Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 01/PJ.42/2002

Sehubungan dengan adanya pertanyaan mengenai perlakuan Pajak Penghasilan atas pengeluaran untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maka untuk memberikan kepastian dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan, dengan ini perlu disampaikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, yang dimaksud dengan :
    Angka 1 :
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
    Angka 3 :
    Hak atas tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.

  3. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Undang-undang Pajak Penghasilan), besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi antara lain biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk antara lain pajak kecuali Pajak Penghasilan.

  4. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

  5. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.

  6. Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan antara lain diatur bahwa :
    Ayat (1) :
    Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
    Ayat (2) :
    Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.

  7. Berdasarkan Pasal 11A ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.

  8. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa :
    1. BPHTB adalah pajak yang dibayar dalam rangka dan merupakan bagian dari biaya pengeluaran untuk memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan;
    2. PBB adalah pajak yang dibayar sehubungan dengan pemilikan hak atau perolehan manfaat atas tanah dan atau pemilikan, penguasaan, atau perolehan manfaat atas bangunan, yang merupakan biaya/pengeluaran rutin setiap tahun;
    3. BPHTB atas hak atas tanah yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui amortisasi hak atas tanah sepanjang hak atas tanah tersebut dapat diamortisasi sesuai ketentuan Pasal 11A Undang-undang Pajak Penghasilan;
    4. BPHTB atas hak atas bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui penyusutan bangunan tersebut sesuai ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan;
    5. PBB atas tanah dan bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangi sekaligus sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
    6. Penegasan dimaksud pada huruf-huruf c, d, dan e di atas, berlaku atas penghasilan yang tidak berkaitan dengan penerimaan / perolehan penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan atau dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto / Norma Penghitungan Khusus.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 01/PJ.42/2002