Resources / Regulation / Peraturan Daerah

Peraturan Daerah – 7 TAHUN 1998

Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 telah ditetapkan ketentuan tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan;
  2. bahwa untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna pemungutan Pajak Hiburan di DKI Jakarta, ketentuan dalam Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu dilakukan penyesuaian dengan berpedoman pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan b, perlu menetapkan ketentuan tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan dengan Peraturan Daerah.

Mengingat :

  1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
  2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427);
  3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3430);
  4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684);
  5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685);
  6. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3686);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3691);
  8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1993 tentang Pedoman Klasemen Bioskop dan Tarif Pajak atas Pertunjukan dan Keramaian Umum untuk Pertunjukan Film di Bioskop;
  9. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 1993 tentang Bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Perubahan;
  10. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 172 Tahun 1997 tentang Kriteria Wajib Pajak yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan dan Tata Cara Pembukuan;
  11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 173 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pajak Daerah;
  12. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 176 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah;
  13. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  14. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 1994 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pariwisata Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  15. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 9 Tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  16. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 1997 tentang Usaha Pariwisata di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA TENTANG PENYELENGGARAAN HIBURAN DAN PAJAK HIBURAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

  1. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  2. Gubernur Kepala Daerah adalah Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  4. Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapat Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  5. Dinas Pariwisata adalah Dinas Pariwisata Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  6. Kantor Kas Daerah adalah Kantor Kas Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  7. Bank adalah Bank Pembangunan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disebut Bank DKI atau Bank lain yang ditunjuk;
  8. Badan adalah suatu bentuk usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya;
  9. Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, dan atau keramaian, dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga;
  10. Penyelenggara hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak, baik untuk atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya menyelenggarakan sesuatu hiburan;
  11. Penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri sesuatu hiburan untuk melihat dan atau mendengar atau menikmatinya atau mempergunakan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara hiburan kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain) dan petugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan;
  12. Pembayaran adalah adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima dalam bentuk apapun untuk harga pengganti yang diminta atau seharusnya diminta Wajib Pajak sebagai penukar atas pemakaian dan atau pembelian jasa hiburan serta fasilitas penunjangnya termasuk pula semua tambahan dengan nama apapun juga yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan hiburan;
  13. Tanda masuk adalah semua tanda atau alat atau cara yang sah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dapat digunakan untuk menonton, menggunakan fasilitas atau menikmati hiburan;
  14. Harga Tanda Masuk yang selanjutnya disingkat HTM adalah Nilai uang yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau pengunjung;
  15. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak hiburan yang terutang menurut Peraturan Daerah ini;
  16. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Kas Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah;
  17. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang;
  18. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat Keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar;
  19. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;
  20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
  21. Surat Keterangan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar, atau pajak tidak terutang;
  22. Surat Keterangan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
  23. Surat Keputusan Pembetulan adalah Surat Keputusan untuk membetulkan kesalahan teknis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah ini yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau SPB;
  24. Surat Keputusan Keberatan adalah Surat Keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak;
  25. Putusan Banding adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak;
  26. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap Tahun Pajak berakhir;
  27. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini;
  28. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

BAB II
PERIZINAN

Pasal 2

(1)

Setiap penyelenggaraan hiburan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus dengan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah.

(2)

Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, penyelenggara hiburan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Gubernur Kepala Daerah.

(3)

Permohonan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini sekurang-kurangnya memuat :

  1. Nama dan Identitas Penanggung Jawab Penyelenggara;
  2. Alamat Tempat dan atau denah lokasi yang dimohon;
  3. Penanggung jawab pembayar pajak;
  4. Bukti pelunasan pajak atau jaminan pajak;
  5. Keterangan jenis hiburan yang akan diselenggarakan.
(4)

Izin penyelenggaraan hiburan insidental dapat diberikan setelah membayar uang jaminan pajak hiburan.

(5)

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain kecuali dengan persetujuan tertulis dari Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 3

(1)

Permohonan izin penyelenggaraan hiburan insidental harus diajukan selambat-lambatnya 14 hari kerja sebelum tanggal dimulai atau diselenggarakannya suatu hiburan.

