Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 07/PJ.7/1995

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan, bank merupakan badan yang ditentukan melakukan kewajiban perpajakan, baik sebagai Wajib Pajak maupun sebagai Pemungut atau Pemotong Pajak.
Dalam menjalankan usaha dan kegiatannya, bank berhubungan dengan para nasabahnya yang juga merupakan Wajib Pajak, yang menurut ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di lindungi oleh Rahasia Bank. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik sebagai Wajib Pajak, Wajib Pungut atau Pemotong Pajak maupun bank sebagai Pihak Ketiga dalam kaitannya dengan Wajib Pajak lain yang diperiksa, masih terdapat keragu-raguan tentang kerahasiaan bank, dan oleh karena itu bersama ini disampaikan penegasan tentang masalah kerahasiaan yang berkaitan dengan bank tersebut sebagai berikut :

  1. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 Bank adalah Subyek Pajak. Sebagai Subyek Pajak, Bank mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban perpajakan sama dengan Subyek Pajak lainnya.

  2. Apabila bank, sebagai Subyek Pajak, Pemungut atau Pemotong Pajak, diperiksa untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya yang dapat menghasilkan ketetapan tentang besarnya pajak yang terutang berdasarkan undang-undang, maka bank yang diperiksa tersebut wajib memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 jo. Pasal 7 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 625/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.

  3. Sesuai dengan penjelasan Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, bahwa untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan, sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diperlihatkan atau dipinjamkan oleh bank, maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan Ketentuan tersebut berlaku terhadap semua Wajib Pajak termasuk Wajib Pajak Bank.

  4. Dengan ditiadakannya kerahasiaan bank untuk tujuan pemeriksaan pajak tersebut, maka dapat diuji kelengkapan dan kebenaran jumlah penghasilan yang diperoleh atau jumlah kerugian yang diderita bank sampai pada sumber penghasilan dan sebab dideritanya kerugian. Demikian juga dengan kewajiban perpajakan lainnya. Beberapa contoh peniadaan kerahasiaan bank tersebut adalah sebagai berikut :

    1. Untuk dapat menguji kelengkapan dan kebenaran bunga yang dibayar atau diperoleh bank, maka kerahasiaan nama dan identitas deposan dan nasabah penerima kredit ditiadakan untuk keperluan pemeriksaan pajak.
    2. Untuk dapat menguji kebenaran kerugian yang diderita karena penghapusan kredit yang macet, maka kerahasiaan nama dan identitas nasabah yang kreditnya macet dan dihapus ditiadakan untuk keperluan pemeriksaan pajak.
    3. Untuk dapat menguji kelengkapan dan kebenaran kewajiban pemungutan dan pemotongan pajak, maka kerahasiaan nama dan identitas nasabah atau pihak yang kena pemungutan atau pemotongan pajak ditiadakan untuk keperluan pemeriksaan pajak.
  5. Berbeda halnya dengan bank yang diperiksa sebagai Wajib Pajak biasa ialah apabila bank berkedudukan sebagai pihak ketiga yang terkait dengan Wajib Pajak lain yang sedang diperiksa.
    Untuk pemeriksaan Wajib Pajak lain yang dimaksud diperlukan keterangan atau bukti-bukti dari bank tersebut. Keterangan atau bukti-bukti dari bank tersebut berdasarkan Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 dapat diperoleh dari bank atau dengan kata lain kerahasiaan bank dapat ditiadakan atas perintah tertulis Menteri Keuangan kepada bank yang bersangkutan untuk memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta kepada pemeriksa.

  6. Penegasan-penegasan tersebut diatas berlaku juga untuk tahun pajak 1994 dan sebelumnya, satu dan lain hal mengingat bahwa penjelasan Pasal 29 ayat (4) tidak mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994.

  7. Apabila dalam pemeriksaan bank sebagai Wajib Pajak, bank yang bersangkutan menolak untuk meminjamkan atau memperlihatkan buku, catatan, dokumen dan data-data yang diminta, maka berdasarkan temuan pemeriksaan dan data lainnya pemeriksa dapat melakukan koreksi dan menghitung pajak terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

  8. Sesuai dengan ketentuan mengenai rahasia jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, pemeriksa atau pejabat yang melakukan pemeriksaan atas bank wajib merahasiakan apa yang diketahuinya dari pemeriksaan tersebut.
    Pelanggaran terhadap ketentuan rahasia jabatan tersebut baik karena kealpaan maupun kesengajaan dapat dikenakan hukuman pidana dan denda sesuai dengan ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang tersebut.

  9. Dengan penegasan ini, terhitung mulai tanggal Surat Edaran ini maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-31/PJ.7/1990 tanggal 7 Desember 1990 tentang Pemeriksaan terhadap bank (sebagai Wajib Pajak) dan ketentuan lainnya yang kurang sejalan dengan ketentuan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

  10. Kepada para Kakanwil, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan para Kepala Karikpa diminta agar menjelaskan isi Surat Edaran ini kepada seluruh bank yang ada di wilayah Saudara.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 07/PJ.7/1995