Menimbang :
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa perlu menetapkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
Mengingat :
- Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet, stbl Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);
- Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614);
- Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
- Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,Tambahah Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253);
- Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 249, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4051);
- Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
- Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4214);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENITIPAN PENANGGUNG PAJAK YANG DISANDERA DI RUMAH TAHANAN NEGARA DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA.
Pasal 1
Dalam Keputusan Bersama ini yang dimaksud dengan:
- Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Tempat Penyanderaan adalah rumah tahanan negara yang dijadikan tempat pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak yang terpisah dari tahanan lain.
- Petugas rumah tahanan negara yang selanjutnya disebut Petugas adalah petugas; khusus yang ditunjuk oleh Kepala Rumah Tahanan Negara yang ditugasi untuk melakukan perawatan terhadap Penanggung Pajak yang Disandera.
- Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah.
Pasal 2
Ketentuan dalam Keputusan Bersama ini hanya berlaku bagi daerah tempat Penanggung Pajak yang disandera yang belum ada tempat penyanderaannya yang dibentuk oleh Departemen Keuangan.
Pasal 3
(1) |
Jurusita Pajak dapat menitipkan Penanggung Pajak yang disandera berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang ke Rumah Tahanan Negara. |
(2) |
Kepala Rumah Tahanan Negara wajib menerima Penanggung Pajak yang disandera berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). |
(3) |
Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh Penanggung pajak yang disandera. |
(4) | Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penitipan Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Kepala Rumah Tahanan Negara dan saksi-saksi. |
Pasal 4
(1) | Tempat penyanderaan di dalam rumah tahanan negara dipisahkan I dengan tempat tahanan tersangka tindak pidana. |
(2) | Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan jenis kelamin Penanggung Pajak yang disandera. |
(3) |
Kepala Rumah Tahanan Negara wajib memperhatikan penempatan Penanggung Pajak yang disandera yang berada dalam kondisi tertentu, antara lain sakit keras, mengidap sakit menular, atau mengidap gangguan jiwa. |
Pasal 5
(1) | Penerimaan Penanggung Pajak yang disandera dicatat dalam buku register daftar Penanggung Pajak yang disandera. |
(2) | Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : |
|
|
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera wanita, penggeledahan badan atau barang dilakukan oleh Petugas wanita. |
(4) | Dalam hal tidak terdapat Petugas wanita, penggeledahan dilakukan oleh polisi wanita atau istri petugas. |
(5) |
Dalam melakukan penggeledahan, Petugas wajib melakukan sesuai etika penggeledahan yang telah ditentukan. |
Pasal 6
(1) |
Semua barang atau uang yang diperoleh dari penggeledahan dicatat dalam register khusus dan ditandatangani oleh Petugas dan Penanggung Pajak yang disandera. |
(2) |
Dalam hal ditemukan barang berbahaya atau barang terlarang, maka barang tersebut dapat dirampas atau dimusnahkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 7
(1) |
Setiap Penanggung Pajak yang disandera yang dititipkan di dalam rumah tahanan negara wajib dirawat oleh petugas rumah tahanan negara dengan memberikan makanan, tempat tidur, pelayanan kesehatan baik jasmani maupun rohani dan keperluan lainnya. |
(2) |
Dalam hal tertentu, Penanggung Pajak yang disandera dapat menyediakan fasilitas terbatas yang layak untuk kebutuhannya sendiri dalam rumah tahanan negara setelah mendapat persetujuan dari Kepala Rumah Tahanan Negara. |
Pasal 8
Sesuai dengan sifat penyanderaan yang penempatannya di tempat tertutup dan terasing dari masyarakat dan mempunyai pengamanan dan pengawasan yang memadai, maka setiap Penanggung Pajak yang disandera dilarang membawa telepon genggam atau peralatan elektronik lain yang dapat menghubungi seseorang di luar rumah tahanan negara.