(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat ditolak oleh Gubernur Kepala Daerah apabila :
  1. pemohon atau kuasanya dan atau penanggung jawab pajak masih menunggak pajak berdasarkan Peraturan Daerah ini;
  2. permohonan izin diajukan terlambat dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini;
  3. permohonan izin tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
(3)

Persyaratan dan tata cara pengajuan permohonan izin penyelenggaraan hiburan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 4

(1)

Izin penyelenggaraan hiburan hanya diberikan kepada penyelenggara hiburan untuk setiap jenis hiburan pada suatu lokasi atau satu tempat tertentu.

(2)

Setiap penyelenggaraan hiburan berkewajiban memasang maklumat pajak hiburan di tempat yang mudah dilihat oleh pengunjung.

(3) Penyelenggara Hiburan yang menggunakan tanda masuk berkewajiban :
  1. memasang pengumuman yang memuat daftar harga tanda masuk untuk setiap kelas di tempat pembayaran tanda masuk;
  2. menjual tanda masuk yang telah dilegalisir secara berurutan dimulai dari nomor urut kecil, kecuali tanda masuk yang merupakan lembaran lepas;
  3. menyobek setiap tanda masuk yang dipergunakan pada saat penonton atau pengunjung memasuki tempat hiburan sehingga tidak dapat digunakan lagi;
  4. menyimpan bagian tanda masuk yang merupakan tanda pemeriksaan selama 14 hari setelah tanda masuk tersebut digunakan;
  5. membuat laporan tentang keadaan atau penjualan tanda masuk kepada Dinas Pendapatan Daerah.
(4) Penyelenggara Hiburan dilarang :
  1. mengadakan, menyediakan, memberi, menjual dan menyebarkan tanda masuk yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah ini;
  2. memberikan tempat atau kelas kepada penonton atau pengunjung selain dari tempat atau kelas yang tercantum dalam tanda masuk;
  3. mengubah tanda masuk yang telah disahkan menurut ketentuan Peraturan Daerah ini tanpa izin Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk;
  4. memberikan atau menjual tanda masuk yang telah dipakai kepada penonton atau pengunjung;
  5. memungut atau menerima pembayaran tanda masuk melebihi harga yang telah ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
(5)

Penyelenggara Hiburan, dan yang ketempatan diselenggarakannya hiburan bertanggung jawab atas seluruh kegiatan yang terjadi di tempat hiburan yang bersangkutan.

(6) Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang mencabut izin dan atau menghentikan penyelenggaraan hiburan yang sedang berlangsung apabila :
  1. penyelenggara hiburan tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini;
  2. penyelenggara hiburan tidak atau kurang membayar pajak hiburan yang terutang;
  3. penyelenggaraan hiburan tanpa izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk;
  4. penyelenggaraan hiburan tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan;
  5. penyelenggara hiburan tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(7)

Terhadap penyelenggaraan hiburan tanpa izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), penyelenggaraan hiburan dapat dihentikan dan pajaknya ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b.

BAB III
TANDA MASUK DAN PENGGOLONGAN BIOSKOP

Pasal 5

(1)

Gubernur Kepala Daerah menetapkan jenis-jenis hiburan yang menggunakan tanda masuk.

(2)

Tanda masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini harus disahkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.

(3)

Persyaratan, pengesahan dan penggunaan Tanda Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 6

(1)

Gubernur Kepala Daerah berwenang menetapkan penggolongan bioskop.

(2)

Persyaratan dan tata cara penggolongan bioskop sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 7

(1)

Gubernur Kepala Daerah berwenang menetapkan HTM untuk masing-masing golongan bioskop dan jenis-jenis hiburan lainnya.

(2)

Tata cara perhitungan dan besarnya HTM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB IV
NAMA, OBJEK, DAN SUBJEK PAJAK

Pasal 8

Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan hiburan.

Pasal 9

Objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan, antara lain :

  1. pertunjukan film;
  2. pertunjukan kesenian;
  3. pertunjukan pagelaran musik dan tari;
  4. penyelenggaraan diskotek, musik hidup, karaoke, klab malam, ruang musik (musik room), balai gita (singing hall), pub, ruang selesa musik (musik lounge), klub eksekutif (executive club) dan sejenisnya;
  5. permainan billiar dan sejenisnya;
  6. permainan ketangkasan, termasuk mesin keping dan sejenisnya;
  7. panti pijat, mandi uap;
  8. pertandingan olahraga;
  9. penyelenggaraan tempat-tempat wisata, taman rekreasi, seluncur (ice skate), kolam pemancingan, pasar malam sirkus, komidi putar, kereta pesiar dan sejenisnya;
  10. pertunjukan dan keramaian umum lainnya.

