Resources / Regulation

Peraturan Dirjen Bea dan Cukai – P 13/BC/2008

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.04/2007 tentang Audit Kepabeanan dan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.04/2008 tentang Audit Cukai, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3674);
  4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.04/2007 tentang Audit Kepabeanan;
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.04/2008 tentang Audit Cukai;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATALAKSANA AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
  2. Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
  3. Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
  4. Audit Cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.
  5. Audit adalah audit kepabeanan dan/atau audit cukai.
  6. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
  7. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
  8. Auditee adalah orang yang diaudit oleh Pejabat Bea dan Cukai .
  9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  10. Audit Umum adalah audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai.
  11. Audit Khusus adalah audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan tertentu terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai tertentu.
  12. Audit Investigasi adalah audit yang dilakukan untuk menyelidiki dugaan tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai.
  13. Tim Audit adalah tim yang diberi tugas untuk melaksanakan audit berdasarkan surat tugas atau surat perintah dari Direktur Jenderal.
  14. Daftar Temuan Sementara yang selanjutnya disingkat DTS adalah daftar yang memuat temuan dan kesimpulan sementara atas hasil pelaksanaan audit.
  15. Laporan Hasil Audit yang selanjutnya disingkat LHA adalah laporan pelaksanaan audit yang disusun oleh tim audit sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan audit.
  16. Auditor adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai auditor yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan audit.
  17. Ketua Auditor adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai Ketua Auditor Bea dan Cukai.
  18. Pengendali Teknis Audit yang selanjutnya disingkat PTA adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai PTA Bea dan Cukai.
  19. Pengawas Mutu Audit yang selanjutnya disingkat PMA adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai PMA Bea dan Cukai.
  20. Data Elektronik adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.
  21. Data Audit adalah laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
  22. Daftar Rencana Obyek Audit yang selanjutnya disingkat DROA adalah daftar yang berisi nama-nama orang yang akan diaudit beserta alasan dan rencana waktu pelaksanaan audit dalam periode tertentu.
  23. Periode DROA adalah jangka waktu dari 1 Januari s.d. 30 Juni dan dari 1 Juli s.d. 31 Desember.
  24. Nomor Penugasan Audit yang selanjutnya disingkat NPA adalah nomor yang diterbitkan oleh Direktur Audit dan berfungsi sebagai sarana pengawasan pelaksanaan audit serta menjadi dasar penerbitan surat tugas.
  25. Pekerjaan Kantor adalah pekerjaan dalam rangka audit yang dilakukan di Kantor Pejabat Bea dan Cukai.
  26. Pekerjaan Lapangan adalah pekerjaan dalam rangka audit yang dilakukan di tempat Auditee yang dapat meliputi kantor, pabrik, tempat usaha, atau tempat lain, yang diketahui ada kaitannya dengan kegiatan usaha Auditee.
  27. Sediaan Barang adalah semua barang yang terkait dengan kewajiban di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
  28. Tindakan Pengamanan adalah tindakan penyegelan yang dilakukan untuk menjamin laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai, dan barang yang penting agar tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak berpindah tempat/ruangan sampai pemeriksaan dapat dilanjutkan dan/atau dilakukan tindakan lain yang dibenarkan oleh ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai dengan tetap mempertimbangkan kelangsungan kegiatan usaha.
  29. Kertas Kerja Audit yang selanjutnya disingkat KKA adalah catatan yang dibuat oleh Tim Audit mengenai prosedur yang digunakan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh, dan kesimpulan yang didapatkan selama penugasan.
  30. Pembahasan Akhir adalah kegiatan pembahasan yang dilakukan antara Tim Audit dan Auditee atas DTS.
  31. Berita Acara Penghentian Audit yang selanjutnya disingkat BAPA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit tentang penghentian pelaksanaan pekerjaan lapangan audit.
  32. Berita Acara Hasil Audit yang selanjutnya disingkat (BAHA) adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit atas hasil pembahasan akhir hasil audit.
  33. Direktorat Audit adalah Direktorat Audit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  34. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  35. Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Pelayanan Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  36. Kantor Pengawasan dan Pelayanan adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.

