Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 10/PJ.432/1992

Dari pengamatan telah ditemukan beberapa kekeliruan dalam penerapan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985, yaitu tatacara pemberian pembebasan atas penyetoran PPh oleh Wajib Pajak sendiri dan melalui pemotongan pihak ketiga, sehingga dipandang perlu untuk diberikan penegasan sebagai berikut.

I.

Tujuan pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak ketiga.
1. Tujuan dari pemotongan/pemungutan pajak berdasarkan Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 yaitu :
a.

mengamankan penerimaan negara berupa uang pajak atas jenis-jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut;

b.

mengumpulkan data yang berhubungan dengan Wajib Pajak yang menerima jenis-jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut.

Disamping itu perlu disadari bahwa pelunasan PPh tahun berjalan melalui pemotongan pihak ketiga dan pelunasan PPh oleh Wajib Pajak sendiri berdasarkan Pasal 25, merupakan dua hal yang saling melengkapi.
2. Pelaksanaan pemberian pembebasan atas pembayaran/pemotongan/pemungutan, diatur dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985.
Dengan demikian maka SKB untuk pembayaran/pemotongan/pemungutan PPh (PPh Pasal 21, 22, 23 dan 25) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak hanya apabila syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985 dipenuhi, yaitu dengan berpedoman seperti disebutkan di bawah ini.

II. Ketentuan Umum Pembebasan Pembayaran PPh Pasal 25/pemotongan/pemungutan PPh oleh Pihak Ketiga.
1. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985 mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keputusan terhadap permintaan pembebasan angsuran PPh Pasal 25 dan atau pembebasan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23.
Kewenangan tersebut telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-106/PJ.11/1991 tanggal 6 Juni 1991 (lihat butir 50 keputusan tersebut).
2. Pembebasan angsuran PPh Pasal 25 dan/atau pembebasan pemotongan/ pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dapat diberikan dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang pada akhir tahun pajak kurang dari # (tiga per empat) dari jumlah keseluruhan Pajak Penghasilan yang telah dilunasi oleh Wajib Pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, baik melalui angsuran PPh Pasal 25 maupun melalui pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan Pajak Penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
3. Pajak Penghasilan yang akan terutang pada akhir tahun pajak dimaksud pada butir 2, adalah Pajak Penghasilan yang dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 terhadap perkiraan penghasilan netto/penghasilan kena pajak (projected income) tahun pajak yang bersangkutan.
4. Berikut ini disampaikan contoh penerapan ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985 yang salah dan yang benar :
Salah :
PPh yang akan terutang pada akhir tahun pajak berdasarkan projected income : Rp. 120.000.000,-.
Jumlah keseluruhan PPh yang telah dilunasi oleh Wajib Pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan sampai dengan saat permohonan diajukan (PPh Ps. 25 + PPh Ps. 22 + PPh Ps. 23 + PPh Ps. 24) = Rp.100.000.000,-. dari Rp. 120.000.000,- = Rp. 90.000.000,-
Karena jumlah keseluruhan PPh yang telah dilunasi (sebesar Rp. 100.000.000,-) adalah lebih besar dari pada Rp. 90.000.000,- maka oleh Kantor Pelayanan Pajak dianggap telah memenuhi syarat untuk memperoleh pembebasan PPh Pasal 25 dan atau PPh Pasal 22, serta PPh Pasal 23.
Benar :
PPh yang akan terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan berdasarkan projected income = Rp.85.000.000,-
Jumlah keseluruhan PPh yang telah dilunasi oleh wajib pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan sampai dengan saat permohonan diajukan (PPh Ps. 25 + PPh Ps. 22 + PPh Ps. 23 + PPh Ps. 24) = Rp.120.000.000,- dari Rp. 120.000.000,- adalah Rp. 90.000.000,-
Karena PPh yang akan terutang pada akhir tahun pajak (Rp. 85.000.000,-) adalah kurang dari Rp.90.000.000,-, maka telah memenuhi syarat untuk memperoleh pembebasan PPh Pasal 25 dan atau PPh Pasal 22, serta PPh Pasal 23.
5. Pada lazimnya Wajib Pajak baru dapat menyusun projected income secara lebih mendekati kebenaran apabila telah melewati semester pertama tahun pajak yang berkenaan. Dengan demikian, pada dasarnya untuk tahun pajak yang sama dengan tahun takwim, pembebasan PPh Pasal 25, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23 baru dapat diberikan mulai dengan masa bulan Juli, kecuali apabila terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan dan WP baru yang melakukan impor barang modal. Oleh karena pembebasan tersebut berkenaan dengan suatu tahun pajak, maka keputusan persetujuan juga hanya diberikan sampai akhir tahun pajak yang bersangkutan.

III.

