Menimbang :
bahwa untuk keperluan pemenuhan kewajiban Pemotong Pajak atas Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, perlu diterbitkan Buku Petunjuk berkenaan dengan pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran gaji, upah, honorarium, dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan serta sanksi-sanksinya;
Mengingat :
- Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
- Pasal 21 ayat (9) dan Pasal 26 huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 948/KMK.04/1983 tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak;
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 964/KMK.04/1983 tentang Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan Atas Penghasilan Pegawai, Karyawan atau Karyawati harian dan mingguan serta Penghasilan berupa Honorarium yang tidak teratur;
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 980/KMK.04/1983 tentang Besarnya Biaya Untuk Mendapatkan, Menagih dan Memelihara Penghasilan Teratur sehubungan dengan Pekerjaan yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BUKU PETUNJUK BERKENAAN DENGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PEMBAYARAN GAJI, UPAH, HONORARIUM, DAN LAIN-LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
(1) |
Yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau disingkat PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. |
(2) | Yang dimaksud dengan: |
|
BAB II
PEMOTONG PAJAK DAN WAJIB PAJAK
Pasal 2
(1) |
Pemotong pajak atas PPh Pasal 21, yang selanjutnya disingkat pemotong pajak, ialah: |
|
|
(2) |
Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga perwakilan negara asing, perwakilan organisasi internasional dan badan atau organisasi internasional lainnya dengan sifat dan dalam bentuk apapun. |
(3) |
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d termasuk badan usaha milik negara dan daerah, perusahaan jawatan, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, yayasan- yayasan seperti : yayasan kesejahteraan, yayasan rumah sakit, yayasan pendidikan, yayasan kesenian, dan yayasan olahraga. |
(4) |
Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d termasuk badan Pemerintah Republik Indonesia, badan perwakilan negara asing dan badan perwakilan organisasi internasional; |
Pasal 3
Wajib Pajak yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dapat mempunyai kedudukan:
- pegawai, karyawan atau karyawati tetap;
- pegawai, karyawan atau karyawati lepas;
- penerima honorarium;
- penerima upah borongan;
- pegawai, karyawan atau karyawati Wajib Pajak luar negeri.
Pasal 4
Tidak termasuk dalam pengertian pegawai, karyawan atau karyawati ialah:
- wakil diplomatik, konsuler, wakil-wakil lain dari negara asing, orang yang diperbantukan kepada mereka serta bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat mereka bukan warga negara Indonesia, di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha, dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
- wakil organisasi internasional.
BAB III
PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21
Pasal 5
(1) |
Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah: |
|||||||
|
||||||||
(2) |
Dikenakan juga pemotongan PPh Pasal 21 terhadap setiap pembayaran dengan nama apapun kepada orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, sehubungan dengan jasa dan/atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia. |
Pasal 6
Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21, penghasilan yang diterima atau diperoleh berupa uang asing dinilai berdasarkan kurs yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 7
Uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus, dihitung sebagai penghasilan untuk 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 8
(1) |
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah: |
|||||||
|
||||||||
(2) |
Kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b termasuk pula pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja, pemerintah dan badan dana pensiun. |
|||||||
(3) |
Penghasilan bruto berupa upah harian, upah satuan dan upah borongan serta penghasilan berupa honorarium sampai dengan jumlah Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah) sehari, tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. |
|||||||
(4) |
Untuk mendapatkan jumlah upah harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3): |
|||||||
|
BAB IV
PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
Pasal 9
(1) |
Untuk menentukan besarnya penghasilan netto pegawai, karyawan atau karyawati yang menerima atau memperoleh penghasilan tetap diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto: |
|
|
||
(2) |
Biaya untuk mendapatkan, memperoleh dan memelihara uang pensiun, ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto setinggi-tingginya Rp.120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah) setahun atau Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebulan. |
|
(3) |
Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak pegawai, karyawan atau karyawati penghasilan nettonya dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang besarnya sebagai berikut : |
|
setahun | sebulan | |
|
Rp.960.000 | Rp. 80.000 |
|
Rp.480.000 | Rp. 40.000 |
|
Rp.480.000 |
Rp. 40.000 |
(4) |
Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri dan dalam hal tidak kawin potongan PTKP selain dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c. |
|
(5) |
Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat, bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sebesar Rp.480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) setahun atau Rp. 40.000,- (empat puluh ribu rupiah) sebulan dan ditambah potongan PTKP untuk keluarganya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c. |
