Resources / Regulation

Keputusan Menteri Keuangan – 228/KMK.05/1996

Menimbang :

Berdasarkan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, ketentuan mengenai tarif cukai, harga jual eceran dan
pelunasan cukai hasil tembakau perlu diatur lebih lanjut.

Mengingat :

  1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1995, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
  2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1995, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3613);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU.

Pasal 1

Tarif cukai untuk menghitung besarnya cukai atas hasil tembakau ditetapkan berdasarkan sistem tarif advalorum.

Pasal 2

Terhadap jenis Hasil Tembakau yang dibuat oleh Perusahaan-perusahaan hasil tembakau yang berkedudukan di dalam negeri dan untuk hasil tembakau yang diimpor ditetapkan tarif cukainya seperti tertera pada Lampiran I keputusan ini.

Pasal 3

Dalam hal sebuah perusahaan yang membuat lebih dari satu jenis hasil tembakau yang tarif cukainya berbeda-beda, maka yang dimaksud dengan Produksi Total dalam 1 (satu) Tahun Takwim pada Lampiran I keputusan ini adalah jumlah total produksi berdasarkan pemesanan pita cukai dari semua jenis hasil tembakau yang dibuat selama tahun takwim 1994 termasuk hasil tembakau untuk karyawan dan pihak ketiga, oleh satu perusahaan yang memegang satu atau lebih surat izin.

Pasal 4

(1) Pabrikan Hasil Tembakau jenis sigaret kretek (SKT, SKM, dan KLB/KLM) digolongkan berdasarkan produksi total dalam tahun takwim 1994, sebagai berikut :

Pabrikan Produksi Total
a. Besar – lebih dari 45.000 juta batang
b. Menengah Besar – lebih dari 5.000 juta batang sampai dengan 45.000 juta batang
c. Menengah – lebih dari 750 juta batang sampai dengan 5.000 juta batang
d. Kecil – 750 juta batang atau kurang
e. K-1000 – tidak lebih dari 18 juta batang
(2)

Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau K-1000 dengan produksi per tahun tidak lebih dari 18.000.000 batang berupa hasil tembakau jenis sigaret, kelobot, dan klembak menyan atau tidak lebih dari 14.400.000 batang berupa hasil tembakau berupa jenis cerutu atau tidak lebih dari 3.600.000 bungkus berupa hasil tembakau jenis tembakau iris, ditetapkan jumlah produksi maksimum per hari sebagai berikut :
Sigaret/KLM/KLB : 50.000 batang
Cerutu : 40.000 batang
TIS : 10.000 batang

(3)

Jika produksi dari Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau dengan produksi per tahun sebanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari bermacam-macam jenis hasil tembakau, maka maksimum jumlah produksi per hari yang diperkenankan dihitung dengan memperhatikan perimbangan masing-masing dari jumlah setiap jenis hasil tembakau.

Pasal 5

(1)

Pita-pita cukai dipesan oleh Pengusaha Pabrik atau Importir Hasil Tembakau dengan mengajukan dokumen pemesanan pita cukai (CK-1) sesuai contoh Lampiran II keputusan ini.

(2) Pada setiap pemesanan dengan CK-1 adalah untuk satu jenis hasil tembakau dan satu tarif cukai.
(3)

CK-1 untuk bulan April 1996 dapat diajukan untuk pemesanan pita cukai sebanyak-banyak 2 (dua) kali dari pemesanan pita cukai rata-rata tiap bulan, dihitung dari pemesanan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terakhir.

(4)

Pemesanan pita cukai sebagaimana dimaksud pada butir (1) dapat dilakukan dengan pembayaran tunai atau dengan penundaan pembayaran selama-lamanya tiga bulan sejak tanggal penerimaan atau tanggal pendaftaran CK-1 dengan mempertaruhkan jaminan bank.

(5)

Persyaratan dan jangka waktu penundaan untuk masing-masing pengusaha pabrik atau importir hasil tembakau yang mendapat penundaan cukai diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 6

(1)

Harga dasar untuk menghitung cukai hasil tembakau baik yang dibuat di Indonesia maupun diimpor adalah harga jual eceran yang diajukan oleh pengusaha pabrik atau oleh importir.

(2) Kalkulasi harga jual eceran yang diajukan oleh pengusaha pabrik atau importir merupakan bahan pertimbangan bagi Menteri untuk menetapkan harga dasar.

Pasal 7

Harga Jual Eceran sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) adalah harga pita atau harga yang tercantum pada pita cukai.

Pasal 8

Direktur Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang untuk :

a)

mengatur dan menetapkan harga jual eceran Hasil Tembakau, guna menyesuaikan harga jual eceran atau harga pita dengan harga penjualannya, agar terjadi keseimbangan produksi dan pemasaran Hasil Tembakau serta untuk menjaga persaingan yang sehat antara Pabrik Hasil Tembakau.

b)

mengatur dan menetapkan harga jual eceran minuman per batang hasil tembakau untuk masing-masing golongan pabrik dan jenis hasil tembakau, termasuk hasil tembakau yang dipergunakan untuk karyawan dan pihak ketiga.

c)

Mengatur dan menetapkan harga jual eceran (maksimum perbatang) hasil tembakau untuk pabrik K-1000, agar tidak melebihi harga eceran minimum perbatang pabrik non K-1000 golongan kecil dengan produksi sampai dengan 50 juta batang.

d)

Mengatur dan menetapkan harga jual eceran (maksimum perbatang) hasil tembakau untuk jenis SPM dengan kemasan hard pack

e)

Mengatur dan menetapkan tambahan tarif cukai hasil tembakau untuk jenis SKM dan SKT yang harga jual ecerannya mencapai atau melampaui 2 (dua) kali harga jual eceran minimum per batang yang ditetapkan, sebesar 2 %

f)

Mengatur dan menetapkan isi kemasan penjualan eceran untuk masingmasing golongan pabrik dan kenis hasil tembakau.

