Resources / Regulation

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 44/PJ.4/1995

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 mengenai Penyusutan atau amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta yang masih dimiliki dan digunakan pada awal Tahun Pajak 1995, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak dapat memilih dan melakukan penyusutan atau amortisasi atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta bukan bangunan yang masih dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan menggunakan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
    Perlu ditegaskan bahwa metode penyusutan atau amortisasi yang dipilih mencakup semua harta bukan bangunan, baik yang diperoleh sebelum maupun yang diperoleh sejak Tahun Pajak 1995.
    Dengan perkataan lain, tidak diperbolehkan menggunakan dua macam metode penyusutan atau amortisasi untuk harta bukan bangunan.

  2. Penyusutan atau amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta yang dimiliki sebelum awal Tahun Pajak 1995 dan masih digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang secara fiskal masih mempunyai sisa masa manfaat, dilakukan berdasarkan nilai sisa buku harta yang bersangkutan pada awal Tahun Pajak 1995.
    Atas harta yang tidak lagi digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau atas harta yang telah habis masa manfaatnya secara fiskal tidak dapat disusutkan sejak tahun 1995, maka nilai sisa buku yang masih ada atas harta tersebut dibebankan seluruhnya sebagai biaya dalam Tahun Pajak 1995.

  3. Sesuai dengan Pasal 11 dan Pasal 11a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, pada prinsipnya penghitungan penyusutan atau amortisasi dilakukan atas masing-masing harta secara individual, dan tidak dilakukan berdasarkan golongan harta sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984.
    Oleh karena itu terhadap harta baik yang masih mempunyai nilai sisa buku ataupun yang nilai sisa bukunya Rp. 0,00 atau Rp. 1,00 yang diperoleh sebelum Tahun Pajak 1995 wajib dibuat “Daftar Harta Pada awal Tahun Pajak 1995” yang terdiri dari 3 daftar harta yaitu :

    Daftar harta berwujud berupa bangunan
    Daftar harta berwujud bukan bangunan
    Daftar harta tidak berwujud

    Daftar harta tersebut memuat informasi mengenai :

    Jenis Harta
    Tahun perolehan
    Masa Manfaat maksimum
    Masa Pemakaian s/d 1994
    Sisa masa manfaat
    Golongan harta (semula)
    Harga/Nilai perolehan
    Tarif penyusutan/amortisasi
    Besarnya penyusutan atau amortisasi s/d Tahun Pajak 1994
    Nilai sisa buku awal TahunKelompok harta Pajak 1995
    Kelompok harta

Daftar harta tersebut merupakan daftar tersendiri yang terpisah dari daftar harta yang diperoleh dalam Tahun Pajak 1995 dan harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahun Pajak 1995.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengisi/membuat “Daftar Harta Pada Awal Tahun Pajak 1995” tersebut adalah mengenai :

  1. Sisa masa Manfaat pada awal Tahun Pajak 1995, jumlahnya adalah sama dengan hasil pengurangan antara “jumlah masa manfaat Maksimum sesuai golongan harta dari mana harta yang bersangkutan semula berasal” dikurangi dengan “masa/lamanya pemakaian harta yang bersangkutan yang dihitung sejak tahun perolehan s/d Tahun Pajak 1994”.
    Adapun jumlah masa manfaat maksimum untuk masing-masing harta ditentukan sebagai berikut :
    Untuk harta yang semula berasal dari harta eks Golongan 1 adalah = 4 (empat) Tahun.
    Untuk harta yang semula berasal dari harta eks Golongan 2 adalah = 8 (delapan) Tahun.
    Untuk harta yang semula berasal dari harta eks Golongan 3 adalah = 16 (enam belas) tahun,
    1. Jumlah penyusutan atau amortisasi s/d Tahun Pajak 1994 untuk masing-masing harta dihitung secara individual dengan menggunakan metode saldo menurun dan dengan tarif penyusutan atau amortisasi sesuai Golongan harta (semula) dari harta yang bersangkutan, sejak Tahun perolehan s/d Tahun pajak 1994. Khusus peralatan yang sejenis (“tools”) dapat di kelompokkan ke dalam satu group yang dapat dibuat berdasarkan tahun perolehan.
    2. Nilai sisa buku awal Tahun Pajak 1995 untuk masing-masing harta adalah sama dengan hasil pengurangan antara “Harga/Nilai Perolehan” dengan “Jumlah Penyusutan atau Amortisasi s/d Tahun Pajak 1994” untuk masing-masing harta yang bersangkutan.
    3. Kelompok harta untuk masing-masing harta ditentukan berdasarkan sisa masa manfaat pada awal Tahun Pajak 1995 dari masing-masing harta (tanpa memperhatikan jenisnya), yaitu dengan ketentuan bahwa apabila hasil penghitungan sisa masa manfaat untuk masing-masing harta sebagaimana dimaksud pada butir a diatas sama dengan :
      Sisa MasaManfaat Kelompok
      2 s/d 5 tahun 1
      7 s/d 13 tahun 2
      15 s/d 17 tahun 3
      >= 19 tahun 4