|
(6) |
Terhadap penghasilan yang diterima oleh pegawai, karyawan atau karyawati berupa tunjangan hari raya, jasa produksi, gratifikasi, bonus, tantiem dan penghasilan lain seperti itu, tidak berlaku pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3). |
|
(7) |
Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. |
|
(8) |
Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim atau masa pajak. |
BAB V
TARIF DAN PENERAPANNYA
Pasal 10
(1) |
Tarif menurut Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 yang dijabarkan ke dalam tarif tahunan dan tarif bulanan diterapkan atas penghasilan netto dari pegawai, karyawan atau karyawati tetap. |
(2) |
Tarif yang diterapkan terhadap penghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberlakukan juga terhadap penghasilan netto dari pekerjaan pegawai negeri sipil, anggota ABRI, pejabat negara lainnya, dan pegawai Badan Usaha Milik Negara dan Daerah serta terhadap penghasilan netto penerima pensiun. |
(3) |
Tarif tahunan dan bulanan PPh Pasal 21, masing-masing dimuat dalam lampiran I dan lampiran II Keputusan ini. |
Pasal 11
(1) |
Tarif efektif rata-rata diterapkan atas penghasilan berupa uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus. |
(2) |
Tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh dengan cara menerapkan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 terhadap jumlah penghasilan yang terdiri dari penghasilan teratur setahun dalam tahun pajak terjadinya pembayaran uang tebusan pensiun ditambah sepersepuluh penghasilan berupa uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus. |
(3) |
Jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikurangi terlebih dahulu dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). |
(4) |
Apabila jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih rendah dari PTKP, maka atas uang tebusan pensiun itu tidak dikenakan PPh Pasal 21. |
(5) |
Tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibulatkan ke bawah apabila angka di belakang koma 5 atau kurang, dan dibulatkan ke atas apabila angka di belakang koma lebih dari 5. |
Pasal 12
Tarif PPh lapisan terendah sebesar 15% (lima belas persen) menurut Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diterapkan atas:
- penghasilan bruto yang dibayarkan kepada pegawai, karyawan atau karyawati lepas berupa upah harian atau mingguan, upah satuan, upah borongan yang dibayarkan kepada penerima upah borongan, untuk jumlah di atas Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah) sehari.
- penghasilan bruto berupa honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, yang jumlahnya tidak dihitung atas dasar banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan jasa yang diberikan.
Pasal 13
Tarif PPh sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan terhadap penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh, sebagai imbalan atas jasa dan/atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia oleh orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 14
Cara penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dimuat dalam lampiran III keputusan ini.
BAB VI
KEWAJIBAN DAN HAK PEMOTONG PAJAK ATAS PPh PASAL 21
Pasal 15
(1) |
Setiap pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang belum mempunyai NPWP, wajib mendaftarkan diri ke Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan. |
(2) |
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi organisasi internasional yang mempunyai pegawai, karyawan atau karyawati warga negara Indonesia serta perwakilan negara asing. |
(3) |
Pemotong pajak harus mengambil sendiri formulir-formulir pajak yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajibannya pada Kantor Inspeksi Pajak, Kantor Dinas Luar Tingkat I dan Tingkat II setempat atau tempat lain yang ditentukan. |
Pasal 16
(1) |
Pemotong pajak wajib untuk menghitung, memotong dan menyetor PPh yang terhutang untuk setiap bulan takwim. |
(2) |
Penyetoran pajak harus dilakukan dengan mempergunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara, Kantor Pos dan Giro serta Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Kas Negara, selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan takwim berikutnya. |
(3) |
Pemotong pajak wajib memberitahukan penyetoran tersebut dalam ayat (2) dengan mempergunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. |
(4) |
Pemotong pajak diharuskan memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada orang pribadi yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21, baik diminta maupun tidak. |
Pasal 17
(1) |
Pada akhir tahun pajak, pemotong pajak wajib menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terhutang menurut tarif tahunan untuk pegawai, karyawan atau karyawati tetap. Bagi pegawai, karyawan atau karyawati tetap tersebut harus dibuatkan Daftar Penghasilannya masing-masing. |
(2) |
Jika jumlah pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih besar dari jumlah pajak yang telah dipotong, selisihnya dipotongkan dari pembayaran gaji untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali dan harus disetorkan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan. |
(3) |
Jika jumlah pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah dari jumlah pajak yang telah dipotong, selisihnya dikurangkan dari pajak terhutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan kembali. |
(4) |
Jika selisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melebihi jumlah pajak yang terhutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali, kelebihannya dikembalikan kepada pegawai, karyawan atau karyawati yang bersangkutan. |
