Sehubungan dengan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 mengenai pembebasan dari pemotongan/pemungutan PPh oleh pihak lain, dan berkaitan dengan Pasal 7 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-03/PJ/1995, tanggal 9 Januari 1995 mengenai pengurangan PPh Pasal 25, dengan ini diberikan penegasan dan petunjuk pelaksanaan sebagai berikut:
- Pemotongan/pemungutan PPh oleh pihak lain mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu :
- Mengamankan penerimaan negara berupa Pajak Penghasilan atas jenis-jenis penghasilan yang dikenakan pemotongan/pemungutan PPh berdasarkan ketentuan Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
- Untuk memperoleh informasi/data yang berhubungan dengan Wajib Pajak, dalam rangka menciptakan sistem informasi perpajakan yang memadai, guna mengawasi pelaksanaan”self assessment system” sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan.
- Disamping itu pemotongan/pemungutan PPh oleh pihak lain mempunyai 2 (dua) macam sifat yaitu :
- Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain merupakan kredit pajak, artinya dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, yaitu tahun pajak yang sama dengan tahun yang tercantum dalam bukti pemotongan/pemungutan;
- Pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak lain bersifat final, artinya tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang.
Selain itu terdapat jenis-jenis penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya diatur tersendiri, serta pembayarannya dilakukan melalui pihak lain dan bersifat final.
-
Pelunasan pajak melalui pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak lain dan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri pada hakekatnya merupakan dua cara pemenuhan kewajiban pembayaran yangberjalan bersama dan saling melengkapi.
-
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 mengatur sebagai berikut :” Wajib Pajak yang dalam suatu tahun pajak masih berhak melakukan kompensasi atas kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari pada perkiraan penghasilan netto tahun pajak yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk mempertimbangkan permohonan Wajib Pajak harus diper-hatikan 2 (dua) faktor, yaitu :a. besarnya kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan;
b. besarnya perkiraan penghasilan netto dalam tahun berjalan.
4.1. Yang dimaksud dengan kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat di kompensasikan, yaitu kerugian yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak, atau apabila belum ditetapkan/tidak ada Surat Ketetapan Pajak, adalah kerugian yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh.
Dalam kaitan ini hendaknya diperhatikan batas waktu kompensasi kerugian sebagaimana diatur Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31 A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
Contoh :Tahun 1992 – menurut SPT Tahunan rugi Rp. 7.000.000.000,00 – menurut Surat Ketetapan Pajak rugi Rp. 1.500.000.000,00 Tahun 1993 – menurut SPT Tahunan rugi Rp. 6.000.000.000,00 – belum ada produk ketetapan. Tahun 1994 – menurut SPT Tahunan rugi Rp. 2.000.000.000,00 Jumlah kerugian tahun-tahun pajak yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun pajak 1995 adalah sebesar Rp. 9.500.000.000,00 (Rp. 1.500.000.000,00 + Rp. 6.000.000.000,00 + Rp. 2.000.000.000,00).
Perlu ditegaskan bahwa besarnya kerugian yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam permohonan keberatan atau banding yang belum mendapat keputusan dari pihak yang berwenang tidak dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk mengabulkan permohonan Wajib Pajak. Contoh :
Kerugian menurut Wajib Pajak sesuai surat keberatan
Rp. 8.000.000.000,00. Kerugian menurut surat ketetapan pajak Rp. 5.000.000.000,00. Yang dipakai sebagai dasar pertimbangan adalah kerugian menurut Surat Ketetapan Pajak
yaitu sebesar Rp. 5.000.000.000,00.4.2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan pengkajian yang seksama atas perkiraan penghasilan netto dalam tahun berjalan yang disampaikan oleh Wajib Pajak yaitu :
a. membandingkan unsur-unsur penghasilan dan biaya yang tercantum dalam perkiraan penghasilan netto tahun berjalan dengan unsur-unsur penghasilan dan biaya yang menjadi dasar penerbitan surat ketetapan pajak atau yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya;
b. meneliti kewajaran unsur-unsur penghasilan dan biaya yang tercantum dalam perkiraan penghasilan netto tahun berjalan;
c. meneliti dan mempertimbangkan data lain mengenai Wajib Pajak serta prospek usahanya.
- Ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 mengatur sebagai berikut : Wajib Pajak yang dapat menunjukkan bahwa dalam suatu tahun pajak tidak akan terutang Pajak Penghasilan, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain”.
Ketentuan ini diberlakukan kepada Wajib Pajak sebagai berikut :
5.1. | Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi. Untuk mempertimbangkan permohonan Wajib Pajak tersebut tidak perlu diminta perkiraan penghasilan neto. Dalam hal ini yang penting adalah dokumen-dokumen yang dapat memberikan keyakinan, bahwa perusahaan tersebut baru berdiri dan masih dalam tahap investasi serta belum berproduksi komersial. |
5.2. | Dalam hal Wajib Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial, akan tetapi sudah menerima pembayaran misalnya perusahaan persewaan gedung, sudah menerima pembayaran uang muka, sementara gedung yang akan disewakan masih dalam tahap pembangunan, maka kepada Wajib Pajak diminta memberikan perkiraan penghasilan netto tahun berjalan. |
5.3. | Untuk perusahaan yang sudah berjalan, yang karena suatu peristiwa yang berada diluar kemampuan (“force majeur”) sehingga akan mengakibatkan menderita kerugian dan tidakakan terutang Pajak Penghasilan, maka permohonan Wajib Pajak dapat dikabulkan. Apabila kerugian tersebut menyebabkan menurunnya laba dan masih akan terutang Pajak Penghasilan, maka tidak diberikan SKB dari pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak lain, tetapi dapat diberikan pengurangan PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-03/PJ/1995tanggal 9 Januari 1995 Untuk mempertimbangkan permohonan Wajib Pajak diminta kepada Wajib Pajak untukmemberikan perkiraan penghasilan neto tahun berjalan. |
-
Khusus untuk permohonan SKB PPh Pasal 23 wajib dilampiri dengan daftar pihak-pihak pemberi penghasilan beserta nilai transaksi yang diperkirakan akan diterima/diperoleh.
-
SKB dari pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak lain hanya diberikan berkenaan dengan pemotongan/pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada butir 2 huruf a.
Perlu diperhatikan bahwa SKB atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan hanya dapat diterbitkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan aturan pelaksanaannya. -
Apabila berdasarkan hasil pengkajian dan pengujian atas semua informasi/data permohonan Wajib Pajak beralasan untuk dikabulkan, maka SKB dari pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak lain diberikan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah permohonan Wajib Pajak diterima, secara lengkap.
Apabila permohonan Wajib Pajak tidak dapat dikabulkan, maka jawaban kepada Wajib Pajak harus diberikan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah permohonan Wajib Pajak diterima, dengan mencantumkan alasan penolakan. -
SKB dari pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak lain berlaku mulai tanggal diterbitkannya SKB sampai dengan selambat-lambatnya akhir tahun pajak, dan tidak dapat berlaku surut.
-
Bentuk formulir SKB dari pemotongan/pemungutan PPh oleh pihak lain menggunakan bentuk formulir seperti contoh terlampir.
-
SKB diterbitkan dalam rangka 4 (empat) yaitu :
lembar ke 1 : Wajib Pajak ;
lembar ke 2 : Setiap Pemotong/pemungut pajak ;
lembar ke 3 : Kakanwil DPJ yang bersangkutan ;
lembar ke 4 : Arsip Kantor Pelayanan Pajak.
SKB lembar ke 2 wajib dilampirkan pada SPT Masa PPh pemotong/pemungut yang bersangkutan. -
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak diminta agar mengawasi tertib pemberian atau penolakan pemberian SKB dari pemotongan/pemungutan PPh.
-
Khusus untuk pemberian SKB PPh Pasal 22 impor bagi Wajib Pajak PMA/PMDN yang masih dalam tahap investasi tetap berlaku sesuai ketentuan yang ada.
Demikian untuk dilaksanakan.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd
FUAD BAWAZIER