Catatan :

  1. Apabila sisa masa manfaat tinggal 1 tahun maka disusutkan sekaligus dalam tahun yang bersangkutan.
  2. Apabila sisa masa manfaat berada ditengah-tengah kelompok, misalnya 6 (enam) tahun yang berada ditengah-tengah kelompok 1 (4 tahun) dan kelompok 2 (8 tahun) maka dapat memilih masuk ke dalam kelompok 1 atau kelompok 2.
  1. Tarif penyusutan/amortisasi untuk masing-masing harta adalah sesuai dengan Pasal 11 atau Pasal 11A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, yang besarnya sesuai dengan kelompok harta yang bersangkutan dan metode penyusutan/amortisasi yang dipilih.
  1. Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 sebagaimana diuraikan dalam butir 3 diatas, maka terhadap harta bukan bangunan yang dimiliki sebelum tahun 1995 harus di hitung dan diketahui berapa nilai sisa buku awal 1995.

    Berdasarkan contoh penghitungan pada lampiran 1, daftar harta berwujud yang diperoleh sebelum Tahun Pajak 1995 yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung penyusutan sebagai berikut :

    1. Harta berwujud yang masa manfaatnya sama dengan satu tahun adalah :
      Jenis Harta Nilai Sisa Buku Keterangan
      Harta A Rp. 48.828,00 Disusutkan seluruhnya pada tahun 1995.
      Harta B Rp. 1.562.500,00
      Harta D Rp. 2.815.699,00
      Harta E Rp. 6.674.194,00
    2. Harta berwujud yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun dianggap sebagai nilai perolehan tahun pajak 1995.
      Jenis Harta Nilai Sisa Buku Kelompok Harta Keterangan
      Harta C Rp. 25.000.000,00 I Besarnya tarif penyusutan sesuai dengan metode yang dipilih, saldo menurun atau garis lurus
      Harta F Rp. 15.820.312,00 I
      Harta G Rp. 31.381.060,00 I
      Harta H Rp. 59.049.000,00 II
      Harta I Rp. 81.000.000,00 III

  1. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984, apabila terjadi penarikan harta bukan bangunan dari pemakaian karena sebab biasa, keuntungan atau kerugian karena penarikan harta tersebut tidak langsung diakui sebagai keuntungan atau kerugian dalam Tahun pajak yang bersangkutan, melainkan diakui secara bertahap melalui pengurangan dasar penyusutan dengan harga atau nilai jual harta yang bersangkutan.

Apabila Wajib Pajak pernah melakukan penarikan harta bukan bangunan dari pemakaian karena sebab biasa, maka jumlah awal yang dipakai sebagai titik tolak penghitungan penyusutan Tahun Pajak 1995 telah dipengaruhi oleh besarnya harga jual harta yang ditarik dari pemakaian, dan tidak lagi menggambarkan jumlah seluruh nilai sisa buku dari harta yang masih digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, sehingga jumlah awal Tahun Pajak 1995 tersebut masih mengandung unsur sisa keuntungan atau kerugian yang belum diperhitungkan.

