Sehubungan dengan masih adanya perbedaan penafsiran berkenaan dengan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN 1984 serta pembebanannya sebagai biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan 1984, dengan ini disampaikan penjelasan dan penegasan sebagai berikut :
Dalam Pasal 1 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan tersebut telah digariskan mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan yaitu untuk:
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.: SE-50/PJ.71/1989 tanggal 2 Desember 1989 dengan lampiran Buku Petunjuk Umum Pembukuan Untuk Perpajakan. Dalam butir 5.5.
Buku Petunjuk Umum Pembukuan Untuk Perpajakan telah diberikan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan karena tergolong tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha, antara lain Pajak Masukan untuk :
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.: SE-65/PJ.3/1985 (Seri PPN-66).
Dalam Surat Edaran tersebut ditegaskan bahwa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN 1984 adalah Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses pabrikasi dan distribusi antara lain Pajak Masukan atas pembelian bahan bakar untuk kendaraan direksi dan karyawan, Pajak Masukan atas pengeluaran biaya representasi, jamuan, pengeluaran lain yang sifatnya konsumtif serta pengeluaran yang umumnya termasuk biaya overhead.
Dalam melaksanakan ketentuan Pasal 1 PP No. 42 Tahun 1985 tersebut hendaknya tetap dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 9 UU PPh 1984. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan yang berkenaan dengan pengeluaran-pengeluaran yang termasuk dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh 1984, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Sebaliknya Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan yang berkenaan dengan pengeluaran-pengeluaran yang termasuk dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh1984, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Atas pemakaian sendiri oleh PKP untuk tujuan konsumtif BKP yang berasal dari produksinya sendiri terutang PPN. PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran dan juga merupakan Pajak Masukan bagi PKP yang bersangkutan. Pajak Masukan yang dibayar oleh PKP yang bersangkutan tidak dapat dikreditkan.
Contoh :
Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk
konsumsi karyawan atau para tamu.
Perlakuan PPN :
PPN dan/atau PPn BM harus dibayar oleh pengusaha yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 1 huruf d angka 1 huruf e jo Pasal 4 ayat (1) huruf a angka 1 UU PPN 1984. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Perlakuan PPh :
Untuk pembebanan sebagai biaya perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 PP No. 42 tahun 1985, maka PPN yang tidak dapat dikreditkan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang pengeluarannya termasuk biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh 1984 yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Sebaliknya apabila PPN yang tidak dapat dikreditkan tersebut berasal dari pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, f, h dan i UU PPh 1984, maka PPN yang dibayar tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian, maka dalam hal minuman tersebut disuguhkan kepada para tamu dalam kaitannya dengan usaha untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, maka atas pengeluaran untuk minuman tersebut dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan 1984. Apabila minuman tersebut diberikan untuk konsumsi karyawan, maka atas pengeluaran untuk minuman tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf d UU Pajak Penghasilan 1984 tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan karena merupakan kenikmatan (fringe benefit) dan bagi karyawan bukan merupakan penghasilan.
Contoh :
Pabrikan mobil/truck mempergunakan sendiri truck yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut bahan baku spare parts/barang dagangan dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli.
Perlakuan PPN :
Atas pemakaian sendiri ini terutang PPN. Pajak Keluaran harus dibayar sendiri oleh pengusaha yang bersangkutan. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Perlakuan PPh :
Karena telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan maka PPN tidak dapat di bebankan sebagai biaya untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak.
Pemberian cuma-cuma.
Penyerahan hasil produksi sendiri untuk pemberian cuma-cuma kepada pihak lain terutang PPN. PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran dan juga Pajak Masukan bagi PKP yang bersangkutan. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Untuk PPh, sepanjang pemberian cuma-cuma seperti ini termasuk dalam pengertian pemberian natura kepada karyawan sebagaimana dimaksud dalam Buku Petunjuk Umum Pembukuan Untuk Perpajakan dan termasuk dalam pengertian fringe benefit, sumbangan, hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, f, h dan i UU PPh 1984, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
BKP yang berasal bukan dari produksi sendiri :
Untuk PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP yang berasal bukan dari produksinya sendiri yang digunakan untuk pemakaian sendiri dengan tujuan konsumtif maupun pemberian cuma-cuma berupa hadiah/sumbangan tidak dapat dikreditkan sebagaimana ditegaskan dalam Buku Petunjuk Umum Pembukuan Untuk Perpajakan.
Untuk PPh, apabila pengeluaran tersebut termasuk dalam pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d,f, h dan i UU PPh tahun 1984, maka Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan yang berkenaan dengan pengeluaran tersebut juga tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
Demikian untuk dimaklumi dan supaya penegasan ini disebar-luaskan kepada semua pihak di wilayah kerja Saudara masing-masing.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
Drs. MAR’IE MUHAMMAD