BAB II
WEWENANG, TUJUAN DAN JENIS AUDIT

Pasal 2

Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit terhadap:

  1. importir;
  2. eksportir;
  3. pengusaha tempat penimbunan sementara;
  4. pengusaha tempat penimbunan berikat;
  5. pengusaha pengurusan jasa kepabeanan;
  6. pengusaha pengangkutan;
  7. pengusaha pabrik;
  8. pengusaha tempat penyimpanan;
  9. importir barang kena cukai;
  10. penyalur; dan
  11. pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai.

Pasal 3

Audit bertujuan untuk menguji kepatuhan:

  1. importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, dan/atau pengusaha pengangkutan atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan; dan/atau
  2. pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan/atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.

Pasal 4

(1) Audit terdiri dari audit umum, audit khusus dan audit investigasi.
(2) Audit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terencana atau sewaktu-waktu.
(3) Audit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sewaktu-waktu.
(4) Audit investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sewaktu-waktu dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
(5) Indikasi tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada rekomendasi Direktur Penindakan dan Penyidikan atau KepalaBidang Penindakan dan Penyidikan.
(6) Pelaksanaan audit investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus didahulukan dari audit umum dan audit khusus guna penyelesaian secepatnya.

Pasal 5

(1) Audit secara terencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan berdasarkan DROA.
(2) DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara selektif untuk periode 6 (enam) bulan berdasarkan manajemen resiko.
(3) DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sesuai Periode DROA, dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengusulkan DROA dan menyampaikannya kepada Direktur Audit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum Periode DROA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Direktur Audit melakukan penelitian terhadap usulan DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), melakukan koreksi bila diperlukan, memberikan persetujuan, dan mencantumkan NPA.
(6) Keputusan atas hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya usulan DROA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) Apabila dalam 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya usulan DROA, Direktur Audit belum memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dapat melaksanakan audit sesuai usulan DROA.

Pasal 6

(1) Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat melakukan perubahan DROA.
(2) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama mengajukan perubahan DROA kepada Direktur Audit paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum periode DROA berakhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Direktur Audit melakukan penelitian terhadap pengajuan perubahan DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), melakukan koreksi bila diperlukan, memberikan persetujuan, dan mencantumkan NPA bila diperlukan.
(4) Keputusan atas hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling lama 15 (lima belas) hari sejak diterimanya pengajuan perubahan DROA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Apabila dalam 15 (lima belas) hari sejak diterimanya pengajuan perubahan DROA, Direktur Audit belum memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat melaksanakan audit sesuai pengajuan perubahan DROA.

Pasal 7

(1) Audit secara sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dilakukan berdasarkan:

  1. perintah Direktur Jenderal;
  2. permintaan dari Direktur, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  3. permintaan instansi diluar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  4. permintaan Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
  5. informasi masyarakat.
(2) Audit sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan skala prioritas.

BAB III
TIM AUDIT

Pasal 8

Audit dilaksanakan oleh Tim Audit Direktorat Audit, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama.

Pasal 9

(1) Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terdiri dari seorang PMA, seorang PTA, seorang Ketua Auditor, dan seorang atau lebih Auditor.
(2) Dalam hal Audit Investigasi, Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan satu atau lebih Pejabat Bea dan Cukai dari Direktorat Penindakan dan Penyidikan atau Bidang Penindakan dan Penyidikan.
(3) Dalam hal dipandang perlu, susunan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat ditambah:

  1. seorang atau lebih pejabat bea dan cukai selain auditor; dan/atau
  2. seorang atau lebih pejabat instansi lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 10

(1) PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, dan/atau pejabat Bea dan Cukai dalam Tim Audit dapat diganti apabila dialihtugaskan, dianggap tidak mampu, atau atas permintaan yang bersangkutan.
(2) Jumlah Auditor dapat ditambah dalam hal volume pekerjaan dan/atau tingkat kesulitan tinggi.

BAB IV
SURAT TUGAS DAN SURAT PERINTAH

Pasal 11

(1) Audit Umum dan Audit Khusus dilaksanakan berdasarkan surat tugas yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Audit Investigasi dilaksanakan berdasarkan surat perintah yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 12

(1) Pelaksanaan audit di lapangan sesuai surat tugas atau surat perintah Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Apabila pelaksanaan audit di lapangan diperkirakan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum jangka waktu berakhir PMA harus mengajukan permohonan perpanjangan surat tugas atau surat perintah kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui permohonan perpanjangan surat tugas atau surat perintah untuk pelaksanaan audit di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan menggunakancontoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IX Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Apabila permohonan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan audit di lapangan diajukan setelah berakhirnya jangka waktu pelaksanaan audit di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka PMA harus memberikan penjelasan tertulis tentang alasan atas keterlambatan tersebut kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayahatau Kepala Kantor Pelayanan Utama.

