Menimbang :
- bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 481/KMK.017/1999;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Mengingat :
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467);
- Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3306) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861);
- Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
- Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perbankan.
- Kekayaan Yang Diperkenankan adalah kekayaan yang diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas.
- Prinsip Syariah adalah prinsip perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan pihak lain, dalam menerima amanah dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah.
- Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi adalah produk asuransi yang memberikan hasil investasi yang sepenuhnya mengacu kepada hasil investasi pasar.
- Premi Neto adalah premi neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.
- Modal sendiri adalah jumlah modal sendiri yang tercantum dalam neraca yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
- Deposito Jaminan adalah deposito berjangka yang ditatausahakan atas nama Menteri sebagai jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.
BAB II
TINGKAT SOLVABILITAS
Bagian Kesatu
Batas Tingkat Solvabilitas
Pasal 2
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120% (seratus dua puluh per seratus) dari risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. |
(2) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), namun memiliki tingkat solvabilitas paling sedikit 100% (seratus per seratus), diberikan kesempatan melakukan penyesuaian dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). |
Pasal 3
(1) |
Risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari: |
|
|
(2) |
Jumlah dana yang diperlukan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan batas tingkat solvabilitas minimum. |
(3) |
Perhitungan besarnya risiko kerugian yang mungkin timbul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada pedoman yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. |
Bagian Kedua
Pelaporan Perhitungan Tingkat Solvabilitas dan Pengumuman Laporan Keuangan
Pasal 4
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyusun laporan keuangan non-konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. |
(2) |
Laporan keuangan non-konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk menghitung tingkat solvabilitas. |
Pasal 5
Setiap kekayaan dan kewajiban dalam bentuk dan atau dalam satuan mata uang asing harus dinyatakan dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai kurs tengah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada tanggal neraca.
Pasal 6
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan kepada Menteri: |
|
|
(2) |
Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menjalankan usaha asuransi atau reasuransi dengan Prinsip Syariah, laporan perhitungan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a harus dilengkapi dengan surat pernyataan Dewan Pengawas Syariah bahwa pengelolaan kekayaan dan kewajiban telah dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah. |
(3) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib mengumumkan neraca, perhitungan laba rugi, dan tingkat kesehatan keuangan untuk periode yang berakhir per 31 Desember serta data lainnya pada surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. |
(4) |
Neraca dan perhitungan laba rugi yang diumumkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan bagian dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen. |
(5) |
Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib disampaikan kepada Menteri paling lambat 2 (dua) minggu setelah tanggal pengumuman pada surat kabar. |
(6) |
Ketentuan mengenai bentuk serta susunan laporan perhitungan tingkat solvabilitas dan pengumuman laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 7 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. |
Bagian Ketiga
Pemenuhan Tingkat Solvabilitas
Pasal 7
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan yang disetujui oleh pemegang saham atau yang setara dengan itu dalam rangka memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas. |
(2) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib pula menyampaikan laporan perhitungan tingkat solvabilitas bulanan per akhir bulan yang dilengkapi dengan laporan perkembangan penyehatan keuangan perusahaan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. |
(3) |
Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disampaikan kepada Menteri bersamaan dengan penyampaian laporan perhitungan tingkat solvabilitas triwulan berikutnya. |
(4) |
Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat langkah-langkah penyehatan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas. |
(5) |
Langkah-langkah penyehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), paling sedikit memuat salah satu rencana sebagai berikut: |
|
|
(6) |
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) harus disesuaikan dengan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dan tidak lebih dari 6 (enam) bulan sejak tanggal penyampaian laporan perhitungan tingkat solvabilitas triwulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). |
(7) |
Menteri berwenang memerintahkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi untuk melakukan perbaikan atas rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). |
Pasal 8
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib:
- melaksanakan rencana penyehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); dan
- memenuhi tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan dalam rencana penyehatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 9
Menteri dapat memerintahkan kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi untuk melakukan pemindahan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi lainnya, dalam hal:
- Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi tidak dapat memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas dan sedang dikenai Sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha; atau
- Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi memiliki tingkat solvabilitas kurang dari 40% (empat puluh perseratus) sehingga berisiko tinggi membahayakan kepentingan tertanggung.
