Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 10/PJ.7/1996

Pemeriksaan sebagai salah satu upaya dalam penegakan hukum (law enforcement) untuk peningkatan kepatuhan Wajib Pajak perlu dipantau atau dievaluasi secara terus menerus melalui mekanisme pengawasan yang efektif dan efisien.

LP2/DKHP sebagai sarana pengawasan dapat menghasilkan masukan data untuk bahan penyusunan kebijaksanaan pemeriksaan. Untuk keperluan penyusunan informasi yang lebih lengkap dan cermat, diperlukan cakupan data yang lebih luas sehingga LP2/DKHP yang saat ini digunakan perlu dilakukan penyempurnaan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, bentuk LP2/DKHP berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.71/1992 (Seri Pemeriksaan -75) perlu disempurnakan tata letak dan penambahan atau pengurangan beberapa item, sebagai berikut:

I. PENYEMPURNAAN BEBERAPA ITEM
1. Tata cara pengisian
a. Nomor urut 1 s.d 10 berfungsi sebagai LP2 yang sebagian diisi oleh Pusat PDIP melalui program komputer sepanjang datanya tersedia dan sebagai lagi diisi oleh pemeriksa pada saat dilakukan pemeriksaan. Apabila terdapat perbedaan karena terdapat perubahan, kecuali nomor urut 2 yang tidak dapat diubah oleh pemeriksa, maka hal tersebut harus diperbaiki oleh pemeriksa dengan mencoret yang tidak benar dan mencantumkan yang benar disampingnya.
b. Nomor urut 11 s.d 21 berfungsi sebagai DKHP yang diisi dan ditandatangani oleh Ketua Kelompok setelah pemeriksaan selesai dilaksanakan (Laporan Pemeriksa Pajak telah disetujui.)
2. Alamat Wajib Pajak, maksud penambahan ini adalah bahwa pada saat dilakukan pemeriksaan, kemungkinan Wajib Pajak sudah pindah alamat. Dengan demikian dapat diketahui dan dilakukan pemutakhiran data alamat pada induk file (Master file) Wajib Pajak.
3. Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP), maksud penambahaan ini adalah untuk mengetahui apakah Wajib Pajak yang diperiksa telah dikukuhkan sebagai PKP dan apabila belum dikukuhkan, maka harus segera diberitahukan secara tertulis kepada KPP terkait untuk dikukuhkan menjadi PKP.
4. Nomor telepon, maksud penambahan ini adalah untuk mengetahui secara pasti nomor telepon yang diberikan oleh PT. Telkom, agar kelancaran komunikasi dengan Wajib Pajak menjadi lebih baik.
5. Tahun pendirian usaha, penambahan ini dimaksudkan untuk menilai relevansinya antara tahun pendirian dengan nilai Modal dan nilai Penghasilan Wajib Pajak yang diperiksa. Misalnya, suatu usaha Wajib Pajak didirikan tahun 1994 tetapi nilai penjualannya sudah mencapai ratusan milyar,hal ini perlu dikaji sehingga secara proaktif dapat mencegah terjadinya penghindaran atau pengelakan terhadap kewajiban perpajakan.
6. Pembukuan, maksud penambahan ini adalah untuk mengetahui keadaan sebenarnya sistem pembukuan yang dipakai oleh Wajib Pajak. Selain dari itu, dimaksudkan pula untuk menginventarisasi jumlah Wajib Pajak yang pembukuannya menggunakan komputer, sehingga memudahkan pemeriksa untuk menyusun program pemeriksaan di tahun-tahun berikutnya.
7. Jenis Sistem Operasi, maksud penambahan ini adalah sebagai bahan pustaka data dan referensi untuk solusi-solusi terhadap kendala-kendala yang dihadapi oleh pemeriksa apabila pemeriksaan dilaksanakan secara komputer.
8. Jenis Usaha Inti , maksud penambahan ini adalah untuk mengetahui usaha utama Wajib Pajak. Dalam praktik, jenis usaha Wajib Pajak bervariasi, tetapi terdapat satu jenis usaha utama yang menopang bisnisnya secara keseluruhan. Disamping itu informasi ini dapat dipakai sebagai indikasi adanya keterkaitan dengan usaha Wajib Pajak lain yang menggunakan bahan baku/barang dagangan dari hasil penjualan Wajib Pajak terperiksa.
9. Komponen Neraca dan Laba-Rugi, maksud penambahan ini adalah untuk bahan :
a) Analisis pemeriksaan ditahun-tahun berikutnya;
b) Pembanding dengan SPT Wajib Pajak yang tidak diperiksa, sehingga pada KLU yang sama akan tampak perbedaan antara SPT Wajib Pajak diperiksa dengan SPT Wajib Pajak yang tidak diperiksa;
c) Uji silang terhadap kebenaran pengisian DKHP itu sendiri;
d) Kriteria seleksi yang lebih relevan.
10. Pemisahan PPh Pasal 23 dan Pasal 26, maksud pemisahan ini adalah untuk merinci masing-masing koreksi hasil pemeriksaan pada pasal-pasal tersebut.
11. Koreksi Terbesar, pada DKHP sebelumnya hanya diisi sebanyak lima komponen, sedangkan pada DKHP yang baru ini harus diisi sebanyak sepuluh komponen koreksi terbesar.
Penambahan komponen koreksi ini dimaksudkan untuk memperluas cakupan data koreksi yang merupakan pustaka data dan sebagai bahan analisis di tahun-tahun berikutnya.
12. Persentase laba netto, pada DKHP yang baru ini dihilangkan, karena secara sistem (otomatis) dapat dihitung dengan adanya penambahan pada komponen Neraca dan Laba-Rugi.