Pasal 13

(1) Apabila terdapat penggantian atau penambahan dalam Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus menerbitkan surat tugas atau surat perintah dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XPeraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Dalam hal terdapat penggantian PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, dan/atau pejabat Bea dan Cukai, surat tugas atau surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan pembuatan Berita Acara Serah Terima Penugasan menggunakancontoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XI Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 14

Pelaksanaan audit terhadap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pada periode audit berikutnya harus dilakukan oleh Tim Audit yang berbeda.

Pasal 15

(1) Surat tugas didasarkan pada NPA.
(2) Dalam hal terjadi keterlambatan pemberian persetujuan DROA sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (7), surat tugas dapat diterbitkan sebelum ada NPA.
(3) Dalam hal audit dilaksanakan sewaktu-waktu, permintaan NPA diajukan kepada Direktur Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Direktur Audit memberikan keputusan atas permintaan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 5 (lima) hari setelah diterimanya permintaan NPA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Apabila dalam 5 (hari) hari sejak diterimanya permintaan NPA, Direktur Audit belum memberikan persetujuan, Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dapat melaksanakan audit sewaktu-waktu.
(6) NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai atau audit investigasi.

Pasal 16

(1) Surat tugas harus diterbitkan pada Periode DROA berjalan.
(2) Dalam hal Audit dilaksanakan sewaktu-waktu, surat tugas harus diterbitkan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya NPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau (2) terlewati, maka NPA tidak berlaku.

Pasal 17

(1) Dalam hal audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit maka Direktur Audit harus menyampaikan tembusan surat tugas kepada Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.
(2) Dalam hal audit dilaksanakan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama maka Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus menyampaikan tembusan surat tugas kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.

Pasal 18

(1) Setiap penerbitan surat tugas harus diikuti dengan penerbitan daftar kuesioner untuk Auditee yang diterbitkan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi oleh Auditee dan dikirim kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam amplop tertutup.
(3) Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk menilai kinerja Tim Audit dan sistem audit.

Pasal 19

(1) Dalam hal audit investigasi berdasarkan Surat Perintah Direktur Jenderal, tembusan surat perintah disampaikan kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.
(2) Dalam hal audit investigasi berdasarkan Surat Perintah Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, tembusan surat perintah disampaikan kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.

BAB V
PERIODE AUDIT

Pasal 20

(1) Periode Audit dimulai sejak akhir periode audit sebelumnya sampai dengan akhir bulan penerbitan surat tugas atau akhir bulan sebelum penerbitan surat tugas.
(2) Dalam hal Auditee belum pernah diaudit, maka periode audit dimulai sejak Auditee melakukan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai sampai dengan akhir bulan penerbitan surat tugas atau akhir bulan sebelum penerbitan surat tugas.
(3) PMA dapat mengajukan perubahan periode audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui perubahan periode audit yang diajukan oleh PMA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVI Peraturan Direktur Jenderal ini.

BAB VI
KEGIATAN AUDIT

Bagian Pertama
Perencanaan Audit

Pasal 21

Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memanggil Auditee untuk diberikan penjelasan perihal pelaksanaan audit yang akan dilaksanakan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVII Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 22

Sebelum melaksanakan audit, Tim Audit membuat perencanaan kerja audit yang dituangkan dalam Rencana Kerja Audit, dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Audit

Pasal 23

Dalam melaksanakan audit, Tim Audit berwenang:

  1. meminta data audit;
  2. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari auditee dan/atau pihak lain yang terkait;
  3. memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan data audit termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, sediaan barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting, serta melakukan pemeriksaan di tempat tersebut; dan
  4. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai.

Pasal 24

(1) Pelaksanaan audit harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat tugas atau surat perintah.
(2) Apabila pelaksanaan audit diperkirakan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum jangka waktu penyelesaian pemeriksaan berakhir PMA harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian audit kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIX Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XX Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Apabila permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian audit diajukan setelah berakhirnya jangka waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka PMA harus memberikan penjelasan tertulis tentang alasan atas keterlambatan tersebut kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.