BAB III
KEKAYAAN YANG DIPERKENANKAN
Pasal 10
Kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi, dalam bentuk:
- investasi;
- bukan investasi.
Bagian Pertama
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Konvensional
Pasal 11
(1) |
Jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi terdiri dari: |
|
|
(2) |
Jenis kekayaan yang bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, terdiri dari: |
|
Pasal 12
(1) |
Peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 22 ayat (2) huruf b, adalah peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang terdaftar pada instansi yang berwenang atau yang telah memperoleh pengakuan internasional. |
(2) |
Dalam hal peringkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh lebih dari satu lembaga pemeringkat, maka peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. |
Pasal 13
(1) |
Penilaian atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut: |
|
|
(2) |
Penilaian atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut: |
|
Pasal 14
(1) |
Pembatasan atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut: |
|
|
(2) |
Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan batasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai seluruh jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) per tanggal neraca yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). |
(3) |
Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi memiliki penempatan investasi di luar negeri, maka jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar batasan adalah jumlah investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditambah dengan jumlah investasi di luar negeri. |
(4) |
Pembatasan atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut: |
|
Bagian Kedua
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah
Pasal 15
(1) |
Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan usaha asuransi dengan Prinsip Syariah dalam bentuk kantor cabang harus melakukan pemisahan kekayaan dan kewajiban usaha asuransi dengan Prinsip Syariah dari kekayaan dan kewajiban usaha asuransi dengan prinsip konvensional. |
(2) |
Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan usaha reasuransi dengan Prinsip Syariah dalam bentuk kantor cabang harus melakukan pemisahan kekayaan dan kewajiban usaha reasuransi dengan Prinsip Syariah dari kekayaan dan kewajiban usaha reasuransi dengan prinsip konvensional. |
(3) |
Jenis, penilaian, dan pembatasan kekayaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) mengikuti jenis, penilaian, dan pembatasan kekayaan yang berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah. |
Pasal 16
(1) | Jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah terdiri dari: |
|
|
(2) |
Jenis kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah terdiri dari: |
|
Pasal 17
(1) |
Penilaian atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah adalah sebagai berikut: |
|
|
(2) |
Penilaian atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah adalah sebagai berikut: |
|
Pasal 18
(1) |
Pembatasan atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah adalah sebagai berikut: |
|
|
(2) |
Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan batasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai seluruh jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) pertanggal neraca yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). |
(3) |
Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi memiliki penempatan investasi di luar negeri, maka jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar batasan adalah jumlah investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditambah dengan jumlah investasi di luar negeri. |
(4) |
Pembatasan atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah adalah sebagai berikut: |
|
Bagian Ketiga
Penempatan Investasi Pada Satu Pihak
Pasal 19
(1) |
Penempatan investasi pada satu pihak tidak melebihi 25% (dua puluh lima per seratus) dari jumlah investasi, kecuali penempatan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia dan surat berharga yang dijamin oleh Pemerintah atau Bank Indonesia. |
(2) |
Pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah satu perusahaan, atau sekelompok perusahaan yang memiliki hubungan afiliasi satu dengan yang lain. |
(3) |
Bagi kantor cabang Syariah dari Perusahaan Asuransi konvensional, perhitungan pembatasan penempatan investasi pada satu pihak kantor cabang dimaksud dilakukan secara terpisah dari perhitungan pembatasan penempatan pada satu pihak untuk usaha asuransi dengan prinsip konvensional. |
(4) |
Bagi kantor cabang Syariah dari Perusahaan Reasuransi konvensional, perhitungan pembatasan penempatan investasi pada satu pihak kantor cabang dimaksud dilakukan secara terpisah dari perhitungan pembatasan penempatan pada satu pihak untuk usaha reasuransi dengan prinsip konvensional. |
Bagian Keempat
Penggabungan Badan Usaha
Pasal 20
(1) |
Dalam hal terjadi penggabungan 2 (dua) atau lebih badan hukum tempat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi melakukan investasi dan jumlah investasi pada badan hukum hasil penggabungan menjadi lebih besar dari batasan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), dan atau Pasal 19 ayat (1), maka kelebihan jumlah investasi tersebut diperlakukan sebagai kekayaan yang diperkenankan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penggabungan. |