(5) |
Jumlah pengembalian atas kelebihan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dilaporkan oleh pemotong pajak pada masa pajak berikutnya dengan cara melampirkan bukti pengembalian dimaksud pada Surat Pemberitahuan Masa yang bersangkutan. |
Pasal 18
(1) |
Setiap pemotong pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan, menanda tangani dan menyampaikannya ke Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan. |
(2) |
Pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan PPh Pasal 21 di Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) |
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya 3 bulan setelah akhir tiap tahun takwim. |
(4) |
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri Daftar Nominatif dan Daftar Penghasilan pegawai, karyawan atau karyawati tetap dan Daftar Pegawai karyawan atau karyawati harian lepas yang menerima upah satuan, upah borongan serta orang pribadi yang menerima honorarium. |
(5) |
Kepala Kantor Inspeksi Pajak atas permohonan pemotong pajak dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). |
(6) |
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh Pasal 21 yang terhutang dalam satu tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terhutang. |
(7) |
Pemotong Pajak berkewajiban untuk: |
|
Pasal 19
(1) |
Pemotong pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 dengan benar, lengkap, jelas, dan menanda tanganinya. |
(2) |
Dalam hal pemotong pajak adalah Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh Pengurus atau Direksi. |
(3) |
Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 ditanda tangani dan diisi oleh orang lain selain dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), harus dilampiri Surat Kuasa Khusus. |
Pasal 20
(1) |
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 yang disampaikan langsung oleh pemotong pajak ke Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan, harus diberikan tanggal penerimaan dan bukti penerimaan. |
(2) |
Pengiriman Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 melalui Kantor Pos dan Giro harus dilakukan secara tercatat, sedangkan tanda bukti serta tanggal pengiriman merupakan tanda bukti dan tanggal penerimaan. |
Pasal 21
Apabila Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 ayat (3), pemotong pajak dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Pasal 22
(1) |
Pemotong pajak dapat membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 dengan menyampaikan pernyataan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sepanjang belum dimulai tindakan pemeriksaan. |
(2) |
Dalam hal pemotong pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 yang mengakibatkan hutang pajaknya menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah PPh Pasal 21 yang kurang dibayar, dihitung mulai saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT Tahunan PPh Pasal 21 tersebut. |
(3) |
Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai ketidak benaran yang dilakukan oleh pemotong pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terhadap ketidak benaran perbuatan pemotong pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila pemotong pajak itu dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidak benaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah PPh Pasal 21 yang sebenarnya terhutang beserta denda administrasi sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar. |
Pasal 23
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Tagihan Pajak apabila:
- pemotong pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi dan/atau bunga;
- dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan penyetoran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
Pasal 24
(1) |
Surat Ketetapan Pajak dapat dikeluarkan oleh Direktur Jenderal dalam jangka waktu lima tahun setelah berakhirnya Masa Pajak atau Tahun Pajak, dalam hal: |
|
|
(2) |
Jumlah kekurangan PPh Pasal 21 yang terhutang menurut SKP dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung mulai berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKP. |
(3) |
Jumlah PPh Pasal 21 yang terhutang menurut SKP dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari PPh Pasal 21 yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang disetorkan dan dipotong tetapi tidak atau kurang disetorkan. |
(4) |
Besarnya PPh Pasal 21 yang terhutang dalam suatu Tahun Pajak yang diberitahukan oleh pemotong pajak dalam SPT PPh Pasal 21, menjadi pasti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterbitkan SKP. |
(5) |
Apabila jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), telah lewat, SKP tetap dapat diterbitkan dalam hal pemotong pajak dipidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu, berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
Pasal 25
(1) |
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan dalam jangka waktu lima tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila diketemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terhutang. |
(2) |
Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. |
(3) |
Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan, apabila Surat Ketetapan Pajak Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis oleh pemotong pajak atas kehendak sendiri, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. |
(4) |
Apabila jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Tambahan tetap dapat diterbitkan dalam hal pemotong pajak dipidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
Pasal 26
Kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan pemotong pajak yang bersangkutan.