Pasal 25

(1) Pelaksanaan audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) meliputi Pekerjaan Lapangan dan Pekerjaan Kantor.
(2) Pekerjaan Lapangan dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang terbagi dalam 2 (dua) kegiatan yaitu:

  1. penyampaian surat tugas/surat perintah dan observasi; dan
  2. pengumpulan data dan informasi.
(3) Dalam tahap penyampaian surat tugas/surat perintah dan observasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Tim Audit harus melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

  1. menyerahkan surat tugas/surat perintah, memperlihatkan tanda pengenal, dan menjelaskan tujuan pelaksanaan audit kepada Auditee atau yang mewakili.
  2. meminta Auditee atau yang mewakili untuk memberikan penjelasan tentang Struktur Pengendalian Intern (SPI) Auditee.
  3. melakukan pengujian terhadap pelaksanaan SPI guna penyempurnaan rencana kerja audit.
(4) Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Tim Audit meminta Auditee atau yang mewakili untuk menyerahkan data sesuai ruang lingkup audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXI Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 26

(1) Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b, tim audit dapat melakukan pencacahan fisik Sediaan Barang.
(2) Sebelum pelaksanaan pencacahan fisik Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim audit harus memberitahukan rencana pelaksanaannya dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Hasil pelaksanaan pencacahan fisik Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIII Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 27

(1) Untuk kepentingan pelaksanaan audit, Auditee wajib:

  1. menyerahkan data audit dan menunjukkan sediaan barangnya untuk diperiksa;
  2. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis; dan
  3. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Auditee apabila penggunaan data elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
(2) Dalam hal pimpinan Auditee tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada yang mewakilinya;
(3) Penyerahan dan pengembalian Data Audit dilakukan berdasarkan surat dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIV PeraturanDirektur Jenderal ini.
(4) Data Audit dapat berupa salinan, foto copy, dan/atau data elektronik dengan ketentuan Auditee membuat Surat Pernyataan yang ditandatangani di atas materai bahwa yang diserahkan kepada Tim Audit adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXV Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 28

(1) Batas waktu penyerahan Data Audit secara lengkap paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).
(2) Sebelum jangka waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)terlewati, Auditee dapat mengajukan permohonan perpanjangan batas waktu penyerahan data audit secara tertulis kepada Pengawas Mutu Audit.
(3) Perpanjangan batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan paling lama 3 (tiga) hari kerja dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Apabila setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau (3), Auditee belum dapat/tidak bersedia menyerahkan Data Audit secara lengkap, maka kepada Auditee yang bersangkutan diberikan Surat Peringatan I.
(5) Apabila jangka waktu Surat Peringatan I terlewati dan Auditee masih belum menyerahkan Data Audit secara lengkap, maka kepada Auditee yang bersangkutan diberikan Surat Peringatan II.
(6) Apabila jangka waktu Surat Peringatan II terlewati dan Auditee masih belum menyerahkan Data Audit secara lengkap, maka Auditee dianggap menolak membantu kelancaran audit serta dibuatkan Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf d.
(7) Batas waktu yang diberikan untuk menyerahkan Data Audit dalam Surat Peringatan adalah 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya Surat Peringatan I dan/atau Surat Peringatan II.
(8) Surat Peringatan I dan II diterbitkan dan ditandatangani oleh Pengawas Mutu Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVII Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 29

(1) Dalam hal audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai atau audit khusus lainnya yang jangka waktu penyelesaiannya singkat, batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari kerja.
(2) Dalam hal batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilewati, maka berdasarkan pertimbangan Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, tim audit membuat BAPA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 30

(1) Dalam hal audit investigasi, penyerahan data audit sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) dilakukan pada saat kedatangan tim audit.
(2) Dalam hal Auditee tidak menyerahkan data audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim audit dapat melakukan tindakan pengamanan.
(3) Dalam hal dipandang perlu, Tim Audit dapat melakukan penindakan di bidang kepabeanan dan/atau cukai berupa penegahan alat angkut, penyegelan barang dan/atau alat angkut yang diduga terkait dengan tindak pidana.
(4) Tindakan pengamanan dan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengikuti ketentuan tentang penindakan di bidang kepabeanan dan/atau cukai yang berlaku.