(2) |
Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menempatkan tambahan investasi pada badan hukum hasil penggabungan selama masa penyesuaian maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi tidak berlaku dan ketentuan batasan investasi mengacu pada Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), dan atau Pasal 19 ayat (1). |
Bagian Kelima
Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi
Pasal 21
(1) |
Kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi harus dipisahkan pencatatannya dengan kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari produk asuransi jiwa lainnya. |
(2) |
Penempatan atas kekayaan yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam jenis: |
|
|
(3) |
Ketentuan pembatasan penempatan kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan atau Pasal 19 ayat (1) tidak berlaku bagi penempatan kekayaan Produk Asuransi yang Dikaitkan Dengan Investasi. |
Bagian Keenam
Kekayaan di Luar Negeri
Pasal 22
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat memiliki kekayaan di luar negeri dalam bentuk investasi. |
(2) |
Kekayaan di luar negeri dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dimiliki dalam jenis: |
|
Pasal 23
(1) |
Investasi dalam bentuk saham, obligasi, dan Medium Term Notes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a dan huruf b merupakan kekayaan di luar negeri apabila emiten atau penerbit surat utang dimaksud merupakan badan hukum asing. |
(2) |
Dalam hal suatu badan hukum Indonesia menerbitkan surat utang di luar negeri melalui badan hukum asing yang khusus didirikan dalam rangka penerbitan surat utang dimaksud, maka badan hukum asing tersebut dikategorikan sebagai badan hukum Indonesia. |
Pasal 24
(1) |
Penilaian atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) adalah sebagai berikut: |
|
|
(2) |
Pembatasan atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) adalah sebagai berikut: |
|
Pasal 25
(1) |
Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional, jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) adalah nilai seluruh jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (2) per tanggal neraca yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1). |
(2) |
Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional memasarkan Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi melakukan penempatan investasi di luar negeri atas kekayaan yang bersumber dari produk dimaksud, maka jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) adalah nilai seluruh jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) kecuali huruf a dan Pasal 22 ayat (2) per tanggal neraca. |
(3) |
Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah atau kantor cabang syariah dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional, jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) adalah nilai seluruh jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (2) per tanggal neraca yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1). |
Bagian Ketujuh
Kekayaan Yang Tidak Diperkenankan
Pasal 26
Kekayaan Yang Tidak Diperkenankan meliputi:
- Kekayaan yang jenisnya tidak termasuk dalam Pasal 11, Pasal 16, dan Pasal 22 ayat (2);
- Kekayaan yang jumlahnya melebihi ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 24 ayat (2);
- Kekayaan di luar negeri dalam bentuk Kas dan Bank;
- Kekayaan yang dimiliki namun tidak dikuasai, diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir oleh pihak yang berwenang.
BAB IV
KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Unsur Kewajiban
Pasal 27
Jenis kewajiban yang harus diperhitungkan dalam penetapan tingkat solvabilitas meliputi semua jenis kewajiban kepada pemegang polis atau tertanggung dan kepada pihak lain yang menjadi kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi.
Bagian Kedua
Cadangan Teknis Asuransi Kerugian
Pasal 28
Besarnya cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan bagi jenis Asuransi Kerugian, paling sedikit sebesar:
- 10% (sepuluh per seratus) dari Premi neto untuk polis dengan masa pertanggungan tidak lebih dari 1 (satu) bulan; dan
- 40% (empat puluh per seratus) dari Premi Neto untuk polis dengan masa pertanggungan lebih dari 1 (satu) bulan.
Pasal 29
Pembentukan cadangan klaim bagi jenis Asuransi Kerugian harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- untuk cadangan atas klaim yang masih dalam proses penyelesaian, dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi, dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian penanggung ulang;
- untuk cadangan atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan (Incurred But Not Reported atau IBNR), dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan dengan menggunakan metode rasio klaim atau salah satu dari metode segitiga (triangle method), berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi, dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian penanggung ulang.