Pasal 10

(1)

Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau menikmati hiburan.

(2)

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.

BAB V
DASAR PENGENAAN, TARIF, DAN PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 11

Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan.

Pasal 12

(1)

Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop adalah :

  1. bioskop golongan A II Utama 25%;
  2. bioskop golongan A II 20%;
  3. bioskop golongan A I 17,5 %;
  4. bioskop golongan B II 15%;
  5. bioskop golongan B I 7,5%;
  6. bioskop golongan C 5%;
(2) Besarnya tarif pajak untuk jenis hiburan selain pertunjukan film di bioskop sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan sebagai berikut :
  1. Pertunjukan kesenian 10%;
  2. Pertunjukan pagelaran musik dan tari 10%;
  3. Penyelenggaraan diskotek, musik hidup, karaoke, klab malam, ruang musik (Musik room), balai gita (singing hall), pub, ruang selesa musik (musik lounge), klab eksekutif dan sejenisnya 30%;
  4. Permainan biliar dan sejenisnya 10%;
  5. Permainan ketangkasan, mesin keping dan sejenisnya 30%;
  6. Penyelenggaraan Panti pijat, mandi uang 30%;
  7. Pertandingan olahraga 10%;
  8. Penyelenggaraan tempat-tempat wisata, taman rekreasi, seluncur (ice skate) kolam pemancingan, pasar malam, sirkus, komidi putar, kereta pesiar dan sejenisnya 10%;
  9. Penyelenggaraan hiburan insidental lainnya 15%;
  10. Penyelenggaraan hiburan yang seharusnya menggunakan tanda masuk tetapi tidak menggunakan tanda masuk atau tidak mencantumkan Harga Tanda Masuk tarifnya 35%;
  11. Selain dari hiburan sebagaimana dimaksud pada huruf a s.d. i pasal ini, tarifnya 15%.

Pasal 13

Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalihkan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

BAB VI
PENGUKUHAN WAJIB PAJAK

Pasal 14

(1)

Wajib Pajak, kecuali Wajib Pajak hiburan insidental, wajib melaporkan usahanya kepada Dinas Pendapatan Daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah izin penyelenggaraan hiburan diperoleh untuk dikukuhkan dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah.

(2)

Apabila Wajib Pajak tidak melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Kepala Dinas Pendapatan Daerah menetapkan secara jabatan.

(3)

Tata cara pelaporan dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB VII
MASA PAJAK DAN SAAT TERUTANG PAJAK

Pasal 15

(1)

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim kecuali ditetapkan lain.

(2)

Bagian dari bulan dihitung 1 bulan penuh.

(3)

Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya satu tahun takwim kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.

Pasal 16

(1)

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan hiburan.

(2)

Dalam hal pembayaran diterima Penyelenggara Hiburan sebelum hiburan diselenggarakan, pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pembayaran.

BAB VIII
WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 17

Wilayah pemungutan adalah Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

BAB IX
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAERAH

Pasal 18

(1)

Wajib Pajak wajib melaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah tentang penghitungan dan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 28 ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 20 hari setelah akhir masa pajak dengan menggunakan SPTPD yang diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani.

(2)

Wajib Pajak yang menggunakan tanda masuk, wajib menyampaikan SPTPD selambat- lambatnya 20 hari setelah penyelenggaraan hiburan berakhir.

(3)

Gubernur Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak dengan alasan yang sah dan dapat diterima dapat memperpanjang penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, paling lama 60 hari.

(4)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini harus diajukan secara tertulis disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara pajak terutang dalam satu masa pajak, dan juga bukti pelunasan pajak terutang, berdasarkan perhitungan tersebut.

(5)

Keterangan dan dokumen yang harus dilampirkan serta tata cara penyampaian SPTPD ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

(6)

SPTPD dianggap tidak dimasukkan, jika Wajib Pajak tidak melaksanakan atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) sampai dengan (4) pasal ini.