Pasal 9

(1) Pemberian penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 4 kepada pengusaha pabrik/importir hasil tembakau yang dalam menjual tidak melakukan kegiatan sebagai berikut :
  1. memasukkan juga barang atau uang ke dalam bungkusan atau slof, yang tidak termasuk dalam kalkulasi harga jual eceran
  2. membubuhkan tanda-tanda atau kode-kode tertentu pada bagian dalam atau bungkusan /slof dengan maksud untuk memberikan hadiah;
  3. memberikan batang dalam bentuk apapun atau uang, atas pembelian hasil tembakau dalam jumlah tertentu;
  4. memberikan barang atau uang atas penyerahan kembali dari/atau pengumpulan bungkus-bungkus bekas hasil tembakau, atau bagiannya, dengan cara apapun dan dimanapun juga;
  5. mengumumkan melalui media masa, ataupun sarana lainnya dalam segala bentuk dengan maksud menjanjikan hadiah, yang berkaitan dengan kegiatan promosi dalam penjualan tembakaunya.
(2)

Terhadap pengusaha pabrik/importir hasil tembakau yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan sanksi berupa peninjauan kembali pemberian fasilitas penundaan pembayaran atas pemesanan pita cukainya sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan dan pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 10

(1)

Pada saat mulai berlakunya keputusan ini, Kepala Kantor Isnpeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat yang mengawasi pabrik hasil tembakau, diwajibkan melakukan pencacahan (stock opname) terhadap persediaan pita cukai yang berada di pabrik-pabrik hasil tembakau.

(2)

Terhadap perusahaan hasil tembakau yang masih mempunyai persediaan pita cukai berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum ditetapkan Keputusan ini, masih diperbolehkan menggunakan/melekatkan pita cukai tersebut pada hasil tembakau produksinya.

(3)

Persediaan pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pita cukai yang dipesan sampai dengan tanggal 30 April 1996 masih diperbolehkan untuk digunakan/dilekatkan pada hasil tembakau sampai dengan tanggal 31 Mei 1996, dan diizinkan berada di peredaran bebas selambat-lambatnya sampai dengan tanggal 31 Agustus 1996.

(4)

Untuk sisa pita cukai yang masih berada di pabrik, setelah berakhirnya batas waktu yang ditetapkan pada ayat (2), pabrikan diwajibkan untuk mengembalikan sisa pita cukai tersebut, dan untuk yang ditarik dari peredaran bebas, pabrikan dapat mengajukan permohonan perusakan pita cukai ke kantor inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat.

(5)

Kepala Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat membuat rekomendasi atas pengembalian pita cukai dan permohonan perusakan pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) guna disampaikan kepada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai cq Direktur Cukai dengan perantaraan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang membawahinya.

Pasal 11

(1)

Hasil tembakau yang ditarik dari peredaran bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dan dimasukkan ke dalam Pabrik atau melalui Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat, selambat-lambatnya tanggal 15 September 1996 dapat dilakukan perusakan pita cukai dengan mendapatkan pengembalian cukai, apabila penarikannya setelah tanggal 15 September 1996 perusakan pita cukai dilakukan tanpa mendapat pengembalian cukai.

(2)

Hasil tembakau yang ditarik kembali dari peredaran bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dimasukkan ke dalam Pabrik Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat, dibuatkan Berita Acara tersendiri untuk masing-masing pabrik dan pengrimannya kembali ke Pabrik yang bersangkutan harus disertai bukti pengiriman yang dibuat oleh Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat.

Pasal 12

(1) Terhadap perusahaan hasil tembakau yang melakukan pelekatan pita cukai berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum ditetapkan keputusan ini, setelah tanggal 31 Mei 1996 dikenakan sanksi :
  1. Untuk hasil tembakau yang belum dikeluarkan dari pabrik, pita cukainya dirusak dengan tanpa memperoleh pengembalian cukai.
  2. Untuk hasil tembakau yang telah dikeluarkan dari pabrik tidak diberikan penundaan pembayaran cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
(2) Sanksi tersebut dijatuhkan kepada pengusaha hasil tembakau yang melakukan pelanggaran, terbatas untuk jumlah hasil tembakau sebagaimana dimaksud ayat (1).

Pasal 13

Keputusan ini berlaku mulai tanggal 1 April sampai dengan 30 April 1996.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan diJ a k a r t a
Pada tanggal 29 Maret 1996
MENTERI KEUANGAN

ttd.

MAR’IE MUHAMMAD

Reading: Keputusan Menteri Keuangan – 228/KMK.05/1996