- penggunaan metode perhitungan cadangan klaim sebagaimana dimaksud dalam huruf b, harus dilakukan secara konsisten.
Bagian Ketiga
Cadangan Teknis Asuransi Jiwa
Pasal 30
(1) |
Pembentukan cadangan premi asuransi jiwa termasuk anuitas, harus menggunakan metode prospektif, dengan ketentuan besarnya cadangan premi dimaksud tidak kurang dari besarnya cadangan premi yang dihitung dengan metode prospektif premi neto dengan biaya tahun pertama yang diamortisasikan 30 0/00 (tiga puluh per seribu) dari uang pertanggungan. |
(2) |
Dalam rangka perhitungan cadangan premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tingkat bunga yang diterapkan tidak melebihi 9% (sembilan per seratus) untuk pertanggungan dalam mata uang Rupiah dan tidak melebihi 5% (lima per seratus) untuk pertanggungan dalam mata uang asing. |
(3) |
Besarnya cadangan premi asuransi jiwa untuk produk atau bagian dan produk yang memberikan manfaat berupa akumulasi dana paling sedikit sebesar akumulasi dana tersebut ditambah dengan cadangan premi untuk risiko mortalita yang dihadapi. |
(4) |
Pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan dan cadangan klaim untuk produk asuransi kecelakaan diri, asuransi kesehatan ekawarsa, dan asuransi kematian ekawarsa, harus berdasarkan metode sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30. |
Bagian Keempat
Pinjaman Subordinasi
Pasal 31
(1) |
Dalam rangka perhitungan tingkat solvabilitas, pinjaman subordinasi tidak diperlakukan sebagai unsur kewajiban apabila pinjaman tersebut memenuhi ketentuan sebagai berikut: |
|
|
(2) |
Dalam perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, harus dinyatakan bahwa: |
|
BAB V
PERIMBANGAN KEKAYAAN DENGAN KEWAJIBAN
Pasal 32
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki kekayaan dalam bentuk investasi yang telah memenuhi ketentuan mengenai jenis, penilaian, dan pembatasan kekayaan yang diperkenankan, paling sedikit sebesar jumlah cadangan teknis dan kewajiban pembayaran klaim retensi sendiri. |
(2) |
Kewajiban pembayaran klaim retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban pembayaran atas klaim yang telah disepakati tetapi belum dibayar dikurangi dengan beban klaim yang menjadi bagian dari penanggung ulang. |
Pasal 33
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menghadapi ketidaksesuaian (mismatch) antara kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang asing, dan atau ketidaksesuaian (mismatch) antara tingkat bunga kewajiban dan tingkat bunga hasil investasi (tingkat bunga umum), dapat melakukan transaksi turunan (derivative) semata-mata hanya untuk keperluan lindung nilai (hedging). |
(2) |
Transaksi turunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat dilakukan apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut: |
|
|
(3) |
Pemberitahuan rencana transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b harus paling sedikit mencakup: |
|
|
(4) |
Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak pemberitahuan diterima, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan tidak memberikan tanggapan, perusahaan asuransi dapat melakukan transaksi turunan surat berharga dimaksud. |
BAB VI
RETENSI SENDIRI
Pasal 34
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki retensi sendiri untuk setiap penutupan risiko. |
(2) |
Penetapan retensi sendiri harus didasarkan pada profil risiko yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. |
(3) |
Besarnya retensi sendiri untuk setiap risiko didasarkan pada Modal Sendiri. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. |
Pasal 35
(1) |
Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi hanya dapat memiliki Premi Neto paling banyak 300% (tiga ratus per seratus) dari modal sendiri periode berjalan. |
(2) |
Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat memiliki Premi Neto untuk asuransi kecelakaan diri, asuransi kesehatan, dan asuransi kematian ekawarsa, paling banyak 300% (tiga ratus per seratus) dari Modal Sendiri periode berjalan. |
BAB VII
DEPOSITO JAMINAN
Pasal 36
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap tahun harus menyesuaikan jumlah Deposito Jaminan sehingga jumlah Deposito Jaminan yang dimiliki memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, dengan ketentuan jumlah Deposito Jaminan minimum yang harus dimiliki adalah: |
|
|
(2) |
Jumlah modal setor minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah modal setor minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999. |
(3) |
Bagi Perusahaan Asuransi Jiwa yang memasarkan Produk Asuransi yang Dikaitkan Dengan Investasi, jumlah cadangan premi yang diperhitungkan dalam penetapan jumlah deposito minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi pula cadangan premi yang berasal dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi dimaksud. |
(4) |
Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi memiliki jumlah Deposito Jaminan kurang dari jumlah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penambahan Deposito Jaminan harus dilakukan paling lambat pada akhir Triwulan I tahun berikutnya. |