Oleh karena itu untuk kepentingan penentuan dasar penyusutan Tahun Pajak 1995, perlu ditegaskan bahwa sisa keuntungan atau kerugian atas penarikan harta karena sebab biasa yang belum diperhitungkan melalui metode penyusutan sampai dengan Tahun pajak 1994 merupakan keuntungan atau kerugian tahun pajak 1995 sekaligus.

Contoh 1:
Apabila Wajib Pajak Menjual harta H (golongan III) dalam tahun 1994 dengan harga Rp. 85.000.000.00 maka perhitungannya adalah sebagai berikut :

Harga perolehan harta H tahun 1993 sebesar :

Rp. 100.000.000,00

Penyusutan tahun pajak 1993 sebesar 10%

Rp. 10.000.000,00
————————-

Nilai sisa buku awal tahun pajak 1994

Rp. 90.000.000,00

Harga jual tahun pajak 1994

Rp. 85.000.000,00
————————-

Kerugian dari penjualan harta tersebut

Rp. 5.000.000,00

Sesuai dengan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984 jumlah harga penjualan sebesar Rp. 85.000.000,00 tersebut mengurangi dasar penyusutan tahun pajak 1994, dan oleh karena itu selisih antara nilai buku fiskal dengan nilai jualnya sebesar Rp. 5.000.000,00 belum seluruhnya diperhitungkan sebagai kerugian tahun pajak 1994. Jumlah kerugian yang dibebankan sebagai biaya melalui pengurangan dasar penyusutan dalam tahun pajak 1994 adalah sebesar 10% x Rp. 5.000.000,00 atau sebesar Rp. 500.000,00 dan oleh karena itu selisih kerugian yang belum diperhitungkan dalam tahun Pajak 1994 sebesar Rp. 4.500.000,00 (Rp.5.000.000,00 – Rp. 500.000,00) dapat dibebankan sebagai biaya tahun 1995 sekaligus.

Khusus bagi Wajib Pajak yang bergerak dibidang sewa guna usaha (SGU) dengan hak opsi yang perjanjiannya ditandatangani sebelum dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1169/KMK.01/1991, yang masih memperkenankan pihak lessor untuk melakukan penyusutan atas harta bukan bangunan yang menjadi obyek perjanjian SGU dengan hak opsi, maka apabila lessee menggunakan hak opsinya, lessor dapat melakukan penyusutan atas nilai sisa buku harta bukan bangunan tersebut sekaligus dalam tahun pajak 1995, atau nilai sisa buku tersebut disusutkan sesuai dengan tarif penyusutan harta kelompok 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994.

  1. Bagi wajib Pajak yang mengalami kesulitan untuk membuat daftar harta sebagaimana dimaksud dalam butir 3, maka nilai sisa buku pada awal tahun 1995 dari masing-masing golongan harta bukan bangunan tersebut dianggap sebagai satu kesatuan dan penyusutannya mulai tahun Pajak 1995 dilakukan sebagai berikut :
a. Nilai sisa buku harta eks golongan I disusutkan selama 4 (empat) tahun;
b. Nilai sisa buku harta eks golongan II disusutkan selama 8 (delapan) tahun;
c. nilai sisa buku harta eks golongan III disusutkan selama 16 (enam belas) tahun.

Contoh 2 :
Apabila Wajib Pajak seperti pada lampiran I tidak dapat memberikan perincian tentang data masing-masing harta bukan bangunan, maka jumlah nilai sisa buku untuk masing-masing golongan harta pada awal tahun pajak 1995 berdasarkan data adalah sebagai berikut :

Harta golongan 1 :

Harta A Rp. 48.848,00
Harta B Rp. 1.562.500,00
Harta C Rp. 25.000.000,00
Jumlah Rp. 26.611.348,00

Harta golongan 2 :

Harta D Rp. 2.815.699,00
Harta E Rp. 6.674.194,00
Harta F Rp.15.820.312,00
Jumlah Rp. 25.310.205,00

Harta golongan 3 :

