusan Menteri Keuangan

Keputusan Menteri Keuangan – 431/KMK.06/2002

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dianggarkan subsidi listrik yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat,
  2. bahwa untuk memperlancar penyaluran subsidi listrik, diperlukan tata cara penghitungan dan pembayarannya
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Listrik;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Republik Indonesia Tahun Anggaran 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4149);
  2. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 14; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3930);
  3. Keputusan Presiden Nomor 133 Tahun 2001 tentang Harga Jual Tenaga Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara,
  4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
  5. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3032/K/46/MEM/2001 Tahun 2001 tentang Ketentuan Pelaksanaan Harga Jual Tenaga Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATACARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN SUBSIDI LISTRIK

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :

  1. Golongan tarif S-1 adalah Golongan tarif untuk pemakaian sangat kecil dengan batas daya sampai dengan 220 Volt Ampere.
  2. Golongan tarif S-2 adalah Golongan tarif untuk keperluan pelayanan sosial kecil sampai dengan sedang dengan batas daya dari 250 Volt Ampere sampai dengan 200 kilo Volt Ampere.
  3. Golongan tarif R-1 adalah Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga kecil dengan batas daya dari 250 Volt Ampere sampai dengan 2.200 Volt Ampere.
  4. Golongan tarif B-1 adalah Golongan tarif untuk keperluan bisnis kecil dengan batas daya dari 250 Volt Ampere sampai dengan 2.200 Volt Ampere.
  5. Golongan tarif I-1 adalah Golongan tarif untuk keperluan industri kecil/rumah tangga dengan batas daya dari 450 Volt Ampere sampai dengan 14 kilo Volt Ampere.
  6. Verifikasi adalah pemeriksaan akurasi penghitungan subsidi listrik.
  7. Harga Pokok Penjualan (HPP) adalah biaya penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) untuk melaksanakan kegiatan operasi mulai dari pembangkitan termasuk pembelian sampai dengan penyaluran ke konsumen

Pasal 2

(1)

Subsidi listrik diberikan untuk pelanggan golongan tarif S-1, S-2, R-1, I-1 dan B-1 dengan daya terpasang sampai dengan 450 Volt Ampere.

(2)

Pemberian subsidi listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui PT PLN (Persero).

Pasal 3

Besarnya subsidi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah selisih negatif antara Hasil Penjualan Listrik rata-rata (Rp/kWh) dikurangi HPP (Rp/Kwh) rata-rata Tegangan Rendah dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap, golongan tarif

Pasal 4

(1) Komponen HPP meliputi :
  1. Pembelian tenaga listrik termasuk sewa diesel
  2. Biaya bahan bakar yang terdiri dari :
    1. Bahan Bakar Minyak (BBM)
    2. Gas Alam
    3. Panas Bumi
    4. Batubara
    5. Minyak Pelumas
    6. Biaya Retribusi Air Permukaan
  3. Biaya pemeliharaan yang terdiri dari :
    1. Material
    2. Jasa borongan
  4. Biaya Kepegawaian
  5. Biaya Administrasi
  6. Penyusutan atas Aktiva Tetap Operasional
  7. Biaya Pinjaman
(2)

HPP rata-rata Tegangan Rendah (TR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, terdiri dari HPP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi HPP Tegangan Tinggi (TT) dan Tegangan Menengah (TM) dibagi dengan volume penjualan (kWh) pada sisi Tegangan Rendah (TR) dengan rumus :

HPP rata-rata TR = HPP – (HPP dijual di TT + HPP dijual di TM)
Volume Penjualan kWh TR

Pasal 5

Beban usaha pada unit penunjang yaitu jasa teknik, jasa engineering, jasa bengkel serta jasa pendidikan dan latihan tidak dimasukkan dalam komponen HPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 6

Dalam menghitung besarnya subsidi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus memperhitungkan besaran losses yang diperkenankan.