Pasal 19

Apabila SPTPD tidak dilaporkan atau dilaporkan tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Pasal 20

(1)

Wajib Pajak dapat membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sepanjang Kepala Dinas Pendapatan Daerah belum melakukan tindakan pemeriksaan.

(2)

Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini yang mengakibatkan pajak terutang lebih besar dari jumlah yang telah dibayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan dari jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung mulai saat penyampaian SPTPD berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan.

(3)

Sekalipun telah dilakukan pemeriksaan tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak, tidak akan dilakukan penyidikan apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan pembayaran jumlah pajak terutang beserta tambahan sebesar 2 kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

BAB X
PENETAPAN DAN KETETAPAN

Pasal 21

(1)

Setiap Wajib Pajak wajib menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.

(2)

Penyelenggaraan hiburan yang menggunakan tanda masuk besarnya pajak terutang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 22

(1) Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak, Gubernur Kepala Daerah menerbitkan :
  1. SKPDKB apabila :
    1. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
    2. SPTPD tidak disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis.
    3. kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak terutang dihitung secara jabatan.
  2. SKPDKBT apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
  3. SKPDN apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar atau pajak tidak terutang.
(2)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutang pajak.

(3)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

(4)

Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

(5)

Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Pasal 23

Apabila dalam jangka waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Peraturan Daerah ini telah lewat, SKPDKBT tetap dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 tahun tersebut dihukum karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Peraturan Daerah ini berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti.

Pasal 24

(1) Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD apabila :
  1. Pajak Hiburan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
(2)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama 15 bulan sejak saat terutangnya pajak.

(3)

SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan, dan ditagih melalui STPD.

Pasal 25

Bentuk, isi, tata cara penerbitan dan penyampaian SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN dan STPD ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XI
TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN

Pasal 26

Pemungutan Pajak Hiburan tidak boleh diborongkan.

Pasal 27

(1)

Setiap penyelenggaraan hiburan yang menggunakan Tanda Masuk berupa pertunjukan film diwajibkan melakukan pembayaran dimuka (PDM) sedangkan untuk penyelenggaraan hiburan insidental diwajibkan membayar uang jaminan pajak hiburan.

(2)

Tata cara perhitungan pembayaran di muka (PDM) dan uang jaminan beserta pengembaliannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 28

(1)

Pajak terutang dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya dari Masa Pajak yang terutang setelah berakhirnya Masa Pajak.

(2)

Terhadap penyelenggaraan hiburan yang menggunakan tanda masuk, pajak terutang dilunasi selambat-lambatnya 15 hari setelah berakhirnya penyelenggaraan hiburan dengan menggunakan SKPD.

(3)

Pembayaran dilakukan di Kantor Kas Daerah, bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah.

(4)

Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran pada hari libur maka pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya.

(5)

Gubernur Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% sebulan.

Pasal 29

(1)

SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterbitkan.

(2)

Tata cara pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 30

(1)

Jika hiburan diselenggarakan atas nama atau tanggungan beberapa penyelenggara atau oleh satu atau beberapa badan maka masing-masing anggota penyelenggara atau pengurus badan dianggap sebagai Wajib Pajak dan bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajaknya.

(2)

Hotel atau tempat-tempat lain yang ketempatan diselenggarakannya hiburan ikut bertanggung jawab terhadap pembayaran pajak hiburan terutang atas penyelenggaraan hiburan pada tempat tersebut.

Pasal 31

(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (1), jumlah pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding dapat ditagih seketika dan sekaligus apabila :
  1. Wajib Pajak akan meninggalkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
  2. Wajib Pajak akan menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya atau pekerjaan yang dilakukannya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta ataupun memindahtangankan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimiliki atau yang dikuasainya;
  3. pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya dan pernyataan pailit;
  4. terjadi penyitaan atas barang bergerak dan atau tak gerak.

Pasal 32

(1)

Pajak terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

(2)

Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 33

(1)

Pemerintah Daerah mempunyai hak mendahului (hak preferensi) untuk tagihan pajak atas barang-barang Wajib Pajak, begitu pula atas barang-barang milik wakilnya serta orang pribadi atau badan yang menurut Pasal 34 ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng.

(2)

Hak untuk mendahului sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda dan tambahan serta biaya penagihan.

