Menimbang :
bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan dalam rangka lebih menciptakan ketertiban pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur kembali penunjukan pemungut pajak, sifat dan besarnya pungutan serta tata cara penyetoran dan pelaporannya dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Mengingat :
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata cara Perpajakan (Lembaran Negara Nomor 3262),sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
- Keputusan Presiden No. 96/M Tahun 1993 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 1997.
- Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1997;
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 5/KMK.01/1993 tanggal 5 Januari 1993 tentang Penunjukan Bank Sebagai Bank Persepsi dalam rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENUNJUKAN PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN PASAL 22, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN SERTA TATACARA PENYETORAN DAN PELAPORANNYA.
Pasal 1
(1) | Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, yang selanjutnya disebut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah : |
(2) | Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang; |
(3) | Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang; |
(4) | Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dananya dari belanja negara atau belanja daerah; |
(5) | Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri; |
(6) | Pertamina dan badan yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas, atas penjualan hasil produksinya; |
(7) | Badan Urusan Logistik (BULOG), atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu. |
Pasal 2
(1) | Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut: |
(a) | Atas impor ; |
|
|
(b) | Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dan huruf c sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian; |
(c) | Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d, huruf e dan huruf f, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor. |
Pasal 3
(1) | Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 : |
|
|
(2) | Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan dengan surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(4) | Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan e dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB). |
Pasal 4
(1) | Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. |
(2) | Dalam hal pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). |
(3) | Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dan c terutang dan dipungut pada setiap dilakukan pembayaran. |
(4) | Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d dipungut pada saat penjualan. |
(5) | Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dan f dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (“delivery order”). |
Pasal 5
(1) | Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang oleh pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dilaksanakan dengan cara pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang disetor oleh importir ke bank devisa, atau bank persepsi, atau Bendaharawan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) | Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang oleh pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dan huruf c dilaksanakan dengan cara pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, dan disetor oleh pemungut pajak atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. |
(3) | Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d dilaksanakan dengan cara dipungut dan disetor oleh badan usaha dimaksud ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. |
(4) | Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dan huruf f dilaksanakan dengan cara pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang disetor oleh penyalur, agen, dan atau pembeli ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. |
Pasal 6
(1) | Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak. |
(2) | Pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerbitkan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu : |
|
|
(3) | Pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir dan atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai bukti pungutan pajak. |
Pasal 7
(1) | Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dan f kepada penyalur/agennya bersifat final. |
(2) | Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d dapat bersifat final berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan Instansi terkait lainnya baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 9
Pimpinan badan/instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 atau pejabat yang ditunjuknya berkewajiban melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22.
Pasal 10
Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan No. 599/KMK.04/1994dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 147/KMK.04/1995 dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Agustus 1997
MENTERI KEUANGAN
ttd.
MAR’IE MUHAMMAD