Pasal 7

(1)

Losses adalah sejumlah energi yang hilang dalam proses pengaliran energi listrik mulai dari Gardu Induk sampai dengan konsumen.

(2)

Dalam hal tidak terdapat Gardu Induk, losses sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimulai dari Gardu Distribusi sampai dengan konsumen.

(3)

Losses sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diperkenankan paling tinggi sebesar 10%.

Pasal 8

(1)

Pembayaran subsidi listrik dilakukan berdasarkan permohonan Direksi PT PLN (Persero) yang disampaikan secara tertulis kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.

(2)

Jumlah subsidi listrik secara bulanan yang dapat dibayarkan adalah sebesar 70% dari 1/12 jumlah subsidi listrik yang dianggarkan dalam APBN.

(3)

Pembayaran subsidi listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bersifat sementara.

(4)

Pembayaran final subsidi listrik dilakukan setelah diaudit oleh auditor yang akan ditunjuk oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.

Pasal 9

(1)

Direktur Jenderal Lembaga Keuangan setelah melakukan penelitian permohonan PT PLN (Persero) dalam rangka pelaksanaan pembayaran subsidi listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menerbitkan Surat Permintaan Penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SPP-SKO) dan Surat Permintaan Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPP-SPM) kepada Direktur Jenderal Anggaran.

(2)

Direktur Jenderal Anggaran menerbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada PT PLN (Persero), sesuai SPP-SKO dan SPP-SPM yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.

Pasal 10

(1)

Untuk koreksi terhadap jumlah subsidi listrik yang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 8, PT PLN (Persero) wajib menyampaikan laporan tertulis mengenai realisasi Penjualan Listrik dan realisasi HPP untuk pelanggan golongan tarif S-1, S-2, R-1, I-1, dan B-1 dengan daya terpasang sampai dengan 450 Volt Ampere kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan secara triwulanan.

(2)

Penyampaian realisasi HPP triwulan pertama paling lambat akhir bulan Mei, triwulan kedua paling lambat akhir bulan Agustus, dan triwulan ketiga paling lambat akhir bulan Nopember.

(3)

Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal Lembaga Keuangan melakukan verifikasi terhadap realisasi Penjualan Listrik dan realisasi HPP.

(4)

Kekurangan atau kelebihan pembayaran subsidi listrik antara subsidi listrik yang telah dibayar dengan perhitungan hasil verifikasi akan diperhitungkan dalam pembayaran subsidi listrik pada bulan berikutnya.

(5)

Jumlah subsidi listrik yang dapat dibayarkan setelah dilakukan verifikasi dalam satu triwulan maksimal 3/12 dari jumlah subsidi listrik yang dianggarkan dalam APBN.

Pasal 11

(1)

Pada akhir Tahun Anggaran sisa subsidi listrik yang belum dibayarkan dari jumlah subsidi listrik yang dianggarkan dalam APBN, akan ditempatkan ke dalam Rekening Sementara (Escrow Account) PT PLN (Persero).

(2)

Penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mekanisme penyampaian SPP-SKO dan SPP-SPM sebagaimana diatur dalam Pasal 9.

(3)

Pencairan dana dalam Rekening Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Direktur Jenderal Anggaran atas permintaan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan setelah menerima hasil audit dan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Pasal 12

(1)

Pembayaran final subsidi listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dilaksanakan berdasarkan hasil audit atas ketaatan penggunaan subsidi listrik yang dilaksanakan oleh auditor yang akan ditunjuk Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, maksimal sejumlah subsidi listrik yang dianggarkan dalam APBN.

(2)

Apabila terdapat selisih lebih pembayaran subsidi listrik antara yang telah dibayar kepada PT PLN (Persero) dengan hasil audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), PT PLN (Persero) harus segera menyetorkan kelebihan pembayaran tersebut ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak paling lambat 30 hari sejak diterbitkannya surat penagihan dari Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.

Pasal 13

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2002.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BOEDIONO

Reading: Keputusan Menteri Keuangan – 431/KMK.06/2002