(3)

Hak mendahului hilang setelah lampau waktu 2 tahun sejak tanggal diterbitkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, kecuali apabila dalam jangka waktu tersebut Surat Paksa diberitahukan secara resmi atau diberikan penundaan pembayaran.

(4)

Dalam hal Surat Paksa diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2 tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran, maka jangka waktu 2 tahun ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran tersebut.

Pasal 34

(1) Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan Peraturan Daerah ini, Wajib Pajak dapat diwakili :
  1. Badan oleh pengurus atau kuasanya;
  2. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang pribadi atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan (likuidasi);
  3. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya;
  4. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dibawah pengampunan oleh wali pengampu.
(2)

Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini bertanggung jawab secara pribadi, dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak terutang tersebut.

(3)

Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut Peraturan Daerah ini.

BAB XII
KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 35

(1)

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu :

  1. SKPD;
  2. SKPDKB;
  3. SKPDKBT;
  4. SKPDLB;
  5. SKPDN.
(2)

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas, sekaligus menyebutkan jumlah pajak terutang menurut perhitungan Wajib Pajak.

(3)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.

(4)

Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal Surat Ketetapan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

(5)

Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) dan ayat (4) pasal ini tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.

(6)

Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 36

(1)

Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi suatu keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2)

Keputusan Gubernur Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.

(3)

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini telah lewat dan Gubernur Kepala Daerah tidak memberi keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 37

(1)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

(2)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat Keputusan tersebut.

(3)

Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 38

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

BAB XIII
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN, DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 39

(1)

Gubernur Kepala Daerah karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan SKPD atau SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah ini.

(2) Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat :
  1. mengurungkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut Peraturan Daerah ini, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. mengurungkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
(3)

Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XIV
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 40

(1)

Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur Kepala Daerah.

(2)

Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, harus memberikan keputusan.

(3)

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini telah dilampaui dan Gubernur Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama satu bulan.

(4)

Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak daerah lainnya kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak daerah tersebut.

(5)

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.

(6)

Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 bulan, Gubernur Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.

Pasal 41

(1) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) harus diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah dengan melampirkan :
  1. SKPD atau SKPDKB, atau SKPDKBR, SKPDLB, dan SKPDN untuk Masa Pajak yang bersangkutan;
  2. perhitungan pajak yang seharusnya dibayar;
  3. bukti pembayaran pajak.
(2)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah akhir tahun pajak.

(3) Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk segera mengadakan penelitian atau pemeriksaan terhadap :
  1. kebenaran kelebihan pembayaran pajak yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini;
  2. pemenuhan kewajiban pembayaran pajak Daerah lainnya.

BAB XV
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 42

(1)

Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Peraturan Daerah ini.

(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tertangguh, apabila :
  1. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa atau;
  2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.

BAB XVI
PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

Pasal 43

(1)

Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan penghapusan.

(2)

Penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, berdasarkan permohonan penghapusan piutang dari Dinas Pendapatan Daerah.

(3)

Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, sekurang-kurangnya memuat :

  1. nama dan alamat Wajib Pajak;
  2. jumlah piutang pajak;
  3. tahun pajak.
(4) Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, harus melampirkan :
  1. bukti salinan/tindasan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan STPD;
  2. Surat Keterangan dari Kepala Dinas Pendapatan daerah bahwa piutang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi;
  3. daftar piutang pajak yang tidak tertagih.
(5)

Berdasarkan permohonan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, Gubernur Kepala Daerah menetapkan penghapusan piutang pajak, dengan terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari tim yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah.

(6)

Pelaksanaan lebih lanjut penghapusan piutang pajak ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XVII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 44

(1)

Wajib Pajak dengan peredaran usaha Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) ke atas wajib menyelenggarakan pembukuan, yang menyajikan keterangan yang cukup untuk menghitung harga perolehan, harga jual dan harga penggantian atas penyelenggaraan hiburan.

(2)

Bagi Wajib Pajak yang tidak diwajibkan membuat pembukuan, tetap diwajibkan menyelenggarakan pencatatan nilai peredaran usaha secara teratur, yang menjadi dasar pengenaan pajak.

(3)

Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini diselenggarakan dengan sebaik-baiknya yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya.

(4)

Pembukuan atau pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan dari Wajib Pajak harus disimpan selama 5 tahun.

