Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 02/PJ.42/1999

Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan mengenai kemungkinan dapat dilakukannya Penangguhan penyusutan atas harta berwujud (misalnya harta berwujud berupa mesin) sebagai akibat dari adanya penurunan atau penghentian produksi, maka untuk dapat memberikan adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan ketentuan mengenai penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dengan ini diberikan beberapa penegasan sebagai berikut :

  1. Pada prinsipnya semua pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya. Namun apabila pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, maka pembebanan atas pengeluaran tersebut sebagai biaya harus dilakukan melalui penyusutan. Dengan demikian penyusutan adalah merupakan suatu metode pembebanan biaya.

  2. Metode penyusutan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya penyusutan yang dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah :
    1. Metode garis lurus, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut, atau
    2. Metode saldo menurun, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Dalam menghitung besarnya penyusutan atas harta berwujud, Wajib Pajak hanya diperbolehkan menggunakan salah satu dari kedua metode penyusutan tersebut untuk seluruh jenis harta berwujud dan penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.
  3. Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut.

  4. Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak. Pengertian mulai menghasilkan tersebut dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

  5. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud tersebut akan diakhiri dengan penyusutan atau pembebanan sekaligus atas nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan, kecuali apabila sebelum akhir masa manfaat harta berwujud tersebut ditarik dari pemakaian atau dijual, maka penghitungan penyusutan yang terakhir atas harta berwujud tersebut adalah penyusutan untuk tahun terakhir sebelum tahun ditariknya harta berwujud tersebut dari pemakaian.

  6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penangguhan penyusutan atas harta berwujud yang telah disusutkan tidak diperkenankan. Walaupun dalam tahun pajak tersebut terjadi penurunan atau penghentian produksi. Oleh karena itu, sepanjang harta berwujud tersebut tidak ditarik dari pemakaian atau tidak dijual, maka penyusutan atas harta berwujud tersebut tetap harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan.

Demikian untuk dimaklumi.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

A. ANSHARI RITONGA

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 02/PJ.42/1999