Resources / Regulation / Keputusan Dirjen Pajak

Keputusan Dirjen Pajak – KEP 08/PJ./1999

Menimbang :

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1999 tanggal 27 Mei 1999 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dipandang perlu mengatur tata cara pemberian pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688);
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1999 tanggal 27 Mei 1999 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.

Pasal 1

Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang dapat diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam hal :

  1. tanah dan bangunan digunakan untuk kegiatan sosial dan pendidikan yang semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan;
  2. kondisi tertentu tanah dan atau bangunan yang ada hubungannya dengan Wajib Pajak;
  3. hibah kepada orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah;
  4. tanah dan atau bangunan dialihkan sehubungan dengan Penggabungan Usaha (merger) yang telah memperoleh keputusan persetujuan penggabungan usaha dari Direktur Jenderal Pajak;
  5. tanah dan atau bangunan yang dimiliki oleh Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara sehubungan dengan Pembentukan Bank Mandiri;
  6. tanah dan atau bangunan sehubungan dengan lelang yang harga lelangnya lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Pasal 2

(1) Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan sosial dan pendidikan yang semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a adalah :
  1. tanah dan atau bangunan yang secara nyata tidak digunakan untuk mencari keuntungan, seperti panti asuhan, panti jompo, dan rumah yatim piatu;
  2. tanah dan atau bangunan yang secara nyata digunakan untuk pendidikan umum;
  3. tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat (IPSM) yaitu 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah tempat tidur digunakan untuk pasien yang tidak mampu dan Sisa Hasil Usaha (SHU) akan digunakan untuk reinvestasi rumah sakit dan tidak digunakan untuk investasi di luar rumah sakit.
(2) Yang dimaksud dengan kondisi tertentu tanah dan atau bangunan yang ada hubungannya dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b adalah :
  1. tanah dan atau bangunan yang dibeli Wajib Pajak dari hasil ganti rugi pembebasan tanah dan atau bangunan oleh pemerintah untuk kepentingan negara atau kepentingan umum yang jumlahnya di bawah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) dan pembelian tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak pembayaran ganti rugi;
  2. tanah dan atau bangunan yang diperoleh Wajib Pajak dari Pemerintah sebagai pengganti tanah dan atau bangunan lama yang dibebaskan oleh Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, yaitu rehabilitasi pemukiman kumuh, jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, jalur hijau, dan fasilitas ABRI, sepanjang tidak bersifat ruilslag;
  3. tanah dan atau bangunan tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta, seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus;
  4. tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah yang dibeli oleh Veteran, PNS, anggota ABRI, pensiunan PNS, purnawirawan ABRI, atau janda/duda PNS/ABRI.
(3)

Yang dimaksud dengan hibah kepada orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c adalah hibah kepada ayah/ibu dari anak kandung atau hibah kepada anak dari ayah/ibu kandung.

(4)

Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang dimiliki oleh Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara sehubungan dengan Pembentukan Bank Mandiri sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf e adalah tanah dan atau bangunan yang dimiliki oleh Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara yang haknya beralih ke Bank Mandiri.

(5)

Tanah dan atau bangunan sehubungan dengan lelang yang harga lelangnya lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf f adalah tanah dan atau bangunan yang dijual dalam rangka lelang yang harga lelangnya lebih rendah daripada NJOP PBB objek tersebut.

Pasal 3

(1) Besarnya pengurangan BPHTB ditetapkan sebesar :
  1. 50% (lima puluh persen) dari pajak yang seharusnya terutang untuk Wajib Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dan huruf b;
  2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak yang seharusnya terutang untuk Wajib Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c;
  3. 100% (seratus persen) dari pajak yang seharusnya terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d, dan e;
  4. Selisih antara BPHTB yang terutang menurut NJOP PBB dengan BPHTB terutang menurut harga lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf f.
(2)

Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 4

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, b, c dan f kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan melampirkan :
  1. foto copy Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
  2. foto copy Akta/Risalah Lelang/Surat Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim;
  3. Foto copy KTP/SIM/Paspor/Kartu Keluarga/identitas lain;
  4. Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa.
(2) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d, dan e kepada Direktur Jenderal Pajak secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan melampirkan :
  1. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan untuk dilegalisir;
  2. foto copy Keputusan Persetujuan Penggabungan Usaha (merger) dari Direktur Jenderal Pajak atau Keputusan lain yang ada hubungannya dengan Penggabungan Usaha (merger).
(3)

Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pembayaran kecuali terjadi keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.

(4)

Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Direktorat Jenderal Pajak setelah menerima permohonan pengurangan dari Wajib Pajak memberikan tanda terima.

(5)

Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan sebelum akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh Notaris/PPAT dan akta perolehan hak dimaksud hanya dapat ditandatangani setelah Wajib Pajak menunjukkan tanda terima permohonan pengurangan BPHTB dari Direktorat Jenderal Pajak beserta SSB yang telah dilegalisir.

(6) Tanda terima Surat Permohonan Pengurangan bagi kepentingan Wajib Pajak adalah sebagai berikut :
  1. Tanda terima Surat Permohonan Pengurangan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau bukti pengiriman Surat Permohonan Pengurangan melalui pos tercatat dan sejenisnya sehubungan dengan ayat (1);
  2. Tanda terima Surat Permohonan Pengurangan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sehubungan dengan ayat (2).
(7)

Atas permohonan pengurangan Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan sederhana yang hasilnya dituangkan dalam berita acara hasil pemeriksaan.

(8)

Pengurangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dianggap sebagai Surat Permohonan Pengurangan maka tidak dapat dipertimbangkan, dan untuk itu Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

Pasal 5

(1)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan keputusan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, b, c, dan f sepanjang pajak yang terutang tidak lebih besar dari Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(2)

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan keputusan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, b, c, dan f sepanjang pajak yang terutang lebih besar dari Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(3)

Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan keputusan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d dan e.

(4)

Apabila wewenang memberikan keputusan pengurangan berada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan supaya segera meneruskan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.

Pasal 6

(1)

Surat keputusan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.

(2)

Surat keputusan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang bersangkutan.

(3)

Surat keputusan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada Kepala kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan.

Pasal 7

(1)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, harus memberikan keputusan atas permohonan pengurangan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).

(2)

Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, atau menolak.

(3)

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

Pasal 8

Bentuk surat keputusan pengurangan adalah sebagaimana lampiran Keputusan ini.

Pasal 9

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-23/PJ.6/1997 tanggal 30 Desember 1997 dinyatakan tidak berlaku.

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan diJakarta
pada tanggal 28 Mei 1999
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

A. ANSHARI RITONGA

Reading: Keputusan Dirjen Pajak – KEP 08/PJ./1999