(5)

Tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 45

(1)

Gubernur Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan daerah, dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah ini.

(2)

Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan serta harus memperlihatkan kepada Wajib Pajak yang diperiksa.

(3) Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya wajib :
  1. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan pajak terutang;
  2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
  3. memberi kesempatan kepada petugas untuk melakukan pemeriksaan kas (kas opname), stock tanda masuk/tiket/karcis yang ada pada penyelenggara;
  4. memberikan keterangan yang diperlukan secara benar, lengkap dan jelas;
  5. memenuhi ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala daerah.
(4)

Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a pasal ini maka pajak terutang ditetapkan secara jabatan.

(5)

Apabila dalam pengungkapan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta memberikan keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini.

Pasal 46

Gubernur Kepala daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, apabila :

  1. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) Peraturan Daerah ini;

  2. Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan.

Pasal 47

Tata cara pemeriksaan pembukuan, penetapan pajak secara jabatan dan penyegelan dalam rangka pemeriksaan ditetapkan oleh Gubernur Kepala daerah.

BAB XVIII
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 48

(1)

Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak, segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan Peraturan Daerah ini, kecuali sebagai saksi atau sakti ahli dalam sidang pengadilan.

(2)

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini berlaku juga terhadap ahli-ahli yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan Peraturan Daerah ini, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.

(3)

Untuk kepentingan Daerah, Gubernur Kepala Daerah berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dimaksud pada ayat (1) pasal ini dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.

(4)

Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara pidana dan Hukum Acara perdata Gubernur Kepala Daerah dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

(5)

Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini, harus menyebutkan nama terdakwa atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.

BAB XIX
PEMBEBASAN DAN KERINGANAN PAJAK

Pasal 49

Dibebaskan dari pengenaan pajak adalah :

  1. penyelenggaraan hiburan panti pijat yang seluruh pemijatnya tuna netra;
  2. jenis pertunjukan atau permainan yang diselenggarakan oleh pengusaha ekonomi lemah yang penyelenggaraannya dilakukan secara berkeliling dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan pembayaran yang diminta dari penonton secara sukarela;
  3. segala jenis hiburan yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang seluruh biaya penyelenggaraannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  4. semua jenis hiburan yang diselenggarakan semata-mata bertujuan untuk penerangan dari Pemerintah;
  5. pertunjukan keramaian dan permainan yang semata-mata bersifat hiburan tradisional yang menurut pertimbangan Gubernur Kepala Daerah dapat dibebaskan;
  6. Penyelenggaraan hiburan yang bersifat sosial dan atau keagamaan yang bertujuan tidak mencari keuntungan.

Pasal 50

(1)

Dalam rangka pembinaan dan pengembangan olahraga kesenian daerah dan Perfilman Nasional, Gubernur Kepala Daerah dapat memberikan keringanan setinggi-tingginya 50% dari jumlah pajak terutang.

(2)

Pelaksanaan pemberian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 51

(1)

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak yang terutang.

(2)

Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang.

Pasal 52

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 tidak dapat dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

Pasal 53

(1)

Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan, atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(2)

Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhi kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun, atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima ratus rupiah).

(3)

Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Pasal 54

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dan (2), merupakan penerimaan negara.

BAB XXI
PENYIDIKAN

Pasal 55

(1)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintahan Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana terhadap Peraturan Daerah ini.

(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah :
  1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
  2. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana;
  4. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana;
  5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
  7. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada butir e;
  8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
  9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  10. menghentikan penyidikan;
  11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3)

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XXII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 56

(1)

Terhadap Pajak Hiburan yang terutang dalam Masa Pajak yang berakhir setelah berlakunya ketentuan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan.

(2)

Selama peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini belum dikeluarkan maka peraturan pelaksanaan yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.

BAB XXIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 57

Hal-hal yang merupakan pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 58

(1)

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1996 Nomor 85 Seri A Nomor 2), dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2)

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Juli 1998
GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA

ttd.

SUTIYOSO

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
KETUA

ttd.

H.EDY WALUYO S.IP.

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 7 TAHUN 1998

TENTANG
PENYELENGGARAAN HIBURAN DAN PAJAK HIBURAN

  1. Penjelasan Umum

Peraturan Daerah ini merupakan pengaturan kembali dan sebagai pengganti Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan.

