Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 04/PJ.32/1992

Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 1991 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh Pedagang Eceran Besar, yang tata cara pengenaannya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1289/KMK.04/1991 tanggal 31 Desember 1991, maka ruang lingkup pengenaan Pajak Pertambahan Nilai telah diperluas sampai dengan tingkat Pedagang Eceran Besar. Oleh karena itu dengan ini diberikan petunjuk pelaksanaan sebagai berikut :

  1. Pengertian Pedagang Eceran Besar (PEB)
  2. 1.1.

    Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 1991 yang dimaksud dengan Pedagang Eceran Besar adalah pengusaha yang dengan nama dan dalam bentuk apapun dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya di bidang perdagangan yang jumlah peredaran brutonya untuk Barang Kena Pajak dan bukan Barang Kena Pajak serta Jasa Kena Pajak yang melekat pada Barang Kena Pajak dalam tahun 1991 berjumlah Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau lebih. Ketentuan tersebut berlaku bagi pedagang eceran yang telah memulai usahanya sebelum 1 Januari 1992. Sedangkan bagi pedagang eceran yang dalam tahun 1991 peredaran brutonya belum mencapai Rp. 1 milyar, atau pedagang eceran yang baru berusaha setelah tahun 1991, yang bersangkutan termasuk PEB sejak peredaran brutonya dalam suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak telah mencapai Rp. 1 milyar.

    1.2. Yang dimaksud dengan peredaran brutonya dalam butir 1.1. adalah
    1.2.1.

    Seluruh penjualan/penyerahan BKP, bukan BKP, dan JKP yang melekat pada penyerahan BKP, baik kepada pembeli, pemakaian sendiri maupun pemberian cuma – cuma.

    1.2.2.

    Gabungan atau jumlah peredaran bruto sebagai satu kesatuan usaha, yaitu jumlahperedaran bruto pengusaha dari seluruh tempat usaha baik pusat maupun cabang-cabang, perwakilan-perwakilan, dan unit-unit usaha lainnya.

    1.2.3.

    Merupakan jumlah peredaran bruto dari franchisor dan para franchisee, di dalam daerah pabean Indonesia, dalam hal usaha dilakukan berdasarkan suatu kontrak franchise atau kontrak lain yang sejenisnya.

  3. Kewajiban PEB untuk melaporkan usahanya.
  4. 2.1.

    Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 menganut stelsel aktif dalam pengukuhan pengusaha menjadi PKP. Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP. Oleh karena itu para pengusaha/PEB sebagaimana dimaksud dalam butir 1 wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP pada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 1992. Bagi pengusaha yang memenuhi syarat sebagai PEB, apabila tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP dikenakan sanksi sesuai Pasal 3 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983.Kewajiban melapor tersebut berlaku pula untuk cabang, perwakilan, dan unit usaha lainnya pada KPP di tempat cabang, perwakilan dan unit usaha terletak.

    2.2.

    Bagi pengusaha/PEB sebagaimana dimaksud dalam butir 1 yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam butir 2.1., akan dikukuhkan menjadi PKP secara jabatan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat, sesuai dengan maksud Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-33/PJ.9/1991.

    2.3.

    Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak diminta untuk mengumumkan/menyebarluaskan penegasan pada butir 2.1. dan butir 2.2. di atas kepada para Wajib pajak di wilayahnya masing-masing.

  5. Pengukuhan PEB menjadi PKP
  6. 3.1.

    Ketentuan peredaran bruto sebesar Rp. 1 milyar atau lebih dalam tahun 1991 dijadikan dasar untuk mengukuhkan PEB menjadi PKP. Berkenaan dengan hal tersebut, maka para Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut :

    3.1.1.

    Dalam rangka pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, KPP diminta menyusun Daftar Calon Pengusaha Kena Pajak berdasarkan data SPT Tahunan PPh 1991. Jika data SPT Tahunan PPh 1991 belum ada untuk sementara agar digunakan data SPT Tahunan PPh 1990. Apabila PEB belum melaporkan usahanya, KPP diminta mengirimkan formulir KP.PDIP 4.1 atau KP.PDIP 4.2. kepada PEB dimaksud, dengan pemberitahuan apabila pengusaha dimaksud tidak mengembalikan formulir tersebut atau tidak melaporkan diri untuk dikukuhkan menjadi PKP akan dilakukan pengukuhan menjadi PKP secara jabatan.

    3.1.2.

    Keputusan pengukuhan PEB menjadi PKP supaya segera diterbitkan sesudah diterima laporan usaha dari PEB yang bersangkutan. Demikian pula terhadap yang tidak mengembalikan formulir KP.PDIP 4.1 atau KP.PDIP 4.2. atau tidak melaporkan diri untuk dikukuhkan menjadi PKP, supaya dikukuhkan menjadi PKP secara jabatan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 1992. Keputusan pengukuhan menjadi PKP berlaku sejak tanggal 1 April 1992.

    3.2.

    Bagi PEB yang mempunyai beberapa tempat usaha, semua tempat usaha seperti cabang, perwakilan, atau unit usaha lainnya, masing-masing harus dikukuhkan menjadi PKP oleh KPP setempat.

    3.3.

    Bagi pengusaha yang melakukan perdagangan atas dasar perjanjian franchise atau kontrak lain yang sejenis franchise masing-masing harus dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dijelaskan pada butir 3.2.

