Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat pajak terhutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila diketemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terhutang.
Dalam memori penjelasannya ditegaskan, sebagai berikut :
“Ayat ini tidak hanya mensyaratkan harus adanya data baru (novum) dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak Tambahan. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Tambahan, atau baru diketahui, kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak Surat Ketetapan Pajak Tambahan masih dapat diterbitkan lagi”.
Baik dari Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 maupun dari penjelasannya, masih belum dapat diketahui dengan pasti apa yang dimaksud dengan “data baru” dan “data yang semula belum terungkap” yang cukup jelas sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan.
Oleh karena itu dipandang perlu memberikan penegasan sebagai berikut :
-
Sistem self assesment selain memberikan kepercayaan juga memberikan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung sendiri besarnya pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Kepercayaan tersebut antara lain harus dicerminkan dalam Surat Pemberitahuan berikut lampiran-lampirannya yang disampaikan oleh Wajib Pajak, yang harus diisi secara benar, lengkap dan jelas. Bagi Wajib Pajak yang tidak secara benar melaksanakan kepercayaan tersebut harus bertanggung jawab dengan memikul pembayaran pajak yang kurang dibayar berikut sanksinya. Di samping itu Wajib Pajak juga harus mengungkapkan dan memberikan keterangan segala sesuatunya kepada aparat pajak pada waktu diadakan penelitian dan atau pemeriksaan pajak. Apabila setelah koreksi pada tingkat pertama oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tersebut kemudian ternyata bahwa Wajib Pajak masih belum selengkapnya memberitahukan dan mengungkapkan data dan keterangan lain sehingga aparat pajak terlalu rendah menetapkan jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak, maka Wajib Pajak masih tetap harus bertanggung jawab, yaitu atas Ketetapan Pajak Tambahan yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak beserta sanksi administrasinya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Apabila Wajib Pajak telah selengkapnya memberitahukan dan mengungkapkan data dan keterangan lain yang diperlukan untuk menetapkan jumlah pajak yang terhutang pada waktu Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat ketetapan pajak, tetapi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak sendiri sehingga jumlah pajak yang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, maka Wajib Pajak masih tetap harus melunasi hutang pajak yang kurang dibayar, karena pada dasarnya Wajib Pajak harus membayar pajak sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, kecuali setelah jumlah pajak yang terhutang menjadi pasti yaitu setelah lampau waktu lima tahun sejak saat pajak terhutang, akhir masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Namun dalam hal ini tidak layak apabila Wajib Pajak masih diminta pertanggung jawabannya dengan harus memikul sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal 36 KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau kembali sanksi tersebut.
-
Mengingat dasar pemikiran seperti tersebut di atas, maka dengan ini diberikan penegasan bahwa yang dimaksud dengan data baru, adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terhutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan kepada aparat pajak pada waktu penetapan semula, baik dalam SPT dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
- Yang dimaksud dengan “data yang semula belum terungkap” adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terhutang, yang :
3.1 tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya (termasuk Laporan Keuangan), dan atau 3.2 pada waktu penelitian atau pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap dan terinci sehingga memungkinkan aparat pajak dapat menerapkan ketentuan perundang-undangan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terhutang. Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam SPT atau mengungkapkan pada waktu penelitian/pemeriksaan, akan tetapi apabila memberitahukannya/ mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat aparat pajak tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terhutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terhutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap. Untuk memperjelas pengertian tentang “data yang semula belum terungkap”, diberikan contoh-contoh sebagai berikut :
Contoh (1) :
Dalam SPT/Laporan Keuangan tertulis adanya biaya iklan sebesar Rp. 10 juta. Sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri dari Rp. 5 juta biaya iklan di Media Masa, dan Rp. 5 juta sisanya adalah sumbangan/hadiah. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan/hadiah, sehingga pajak yang terhutang tidak dapat dihitung secara benar, maka data mengenai pengeluaran berupa sumbangan/hadiah tersebut adalah tergolong “data yang semula belum terungkap”.
Contoh (2) :
Dalam SPT maupun Laporan Keuangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak disebutkan penggolongan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian barang pada setiap golongan yang dimaksud. Demikian pula pada penelitian atau pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut, sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran penggolongan dimaksud. Dalam penggolongan tersebut sesungguhnya terdapat kesalahan, misalnya harta yang seharusnya termasuk pada golongan II digolongkan ke dalam golongan I. Oleh karena pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian yang dimaksud maka tidak dilakukan koreksi atas kesalahan penggolongan harta tersebut, dan sebagai akibatnya pajak yang terhutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila kemudian diketahui adanya kesalahan tersebut maka data penggolongan harta tersebut terakhir adalah “data yang semula belum terungkap”.
Contoh (3) :
Wajib Pajak yang telah dikukuhkan menjadi PKP melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak, dan atas pembelian tersebut oleh PKP yang bersangkutan diterbitkan Faktur Pajak. Barang-barang yang dimaksud sebagian dipergunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan proses penyediaan BKP/JKP dan sebagian yang lain tidak. Seluruh Faktur Pajak atas pembelian barang yang dimaksud dikreditkan sebagai Pajak Masukan terhadap Pajak Keluarannya. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian penggunaan barang yang dimaksud dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukannya tersebut, dan sebagai akibatnya PPN yang terhutang tidak dapat dihitung secara benar, maka apabila kemudian diketahui adanya data/keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses penyediaan BKP/JKP yang dimaksud, adalah merupakan “data yang semula belum terungkap”. -
Apabila terpenuhi butir 2 dan/atau butir 3 tersebut, maka terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.
-
Dalam laporan hasil pemeriksaan yang mengakibatkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Tambahan, pemeriksa harus menyebutkan dengan jelas, data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang ditemukan pada waktu pemeriksaan, semata-mata untuk memudahkan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, dan bukan persyaratan untuk dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan.
- Dalam hal Wajib Pajak telah memberitahukan dan mengungkapkan segala data dan keterangan yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terhutang, maka koreksi terhadap perhitungan dimaksud oleh Direktur Jenderal Pajak dapat dilakukan apabila :
6.1 Terdapat salah tulis dan/atau salah hitung; 6.2 Terdapat kekeliruan Wajib Pajak dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atas koreksi ini dikeluarkan pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.
Demikian penegasan ini untuk dapat dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan disebar luaskan kepada para Wajib Pajak.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
Drs. MAR’IE MUHAMMAD