Pasal 31

Berkaitan dengan Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2):

  1. dalam hal Auditee atau wakilnya menolak untuk diaudit, maka Auditee atau wakilnya harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Diaudit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIX Peraturan Direktur Jenderal ini;
  2. dalam hal Auditee atau wakilnya menolak untuk menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Diaudit, Tim Audit harus membuat Berita Acara Penolakan Diaudit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXX Peraturan Direktur Jenderal ini;
  3. dalam hal Auditee atau wakilnya tidak berada di tempat, Audit tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai yang ada untuk mewakili Auditee dan mendampingi Tim Audit guna membantu kelancaran audit;
  4. dalam hal menolak membantu kelancaran audit, pegawai Auditee sebagaimana dimaksud pada huruf c harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIX Peraturan Direktur Jenderal ini; atau
  5. dalam hal pegawai Auditee menolak untuk menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada huruf d, Tim Audit harus membuat Berita Acara Penolakan Membantu Kelancaran Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXX Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 32

Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d dapat dilakukan dalam hal:

  1. Auditee atau wakilnya tidak memberi kesempatan kepada Tim Audit untuk memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan data audit termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, sediaan barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting;
  2. Auditee atau wakilnya menolak untuk diaudit sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf a dan b;
  3. Auditee atau wakilnya tidak berada ditempat pada saat dilakukan audit dan pegawai Auditee yang diminta untuk mewakili Auditee menolak membantu kelancaran audit sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf d dan e; dan/atau
  4. Tim Audit memerlukan upaya pengamanan Data Audit.

Pasal 33

(1) Dalam hal pelaksanaan pekerjaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a tidak dapat dilaksanakan, pelaksanaan audit tidak dapat dilanjutkan setelah pelaksanaan tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, atau karena alasan tertentu pelaksanaan audit tidak dapat dilanjutkan, maka berdasarkan pertimbangan Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, Tim Audit membuat BAPA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Berdasarkan BAPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun Laporan Hasil Audit.
(3) Terhadap Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkomendasikan kepada direktorat dan/atau bidang terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal, terhadap Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkomendasikan kepada instansi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 34

(1) Berdasarkan data dan informasi yang diterima dari Auditee, Tim Audit harus membuat KKA.
(2) KKA sebagaimana dimaksud ayat (1) menjadi dasar Tim Audit untuk menyusun DTS sesuai dengan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXI Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) DTS tidak diperlukan untuk audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai dan audit investigasi.

Pasal 35

(1) Tim Audit menyampaikan DTS kepada Auditee dengan menggunakan Surat Pengantar yang ditandatangani oleh Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit sesuai contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XXXII Peraturan Direktur Jenderal ini dengan disertai Lembar Pernyataan Persetujuan DTS sesuai contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XXXIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Auditee harus menanggapi DTS secara tertulis dengan cara mengisi dan menandatangani pada kolom yang telah disediakan serta mengirimkan kembali kepada Tim Audit selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Surat Pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila diperlukan, sebelum memberikan tanggapan Auditee dapat meminta penjelasan secara tertulis atas DTS.
(4) Sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlewati, Auditee dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan secara tertulis kepada Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit.
(5) Berdasarkan permohonan Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit dapat memberikan perpanjangan waktu penyampaian tanggapan.
(6) Perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya diberikan 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (6) terlewati, Auditee tetap tidak menyampaikan tanggapan, maka Auditee dianggap menyetujui seluruh DTS.

Pasal 36

(1) Berdasarkan tanggapan DTS sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2) dan ayat (6), Tim Audit melakukan pembahasan akhir yang dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya tanggapan Auditee.
(2) Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit mengundang Auditee untuk mengadakan Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Berdasarkan permohonan Auditee, Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit dapat memberikan persetujuan perubahan waktu pelaksanaan Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Perubahan waktu pelaksanaan Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Proses Pembahasan Akhir dituangkan dalam risalah Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(6) Pembahasan Akhir ditutup dengan BAHA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XXXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) Dalam hal Auditee menyetujui seluruh DTS, Lembar Pernyataan Persetujuan DTS dijadikan dasar pembuatan BAHA.
(8) Dalam hal Auditee tidak menanggapi DTS sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (7), tidak menghadiri, atau tidak melaksanakan Pembahasan Akhir maka Auditee dianggap menyetujui seluruh DTS dan dijadikan dasar pembuatan BAHA.