Pengaturan kembali pemungutan Pajak Hiburan dalam Peraturan Daerah ini selain dimaksudkan untuk lebih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Daerah khususnya Pajak Hiburan yang merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, juga untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah.

Dalam Peraturan Daerah ini diatur sistem pemungutan Pajak Hiburan dengan Sistem Setor Tunai dan Sistem Surat Ketetapan Pajak. Sistem Setor Tunai pelaksanaan pemungutannya diawali dengan kewajiban untuk melaporkan penyelenggaraan hiburan sebelum hiburan diselenggarakan dan dilanjutkan memasukan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).

Sedangkan untuk Sistem Surat Ketetapan Pajak, khususnya untuk penyelenggaraan hiburan yang menggunakan tanda masuk antara lain bioskop dan hiburan insidential, pembayaran pajak dilakukan sebelum penyelenggaraan hiburan dimulai dalam bentuk titipan atau jaminan pembayaran pajak sebagai pembayaran dimuka. Pembayaran dimuka dalam hal ini merupakan bagian sistem ketetapan yang melalui proses realisasi dapat ditetapkan besarnya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak. Ketentuan untuk mendukung pelaksanaan sistem ini dipertegas dengan mengatur tentang kewajiban penyelenggaraan hiburan yang ditetapkan dengan menggunakan tanda masuk untuk melakukan pembayaran dimuka.

Dalam Peraturan Daerah ini ketentuan tarif Pajak Hiburan lebih disesuaikan dengan kondisi dari masing-masing jenis hiburan yang terus berkembang sejalan dengan kemajuan dan perkembangan perekonomian Daerah.

Peranan tarif dalam hal ini lebih diutamakan untuk mengatur perkembangan jenis-jenis hiburan terutama terhadap jenis hiburan yang diperkirakan dapat menggeser nilai tinggi budaya bangsa, sehingga diharapkan akan timbul pemikiran alternatif untuk mengembangkan jenis hiburan yang lebih bermanfaat dan dapat dinikmati oleh semua pihak dengan tidak meninggalkan norma- norma yang berlaku di masyarakat.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut dan untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam pemungutan Pajak Hiburan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka perlu menetapkan kembali Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan yang disesuaikan dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dimaksud.

  1. Penjelasan Pasal Demi Pasal

Pasal 1

huruf a s.d. k :

Cukup jelas.

huruf l :

Yang dimaksud dengan pembayaran adalah jumlah yang diterima untuk seharusnya diterima termasuk yang akan diterima, antara lain pembayaran yang dilakukan tidak secara tunai.

huruf m :

– Yang dimaksud dengan suatu tanda atau alat atau cara yang sah adalah tanda masuk yang dilegalisasi oleh Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta.
– Termasuk tanda masuk disini adalah tanda masuk dalam bentuk dandengan nama apapun, misalnya karcis, tiket undangan, kartu langganan, kartu anggota (membership) dan sejenisnya.

huruf n s.d. ab :

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

ayat (1) :

Yang dimaksud dengan hari kerja disini adalah hari Senin sampai dengan Jumat.

ayat (2) dan (3) :

Cukup jelas

Pasal 4

ayat (1)

– Maksud ayat ini agar izin penyelenggaraan hiburan tidak digunakan untuk jenis hiburan lain selain dari jenis hiburan yang sudah mendapat izin pada lokasi tersebut.

Contoh :
Penyelenggaraan hiburan diskotek “A” juga terdapat hiburan lain sepertikaraoke maka masing-masing bagian hiburan tersebut harus juga memiliki izin.

Sedangkan yang dimaksud dengan satu tempat tertentu adalah penyelenggaraan hiburan dilakukan pada satu tempat tersendiri.

ayat (2) s.d. (4) :

Cukup jelas

ayat (5) :

Yang dimaksud dengan ketempatan dalam ayat ini adalah lokasi untuk tempat penyelenggaraan hiburan yang kepemilikannya tidak menyatu dengan penyelenggara.

ayat (6) dan (7) :

Cukup jelas

Pasal 5 s.d. 8

Cukup jelas

Pasal 9

Huruf a s.d h :

Cukup jelas

Huruf i :

Yang dimaksud komidi putar adalah komidi putar yang digerakkan dengan peralatan eletronik.