Pasal 37
(1) |
Deposito jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada Bank yang bukan afiliasi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan serta ditatausahakan atas nama Menteri untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan. |
(2) |
Penempatan Deposito Jaminan pada Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan perjanjian yang tertuang dalam bilyet Deposito Jaminan bahwa pencairan deposito dimaksud hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri atau Pejabat yang mendapat pendelegasian untuk itu. |
(3) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan salinan bilyet Deposito jaminan dan menunjukkan bilyet asli deposito dimaksud kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penempatan. |
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 38
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang memiliki kekayaan di luar negeri, kecuali kekayaan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Kas dan Bank. |
(2) |
Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi memiliki penempatan kekayaan di luar negeri dalam bentuk investasi, maka jumlah seluruh investasi dimaksud dilarang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d. |
Pasal 39
Perusahaan Asuransi yang memasarkan Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi dilarang menempatkan kekayaan yang bersumber dari produk asuransi dimaksud di luar bentuk kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2).
Pasal 40
Perusahaan asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan transaksi turunan kecuali untuk keperluan lindung nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal 41
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang mengembalikan pinjaman subordinasi atau membayar dividen kepada pemegang saham apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak terpenuhinya ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). |
(2) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang membayar dividen kepada pemegang saham apabila hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya jumlah modal disetor di bawah ketentuan modal disetor yang dipersyaratkan. |
(3) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan segala bentuk pengalihan modal kepada pemegang saham atau pihak lainnya. |
Pasal 42
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang menambah modal disetor dengan melakukan pertukaran saham (swap share) atas saham perusahaan itu sendiri yang belum pernah diterbitkan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah mendapat izin usaha sebelum berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini. |
(2) |
Penyesuaian pemenuhan ketentuan mengenai batas tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: |
|
|
(3) |
Penyesuaian pemenuhan ketentuan mengenai kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi yang berbentuk badan hukum bukan perseroan terbatas, dilakukan dengan cara pemenuhan tingkat likuiditas paling sedikit 120% (seratus dua puluh per seratus) yang berlaku sampai dengan triwulan IV tahun 2003. |
(4) |
Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyampaikan laporan tingkat likuiditas triwulanan dan tahunan bersamaan dengan penyampaian laporan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. |
(5) |
Tingkat likuiditas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah perbandingan antara kekayaan lancar yang jangka waktunya kurang dari 1 (satu) tahun, dan kewajiban lancar yang akan dibayarkan dan yang mungkin akan dibayarkan dalam jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun. |
(6) |
Ketentuan mengenai kesehatan keuangan yang berlaku bagi Perusahaan Asuransi yang berbentuk badan hukum bukan perseroan terbatas sejak Triwulan I tahun 2004 akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan tersendiri. |
Pasal 44
(1) |
Pemenuhan dan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki tingkat solvabilitas 100% atau lebih dari batas tingkat solvabilitas minimum namun masih di bawah 120% dari batas tingkat solvabilitas minimum, diberlakukan mulai akhir tahun 2004 untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah mendapat izin usaha sebelum ditetapkannya Keputusan ini. |
(2) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) paling lambat tanggal 31 Desember 2003. |
Pasal 45
Peraturan pelaksanaan dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 481/KMK.017/1999 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan ini dan belum ditetapkannya peraturan pelaksanaan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 481/KMK.017/1999 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi beserta perubahannya dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 47
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan diJakarta
pada tanggal30 September 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BOEDIONO