Resources / Blog / Seputar e-Faktur

Peraturan PPN: Klarifikasi Penting Mengenai PMK 210 Tahun 2018

Seperti apa peraturan PPN dalam PMK Nomor 201 Tahun 2018? Benarkah peraturan ini akan menyulitkan pelaku bisnis online yang selama ini didominasi pengusaha kelas UMKM? Temukan klarifikasinya di sini

SPT Tahunan 2021: Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Lapor Pajak

Peraturan PPN dan PMK 210/2018

Peraturan PPN bertambah lagi setelah Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, menerbitkan PMK Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Mengapa PMK ini menambah peraturan PPN? Alasannya karena ruang lingkup beleid ini tidak hanya berkaitan dengan PPh, melainkan juga sangat bersinggungan dengan PPN, PPnBM dan bea masuk.

Meski baru aktif berlaku pada 1 April 2019 mendatang, peraturan PPN ini sudah ramai dibicarakan. Sejumlah pertanyaan pun mengemuka. Misalnya seperti apa saja kewajiban perpajakan yang muncul dari peraturan PPN anyar ini?

Benarkah peraturan PPN ini akan memberatkan pelaku jual beli online dan penyedia platform e-commerce? Dan berapa tarif pajak yang ditetapkan oleh peraturan PPN ini?

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, berikut ini poin-poin penting yang harus dipahami oleh pelaku bisnis online.

Terkait dengan PPN, apa saja yang diatur dalam PMK 210/2018?

Berdasarkan pasal 3 Ayat 3 dan 5 PMK, penyedia platform e-commerce wajib memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP. Bahkan, dalam ayat 5 ditegaskan, kewajiban penyedia platform menjadi PKP tidak perlu mengacu pada omzet minimal dan kriteria pengusaha kecil.

Sementara, bagi pedagang dan penyedia jasa yang bertransaksi melalui e-commerce, wajib memberitahukan NPWP atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada penyedia platform. Poin penting lainnya adalah kewajiban PKP bagi pedagang dan penyedia jasa yang telah melewati kriteria pengusaha kecil seperti omzet usaha yang susah melewati Rp 4,8 miliar.

Apa saja kewajiban perpajakan PPN yang muncul dari PMK ini?

Seperti sudah sedikit disinggung pada poin di atas, kewajiban perpajakan yang muncul akibat adanya PMK ini adalah:

  • Bagi pelaku jual-beli memberitahukan NPWP atau NIK
  • Mengukuhkan diri sebagai PKP bagi penyedia platform e-commerce dan pelaku jual-beli memenuhi kriteria PKP
  • Bagi penyedia platform dan pedagang online yang berstatus sebagai PKP, wajib memungut PPN, membuat faktur pajak, menyetor dan melaporkannya pada SPT Masa PPN
  • Penyedia platform e-commerce wajib melaporkan rekapitulasi transaksi perdagangan yang dilakukan oleh pedagang dan atau penyedia jasa pengguna platform ke Ditjen Pajak

Benarkah PMK ini akan memberatkan pedagang online?

Jauh sebelum PMK ini terbit, banyak pelaku bisnis online yang khawatir jika kebijakan ini akan menekan pengusaha, khususnya kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Padahal, jika mencermati tiap-tiap pasal dari PMK ini, terlihat jelas jika pemerintah sebenarnya ingin menerapkan asas keadilan bagi seluruh wajib pajak. Masih belum yakin juga? Mari kita cermati poin-poin di bawah ini:

1. Kewajiban memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP

Dari sisi keadilan, peraturan ini sangat wajar. Sebab, kewajiban ini berlaku bagi penyedia platform e-commerce dan pengusaha yang tidak lagi masuk kategori pengusaha kecil. Ambil contoh perusahaan marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Shopee, JDid dan sejenisnya. Perusahaan sekelas mereka wajar saja jika diwajibkan memiliki NPWP dan menjadi PKP.

Begitu juga halnya dengan pengusaha yang memiliki omzet di atas Rp 4,8 miliar. Wajar saja jika mereka wajib memiliki NPWP dan menjadi PKP sebab perlakuan ini juga diterapkan bagi pengusaha yang bergerak secara offline.

2. Wajib melaporkan omzet pada penyedia platform

Pemerintah sebenarnya ingin mendorong transparansi. Sebab, rekapitulasi para pedagang online yang dilaporkan kepada penyedia platform pada akhirnya diteruskan ke Ditjen Pajak. Dengan data ini Ditjen Pajak dapat mengetahui omzet penyedia platform serta pedagang dan penyedia jasa yang bertransaksi di dalamnya.

Artinya jika para pelaku bisnis online ini ternyata memang sudah layak untuk dipungut pajak dan atau berkewajiban memungut pajak dan menjalankan pembukuan, mereka tidak bisa mengelak lagi. Toh, hal ini juga dialami oleh mereka yang bergerak di bidang bisnis offline.

3. Tarif pajak yang harus dibayar pelaku bisnis online

Pertanyaan lain yang paling banyak disuarakan berkaitan dengan kewajiban menyetorkan pajak. Sederhananya seperti ini: “Apakah saya harus membayar pajak?”

Jawabannya sangat tergantung pada omzet usaha Anda. Jika Anda adalah pengusaha dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar, maka pajak yang menjadi tanggungan Anda sesuai PP 23 Tahun 2018 adalah sebesar 0,5% dari omzet.

Sedangkan, jika Anda pedagang kecil dengan omzet di bawah nominal tertentu (sebagaimana diatur dalam PP 23/2018), Anda tidak berkewajiban membayar pajak.

Reading: Peraturan PPN: Klarifikasi Penting Mengenai PMK 210 Tahun 2018