Huruf j :

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Yang dimaksud dengan yang seharusnya dibayar adalah termasuk pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma.

Pasal 12 dan 13 :

Cukup jelas

Pasal 14 :

ayat (1) :

– Surat Keputusan Pengukuhan yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah tidak merupakan dasar untuk menentukan mulai saat terutang pajak, tetapi hanya merupakan sarana administrasi dan pengawasan bagi petugas Dinas Pendapatan Daerah.
– Terhadap Penyelenggara Hiburan Insidental wajib melaporkan kegiatan usahanya setelah diperoleh izin, akan tetapi terhadap usaha tersebut tidak diberikan Nomor Pengukuhan dan Nomor Wajib Pajak.

ayat (2) :

Penetapan secara jabatan disini dimaksudkan untuk pemberian nomor pengukuhan dan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan bukan merupakan penetapan besarnya pajak terutang.

ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 15 s.d. 21 :

Cukup jelas

Pasal 22

Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

ayat (1) :

Ketentuan ayat ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.

Contoh :

  1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah pada tahun pajak 1998. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan SPTPD maka dalam jangka waktu paling lama 5 tahun Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB atau pajak yang terutang.
  2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 1998. Dalam jangka waktu paling lama 5 tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.
  3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh 2 yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang maka Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKBT.
  4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Gubernur Kepala Daerah ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak maka Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDN.

ayat (2) :

Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan atau pajak yang tidak atau terlambat dibayar.
Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.

Ayat (3) :

Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak.
Sanksi administrasi ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan. ayat (4) :

Cukup jelas

ayat (5) :

Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini maka Gubernur Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.
Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.

Pasal 23 :

Cukup jelas

Pasal 24 :

ayat (1) :

Surat Tagihan Pajak Daerah diterbitkan baik terhadap Wajib Pajak yang melakukan kewajiban pajak yang dibayar sendiri maupun terhadap Wajib Pajak yang melaksanakan kewajiban pajak yang dipungut. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang, sedangkan sanksi administrasi berupa denda dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan formal, misalnya tidak atau terlambat menyampaikan SPTPD.

ayat (2) :

Cukup jelas

ayat (3) :

Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar.

Pasal 25 :

Cukup jelas

Pasal 26 :

Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpunan data obyek dan subyek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.

Pasal 27 s.d. 29 :

Cukup jelas

Pasal 30 :

ayat (1) :

Cukup jelas

ayat (2) :

Hiburan insidental diselenggarakan di hotel atau restoran atau tempat lainnya. Penyelenggaraan uang jaminan Pajak Hiburan dan hingga saat hiburan berakhir, Penyelenggara tidak membayar Pajak Hiburan oleh karenanya pemilik hotel dan atau restoran atau tempat lainnya bertanggung jawab melunasi pajak hiburan yang terutang sebagai akibat di selenggarakan hiburan insidental tersebut.

Pasal 31 dan 32 :

Cukup jelas

Pasal 33 :

ayat (1) :

Maksud dan tujuan pada ayat ini adalah untuk memberi kesempatan pada Daerah untuk mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan di muka umum barang-barang milik Wajib Pajak atau wilayah guna menutupi atau melunasi tunggakan pajak dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 1139 KUH Perdata dan Pasal 80 serta 81 KUHP.

ayat (2) dan (3) :

Cukup jelas

Pasal 34 s.d. 36 :

Cukup jelas

Pasal 37 :

ayat (1) :

Permohonan banding dapat diajukan apabila sudah melunasi pembayaran pajak.

ayat (2) dan (3) :

Cukup jelas

Pasal 38 :

Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dihitung dari batas waktu 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB sampai dengan saat dilakukannya pembayaran kelebihan.

Pasal 39 s.d. 41 :

Cukup jelas

Pasal 42 :

ayat (1) :

Surat Kedaluwarsa Penagihan Pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.

ayat (2) :

Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa Penagihan dihitung sejak tanggal Penyampaian Surat Paksa tersebut.

Pasal 43 s.d. 54 :

Cukup jelas

Pasal 55 :

ayat (1) :

Yang dimaksud dengan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu adalah Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Pariwisata.

ayat (2) s.d. (3) :

Cukup jelas

Pasal 56 s.d. 58 :

Cukup jelas.

Reading: Peraturan Daerah – 7 TAHUN 1998