Prosedur Permohonan dan Penerbitan SKB PPh Pasal 21, atau Pasal 22, atau Pasal 23
1. Setiap permohonan pembebasan angsuran PPh Pasal 25, pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23 harus dilampiri dengan :
a. projected income berdasarkan keadaan setelah diterima atau diperolehnya penghasilan termasuk di dalamnya obyek PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23 dimaksud,
b. daftar pihak-pihak pemberi penghasilan,
c. perincian nilai transaksi yang diperkirakan akan diterima/diperoleh, dan
d. perincian jumlah PPh Pasal 25, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang dimohon untuk dibebaskan.

2.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak supaya melakukan penelitian yang lebih seksama terhadap kewajaran projected income yang diajukan oleh Wajib Pajak dengan cara :

a.

membandingkan proyeksi rugi laba dengan penghasilan kena pajak menurut SPT Tahunan PPh tahun sebelumnya.

b.

meneliti kerugian menurut SPT Tahunan tahun-tahun sebelumnya atau menurut hasil pemeriksaan atas SPT Tahunan PPh tahun-tahun sebelumnya yang dimaksud.

c.

meneliti rincian penghasilan dan biaya-biaya bulan Januari s/d Juni dan perkiraannya untuk bulan Juli s/d Desember tahun yang bersangkutan, kecuali apabila terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan dan WP baru yang melakukan impor barang modal, meneliti rincian penghasilan dan biaya-biaya untuk bulan-bulan sebelum diajukan permohonan dan perkiraannya untuk bulan-bulan sisanya dalam tahun yang bersangkutan.

d.

meneliti dan mempertimbangkan data lain mengenai Wajib Pajak tersebut serta prospek usahanya.

e.

meneliti kebenaran pelunasan PPh yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak (yaitu SSP dan bukti-bukti pemotongan/pemungutan).

3.

Apabila berdasarkan pertimbangan tersebut di atas permohonan Wajib Pajak cukup beralasan dan dapat dikabulkan, maka yang pertama-tama diberikan adalah pengurangan atau pembebasan PPh Pasal 25 maksimal sampai dengan akhir tahun pajak, dan selanjutnya baru diberikan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23.

4.

Pembebasan PPh Pasal 25, Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 maupun PPh Pasal 23 tidak dapat berlaku surut dan diberikan hanya untuk jangka waktu maksimal sampai dengan tahun pajak yang bersangkutan. Bentuk formulir SKB dimaksud sesuai dengan contoh pada lampiran I Surat Edaran ini, dan khusus untuk SKB PPh Pasal 22 impor tetap berlaku sesuai dengan ketentuan yang ada.

5.

SKB PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada butir III.4 tidak diberlakukan untuk pembebasan dari pemotongan PPh atas bunga deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan SBI.

IV. Lain-lain
1. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak diminta agar mengawasi tertib pemberian persetujuan pembebasan angsuran PPh Pasal 25, pemotongan/ pemungutan PPh Pasal 21 PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23.
Untuk itu Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menyampaikan 1 (satu) eksemplar tembusan keputusan pembebasan PPh Pasal 25 dan SKB PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 yang dikeluarkannya kepada Kepala Kantor Wilayah masing-masing.

2.

Ketentuan ini hanya berlaku untuk penerbitan SKB PPh sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985. Adapun penerbitan SKB yang tidak berdasarkan ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985 dimaksud, misalnya pembebasan PPh terhadap Wajib Pajak Tax Holiday atau Wajib Pajak PMA/PMDN baru, tetap berlaku ketentuan yang ada.

3.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985, keputusan atas permintaan pembebasan diberikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat permintaan pembebasan, khusus menyangkut angsuran PPh Pasal 25 apabila dalam jangka waktu tersebut Kantor Pelayanan Pajak tidak memberi keputusan, maka permintaan pembebasan tersebut dianggap diterima.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima dan memenuhi syarat kelengkapan sesuai ketentuan angka III butir 1.

4.

SKB PPh Pasal 21, Pasal 22 Bendaharawan dan Pasal 23 diterbitkan dalam rangkap 4 (empat), yaitu lembar pertama untuk Wajib Pajak, lembar kedua untuk setiap pemotong/pemungut PPh Pasal 21, Pasal 22 Bendaharawan, atau PPh Pasal 23, lembar ketiga untuk Kepala Kantor Wilayah DJP yang bersangkutan dan lembar keempat untuk arsip Kantor Pelayanan Pajak. SKB lembar kedua tersebut selanjutnya wajib dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 21, SPT Masa PPh Pasal 22 Bendaharawan atau SPT Masa PPh Pasal 23/26 dari pemotong/pemungut yang bersangkutan.

5.

Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini, permohonan pembebasan PPh yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam Semester I dalam suatu tahun pajak supaya diterbitkan surat penolakannya (Lampiran II Surat Edaran ini) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima, kecuali apabila terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan, dan WP baru yang melakukan impor barang modal.

6.

Ketentuan ini berlaku sejak tanggal diterbitkannya Surat Edaran ini dan ketentuan-ketentuan penerbitan SKB yang tidak sesuai dengan ketentuan ini tidak berlaku.

Demikian agar dimaklumi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

Drs. MAR’IE MUHAMMAD

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 10/PJ.432/1992