II PENERBITAN, PENGISIAN DAN PENGIRIMAN KEMBALI LP2/DKHP
1. Formulir LP2/DKHP diterbitkan dalam rangkap 3 (tiga) oleh Pusat PDIP berdasarkan permintaan Direktorat Pemeriksaan Pajak dan dikirim langsung ke unit kerja pemeriksaan dengan Surat Pengantar tersendiri.
2. LP2/DKHP diisi oleh Ketua Kelompok Pemeriksa pajak pada unit kerja pemeriksa lengkap atau oleh Kepala Seksi yang menangani pemeriksaan Wajib Pajak yang bersangkutan pada unit kerja pemeriksaan sederhana, sesuai dengan petunjuk pengisian yang terlampir bersama surat edaran ini. Dalam hal LP2/DKHP telah diterima oleh Pemeriksa sebelum closing conference, maka LP2/DKHP tersebut harus diisi oleh Pemeriksa paling lambat 10 hari sejak
tanggal closing conference, maka LP2/DKHP harus diisi oleh Pemeriksa paling lambat 10 hari sejak tanggal LP2/DKHP harus diisi oleh Pemeriksa paling lambat 10 hari sejak tanggal LP2/DKHP diterima.
3. LP2/DKHP yang telah diisi kemudian didistribusikan sebagai berikut :
a. Asli dikirimkan kembali ke Direktorat Pemeriksaan Pajak dengan menggunakan Surat Pengantar dan Daftar DKHP yang ditembuskan kepada Kanwil atasannya dengan menggunakan formulir sesuai contoh pada lampiran 2 dan 2.1. Pengiriman ke Direktorat Pemeriksaan Pajak dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya untuk DKHP yang diisi pada bulan penerbitan LPP.
b. Lembar kedua digabungkan dengan LPP disimpan dalam berkas Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak.
c. Lembar ketiga disimpan untuk file pada unit kerja pemeriksaan yang bersangkutan.

III LAIN-LAIN
Dalam hal terjadi perubahan status Wajib Pajak misalnya dari Wajib Pajak biasa menjadi Wajib Pajak yang masuk bursa (Go Public) atau perubahan domisili Wajib Pajak karena perubahan alamat, maka penanganan LP2/DKHP diatur sebagai berikut :
1. LP2/DKHP diteruskan ke unit kerja pemeriksaan yang terakhir melakukan pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya. Pengiriman tersebut menggunakan Surat Pengantar biasa yang ditembuskan ke Direktorat Pemeriksaan Pajak dan Kanwil atasannya.
2. Pengisian DKHP dilakukan oleh Ketua Kelompok Pemeriksa yang menangani pemeriksaan Wajib Pajak yang bersangkutan dan pengiriman kembali DKHP yang telah diisi ke Direktorat Pemeriksaan Pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tersebut pada butir II.3 di atas.

Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.71/1992 (seri pemeriksaan-75) dinyatakan tidak berlaku.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 10/PJ.7/1996