Pasal 37

(1) BAHA dilampiri dengan :

  1. Hasil pembahasan akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIX Peraturan Direktur Jenderal ini;
  2. Risalah Pembahasan Akhir; dan
  3. Daftar Kehadiran dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XL Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Tim Audit dan Auditee harus menandatangani BAHA beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Risalah Pembahasan Akhir dan Daftar Kehadiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari BAHA.
(4) Dalam hal Auditee menolak untuk menandatangani BAHA, maka Auditee dianggap menyetujui hasil Pembahasan Akhir dan selanjutnya BAHA hanya ditandatangani oleh Tim Audit.

Pasal 38

Hasil pembahasan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a memuat:

  1. temuan audit yang disetujui oleh Auditee;
  2. temuan audit yang dibatalkan oleh Tim Audit; dan/atau
  3. temuan audit yang dipertahankan oleh Tim Audit.

Bagian Ketiga
Pelaporan Hasil Audit

Pasal 39

(1) LHA disusun berdasarkan BAPA atau BAHA.
(2) Dalam hal audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai dan audit investigasi, LHA disusun berdasarkan BAPA atau KKA.
(3) LHA yang disusun berdasarkan BAHA dibuat dalam bentuk panjang dan bentuk pendek.
(4) LHA bentuk panjang disusun dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLI Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) LHA bentuk pendek adalah Bab I dari LHA bentuk panjang dan KKA terkait untuk pelaksanaan audit berikutnya.
(6) LHA yang disusun berdasarkan BAPA atau KKA dibuat dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) LHA disampaikan kepada :

  1. Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama; dan/atau
  2. Auditee.
(8) LHA yang disampaikan kepada Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b adalah LHA bentuk pendek.
(9) Dalam hal audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai dan audit investigasi, LHA tidak perlu disampaikan kepada Auditee.

Pasal 40

(1) LHA ditindaklanjuti oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama:

  1. dalam hal audit kepabeanan mengakibatkan temuan kekurangan pembayaran pungutan negara, dengan menerbitkan surat penetapan yang ditujukan kepada Auditee dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIII Peraturan Direktur Jenderal ini;
  2. dalam hal audit cukai mengakibatkan temuan kekurangan pembayaran pungutan negara, dengan menerbitkan surat tindak lanjut hasil audit yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama, Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai dan/atau Kepala Bidang yang melakukan penagihan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIV Peraturan Direktur Jenderal ini; dan/atau
  3. dalam hal audit tidak mengakibatkan temuan kekurangan pembayaran pungutan negara, dengan menerbitkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada pihak terkait dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Dalam hal audit dilakukan oleh Direktorat Audit:

  1. salinan surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama; dan/atau
  2. tembusan surat tindak lanjut hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
(3) Dalam hal audit dilakukan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama, salinan surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau tembusan surat tindak lanjut hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan kepada:

  1. Direktur Audit dengan dilampiri LHA bentuk panjang; dan
  2. Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.

Pasal 41

(1) Surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a ditindaklanjuti oleh Direktur Audit atau Kepala Kantor Wilayah dengan menerbitkan surat tindak lanjut hasil audit yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama dan/atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Dalam hal audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit, surat tindak lanjut hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Kantor Pengawasan dan Pelayanan dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
(3) Dalam hal surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama, surat tindak lanjut hasil audit ditujukan kepada Kepala Bidang yang melakukan penagihan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan harus menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan tindak lanjut hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pasal 40 ayat (1) huruf b kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.
(5) Kepala Bidang yang melakukan penagihan harus menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan tindak lanjut hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Pasal 40 ayat (1) huruf b kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.

Pasal 42

(1) Direktorat Audit, Kantor Wilayah, dan Kantor Pelayanan Utama harus menatausahakan hasil audit dan memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil audit.
(2) Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Utama membuat Laporan Semester Pelaksanaan Audit dan mengirimkannya kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai u.p. Direktur Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLVI Peraturan Direktur Jenderal ini.

BAB VII
PENUTUP

Pasal 43

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-12/BC/2000 tentang Tata Laksana Audit di Bidang Kepabeanan dan Cukai dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P-36/BC/2007 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 44

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 2008
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

ttd,-

ANWAR SUPRIJADI
NIP 120050332

Reading: Peraturan Dirjen Bea dan Cukai – P 13/BC/2008