  7. PEB yang tidak dikukuhkan menjadi PKP.
  8. 4.1.

    PEB yang semata-mata melakukan penyerahan bukan Barang Kena Pajak seperti hasil agraria (perkebunan, pertanian, kehutanan, peternakan perikanan) dan hasil pertambangan yang belum diolah lebih lanjut, dan/atau rumah makan, tidak termasuk sebagai PKP, oleh karena itu tidak perlu dikukuhkan menjadi PKP.

    4.2.

    Pedagang Eceran yang peredaran brutonya kurang dari Rp. 1 milyar tidak dikukuhkan menjadi PKP. Ketentuan ini hanya berlaku bagi pengusaha yang usahanya semata-mata hanya sebagai Pedagang Eceran.

  9. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
  10. 5.1.

    Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN yang terutang oleh Pedagang Eceran Besar adalah jumlah seluruh penyerahan Barang Kena Pajak dalam satu masa pajak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1289/KMK.04/1991 PEB diwajibkan untuk menempelkan label harga jual yang di dalamnya sudah termasuk PPN pada PKP yang dijual. Oleh karena harga jual sudah termasuk PPN maka DPPnya dihitung sebesar 100/110 dari harga jual.

    5.2.

    Bagi PKP PEB yang dalam lokasi usahanya terdapat beberapa kegiatan perdagangan eceran yang bukan miliknya, tetapi menggunakan bon atau faktur penjualan PKP PEB, maka DPP PKP PEB tersebut adalah jumlah penjualan/penyerahan BKP yang menggunakan bon/faktur penjualan PKP PEB “X” tersebut.

    Contoh :
    PKP PEB “X” dalam suatu masa pajak mempunyai peredaran Rp. 1,5 milyar dengan perincian sebagai berikut :

    miliknya sendiri Rp. 800 juta yang berasal dari BKP sebesar Rp. 600 juta dan bukan BKP Rp. 200 juta,

    bukan miliknya sendiri (pedagang eceran lain yang menggunakan bon/faktur penjualan PKP “X”) sebesar Rp. 700 juta yang terdiri dari BKP sebesar Rp. 500 juta dan bukan BKP sebesar Rp. 200 juta,

    DPP bagi PKP PEB “X” adalah Rp. 1.800 juta yaitu jumlah peredaran BKP berdasarkan bon/faktur penjualan PKP BEP “X”.
    5.3.

    Bagi PEB yang berusaha berdasarkan Perjanjian Franchise, walaupun untuk menentukan pengusaha sebagai PEB adalah jumlah peredaran bruto dari franchisor dan seluruh franchisee, namun karena franchisor dan masing-masing franchisee dikukuhkan menjadi PKP, maka DPP dihitung berdasarkan jumlah penyerahan BKP untuk masing-masing PKP. Hal yang sama berlaku pula bagi PEB yang mempunyai tempat usaha di berbagai tempat.

  11. Faktur Pajak
  12. 6.1.

    PEB dijinkan membuat Faktur Pajak Sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1117/KMK.04/1988 juncto Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-24/PJ.3/1989 tanggal 20 Mei 1989 yang dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi kas register, kupon dan kuitansi yang lazim dipakai dalam usaha perdagangan eceran sebagai tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, sekurang-kurangnya membuat Kode Faktur, Nomor Urut, nama PKP atau nama merk usaha, jumlah satuan barang, dan jumlah harga penjualan serta jumlah PPN yang terutang, atau keterangan bahwa pajak yang terutang telah termasuk dalam Harga Jual atau nilai penggantian.

    6.2.

    Apabila pembeli menghendaki, PEB dapat menerbitkan Faktur Pajak Standar sesuai dengan bentuk yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1117/KMK.04/1988 tanggal 8 November 1988.

  13. Pencatatan dalam Pembukuan. PEB yang telah dikukuhkan menjadi PKP diwajibkan untuk melakukan pencatatan dalam pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1289/KMK.04/1992 yang memuat:

    1. Untuk Barang Kena Pajak :
      1. Nomor Urut;
      2. Jenis/macam Barang beserta jumlah kuantum masing-masing;
      3. Harga Perolehan masing-masing jenis/macam Barang;
      4. PPN yang terutang atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak(Pajak Masukan);
      5. Harga Penyerahan/Penjualan belum termasuk PPN yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak;
      6. PPn yang terutang untuk penyerahan Barang Kena Pajak (Pajak Keluaran);
      7. Harga Penjualan termasuk PPN.
    2. Untuk Barang Kena Pajak yang dikenakan tarif 0%:
      1. Nomor Urut;
      2. Jenis/macam Barang beserta jumlah kuantum masing-masing;
      3. Harga Perolehan masing-masing jenis/macam Barang;
      4. PPN yang terutang atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (Pajak Masukan);
      5. Harga Penyerahan/ekspor;
    3. Untuk Bukan Barang Kena Pajak :
      1. Nomor Urut;
      2. Jenis/macam Barang beserta jumlah kuantum masing-masing;
      3. Harga Perolehan masing-masing jenis/macam Barang;
      4. Harga Penyerahan/Penjualan (tanpa PPN);
      5. Tata Cara pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 3 agar tetap berpedoman pada Keputusan Menteri Muda Keuangan Selaku Pengganti Sementara Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-34/PJ.2/1989 tanggal 10 Juli 1989.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

Drs. MAR’IE MUHAMMAD

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 04/PJ.32/1992