Pasal 9
(1) | Setiap Penanggung Pajak yang disandera berhak mendapatkan perawatan kesehatan yang layak. |
(2) | Perawatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh dokter/paramedis rumah tahanan negara yang bertugas. |
(3) | Untuk perawatan kesehatan Penanggung Pajak yang disandera, Kepala Rumah Tahanan Negara dapat melakukan kerja sama dengan rumah sakit. |
(4) |
Penanggung Pajak yang disandera yang menderita sakit keras, dapat dirawat di rumah sakit di luar rumah tahanan negara setelah memperoleh izin dari Pejabat yang menyandera. |
(5) |
Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera menderita sakit keras mendadak yang memerlukan tindakan cepat, Petugas dapat segera membawa ke rumah sakit/klinik kesehatan terdekat dan memberitahukan kepada Pejabat dan Kepolisian untuk pengawalan. |
(6) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi Penanggung Pajak yang disandera yang menderita gangguan jiwa. |
(7) |
Masa perawatan medis di luar rumah tahanan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) tidak dihitung sebagai masa penyanderaan. |
Pasal 10
(1) |
Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera meninggal dunia di rumah tahanan negara karena sakit, Kepala Rumah Tahanan Negara segera memerintahkan kepada Pejabat yang menyandera dan keluarga dari Penanggung Pajak yang disandera disertai berita acara kematian. |
(2) |
Pemberitahuan dan berita acara kematian disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta Kepolisian. |
(3) |
Barang atau uang milik Penanggung Pajak yang disandera yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada keluarganya dengan tanda bukti penerimaan. |
Pasal 11
(1) | Penanggung Pajak yang disandera dapat Mengikuti kegiatan pembinaan jasmani atau rohani yang diselenggarakan oleh rumah tahanan negara. |
(2) |
Penanggung Pajak yang disandera berhak untuk melaksanakan atau menunaikan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing di dalam rumah tahanan negara. |
(3) | Kepala Rumah Tahanan Negara mengatur pelaksanaan pembinaan jasmani atau rohani. |
Pasal 12
Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan negara tidak dikenakan wajib kerja.
Pasal 13
Penanggung Pajak yang disandera berhak menyampaikan keluhan baik kepada Pejabat maupun Kepala Rumah Tahanan Negara.
Pasal 14
(1) | Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan negara wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di tempat Penyanderaan |
(2) |
Dalam hal terjadi pelanggaran tata tertib dan disiplin, Kepala Rumah Tahanan Negara memerintahkan pemeriksaan terhadap Penanggung Pajak yang disandera. |
(3) | jika terbukti terjadi adanya pelanggaran, Kepala Rumah Tahanan Negara memberitahukan kepada Pejabat atau instansi yang melakukan penyanderaan. |
(4) | jika pelanggaran tersebut merupakan suatu tindak pidana, maka Kepala Rumah Tahanan Negara melaporkan hal tersebut kepada kepolisian terdekat. |
Pasal 15
(1) |
Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera melarikan diri dan tertangkap, maka yang bersangkutan dimasukkan ke rumah tahanan negara kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan pertama kali dengan kewajiban membayar biaya yang timbul karena pelarian tersebut. |
(2) | Selama masa pelarian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung sebagai masa penyanderaan. |
Pasal 16
(1) |
Penanggung Pajak yang disandera berhak mendapat kunjungan keluarga, pengacara, dan sahabat setelah mendapat izin dari Pejabat, paling banyak 3 (tiga) kali dalam seminggu selama 30 (tiga puluh) menit untuk setiap kali kunjungan. |
(2) | Petugas meneliti, mencatat ijin kunjungan dan memeriksa barang yang dibawa oleh pengunjung. |
(3) |
Dalam hal terdapat barang yang dilarang untuk dibawa yang ditetapkan oleh Kepala Rumah Tahanan Negara, petugas langsung menyimpan barang tersebut dan dikembalikan setelah pengunjung keluar dari rumah tahanan negara. |
Pasal 17
Penanggung Pajak Yang disandera dilepas dari rumah tahanan negara apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
- Jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah habis;
- Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
- Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur.
Pasal 18
(1) |
Pejabat wajib memberitahukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 24 jam kepada Kepala Rumah Tahanan Negara apabila salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 huruf a, huruf c, dan huruf d terpenuhi. |
(2) |
Perhitungan dan penentuan tanggal pelepasan Penanggung Pajak yang disandera sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 huruf b ditetapkan oleh Kepala Rumah Tahanan Negara. |
(3) |
Kepala Rumah Tahanan Negara segera memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat apabila Penanggung Pajak yang disandera telah dilepas dari penyanderaan. |
Pasal 19
(1) | Segala biaya penyanderaan dibebankan kepada Penanggung Pajak yang disandera dan diperhitungkan sebagai biaya penagihan. |
(2) | Biaya penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayar terlebih dahulu oleh Departemen Keuangan. |
Pasal 20
Keputusan Bersama ini dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan/atau Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 21
Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Bersama ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Juni 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA | MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA R.I |
ttd |
ttd |
BOEDIONO | Prof. Dr. YUSRIL IHZA MAHENDRA |