Pasal 27
(1) |
Kepala Inspeksi Pajak setelah melakukan penelitian atau pemeriksaan, menerbitkan: |
|
|
(2) |
Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a Kepala Inspeksi Pajak tidak memberi suatu keputusan, surat permohonan pemotong pajak tersebut dianggap dikabulkan. |
BAB VII
KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21
Pasal 28
(1) |
Pada saat seseorang mulai kerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak, Wajib Pajak harus menyerahkan surat pernyataan kepada pemberi kerja, bendaharawan pemerintah atau badan dana pensiun yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga. |
(2) |
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga. |
Pasal 29
Pegawai, karyawan atau karyawati yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a.1., tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, kecuali apabila Wajib Pajak tersebut memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.
Pasal 30
Pegawai, karyawan atau karyawati yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dapat mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak, apabila pemotongan pajak oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal pemotongan.
Pasal 31
Pegawai, karyawan atau karyawati yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dapat mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterbitkannya surat keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya.
Pasal 32
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak, merupakan kredit pajak bagi Wajib Pajak yang dikenakan pemotongan, untuk tahun pajak dilakukannya pemotongan.
BAB VIII
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 33
(1) |
Pemotong pajak dapat mengajukan Surat Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas: |
|
|
dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan Surat Pemberitaan, Surat Ketetapan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Tambahan dan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak. |
|
(2) |
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan-alasannya secara jelas dan jumlah pajak yang menurutnya terhutang. |
(3) |
Jika jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka keberatan tidak dapat diterima, kecuali apabila pemotong pajak atau pegawai, karyawan atau karyawati yang bersangkutan dapat menunjukkan bukti yang kuat, bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. |
(4) |
Setiap surat keberatan pajak hanya berlaku untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak. |
(5) |
Apabila diminta oleh pemotong pajak atau oleh pegawai, karyawan atau karyawati untuk keperluan pengajuan surat keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan atau pemotongan. |
(6) |
Terhadap penyampaian surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diberikan tanda bukti penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(7) |
Direktur Jenderal Pajak mengambil keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima. |
(8) |
Keberatan dianggap diterima jika dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) tidak diambil suatu keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(9) |
Sebelum surat keputusan diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, pemotong pajak atau pegawai, karyawan atau karyawati yang bersangkutan dapat menyampaikan alasan atau penjelasan tambahan atas surat keberatan yang disampaikan. |
(10) |
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang disampaikan, dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang. |
(11) |
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak. |
(12) |
Dalam hal pemotong pajak atau pegawai, karyawan atau karyawati karena sesuatu hal tidak dapat menyampaikan surat keberatannya, dapat diwakili melalui kuasanya asalkan dilengkapi dengan surat kuasa khusus untuk itu. |
Pasal 34
(1) |
Pemotong pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak dalam jangka waktu tiga bulan sejak diterbitkannya surat keputusan Direktorat Jenderal Pajak mengenai keberatannya. |
(2) |
Surat permohonan banding harus dilampiri dengan salinan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya dan disertai penghitungan jumlah pajak yang menurutnya seharusnya terhutang. |
(3) |
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak. |
(4) |
Yang dimaksud dengan badan peradilan pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak. |
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Pajak Langsung.
Pasal 36
(1) |
Keputusan ini dinamakan “Buku Petunjuk berkenaan dengan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Pembayaran gaji, upah, honorarium dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan”. |
(2) |
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. |
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
SALAMUN A.T.