Harta G Rp S31.381.060,00
Harta H Rp. 59.049.000,00
Harta I Rp. 81.000.000,00
Jumlah Rp. 171.430.060,00

Oleh karena Wajib Pajak sulit untuk mengetahui perincian jumlah nilai sisa buku dari masing-masing harta pada masing-masing golongan, maka masing-masing golongan harta tersebut dianggap sebagai satu kesatuan. Dengan demikian penyusutan atas harta tersebut dilakukan berdasarkan nilai sisa buku dari masing-masing eks golongan harta sebagai satu kesatuan dengan tarif sebagai berikut :
—————————————————————————————————

Jumlah Sisa Buku Penyusutan mulai 1995

Harta (Rp) ——————————————-
Garis Lurus Saldo Menurun
——————————————————————————————————
Eks. Golongan I 26.611.348,00 25 % 50 %
Eks. Golongan II 25.310.205,00 12,5 % 25 %
Eks. Golongan III 171.430.060,00 6,25 % 12.5 %
——————————————————————————————————

Bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa penyusutan untuk masing-masing eks golongan harta, nilai sisa buku harta tersebut disusutkan seluruhnya (closed ended).

  1. Apabila dalam tahun 1995 atau sesudahnya atas harta eks golongan sebagaimana dimaksud pada angka 6 di atas terjadi pengalihan/penarikan harta dimiliki sebelum tahun 1995, maka penerimaan hasil pengalihan merupakan penghasilan, sedangkan nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai biaya.
  1. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud berupa bangunan dilakukan dengan cara yang sama atau meneruskan cara yang dipergunakan dalam tahun-tahun pajak sebelum tahun pajak 1995, yaitu dengan menggunakan metode garis lurus dengan tarif 5% dari harga nilai perolehan.(Lihat penghitungan pada lampiran II).
  1. Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, masa manfaat atas harta berupa bangunan tidak permanen ditetapkan selama 10 (sepuluh) tahun dan penyusutannya dilakukan dengan menggunakan metode garis lurus dengan tarif sebesar 10% dari harga perolehan.
  1. Contoh 3 :

    Harga perolehan bangunan tidak permanen 1982 Rp. 100.000.000,00
    Penyusutan s/d tahun 1994 =
    13 x 5% x Rp. 100.000.000,00
    Rp. 65.000.000,00
    ————————-
    Nilai sisa buku awal tahun pajak 1995 Rp. 35.000.000,00

    Oleh karena harta tersebut telah disusutkan selama 10 tahun atau lebih, maka jumlah nilai sisa buku pada awal tahun pajak 1995 disusutkan sekaligus.
    Penyusutan untuk tahun pajak 1995 adalah sebesar Rp. 35.000.000,00

  2. Apabila Wajib Pajak mempunyai bangunan tidak permanen sebelum tahun 1995 dan telah disusutkan kurang dari 10 (sepuluh) tahun, maka mulai tahun pajak 1995 bangunan tidak permanen tersebut disusutkan dengan menggunakan tarif 10% (sepuluh persen) dari nilai sisa bukunya.

    Contoh 4 :

    Harga perolehan bangunan tidak permanen tahun 1989 Rp. 100.000.000,00
    Penyusutan s/d tahun 1994 =
    5 x 5% x Rp. 100.000.000,00
    Rp. 25.000.000,00
    ————————-
    Nilai sisa buku awal tahun pajak 1995 Rp. 75.000.000,00

    Mulai tahun pajak 1995 nilai sisa buku tersebut disusutkan setiap tahun sebesar 10% dari Rp. 75.000.000,- atau sebesar Rp. 7.500.000,- setiap tahun sampai dengan tahun 2004.

Demikian untuk dilaksanakan.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

FUAD BAWAZIER
NIP. 060041162

Tembusan disampaikan kepada Yth. :
1. Sdr. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
2. Sdr. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan;
3. Sdr. Sekretaris Ditjen Pajak;
4. Sdr. Para Direktur/Kepala Pusat pada Kantor Pusat Ditjen Pajak.

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 44/PJ.4/1995