Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 04/PJ.1013/1999

Sehubungan dengan telah disampaikannya nota ratifikasi Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda RI-Mauritius pada tanggal 20 Februari 1998, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut :

  1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) RI-Mauritius telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 1998 (Lembaran Negara Nomor 14 Tahun 1998) tanggal 12 Januari 1998. Pada tanggal 20 Februari 1998, Pemerintah RI telah menyampaikan dokumen ratifikasi dari persetujuan ini. Dengan demikian sesuai dengan Pasal 28, Persetujuan berlaku sah terhitung sejak tanggal 20 Februari 1998. Ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan mulai diberlakukan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk masing-masing negara pada atau setelah 1 Januari 1999.

  2. Dengan berlakunya Persetujuan ini, diminta perhatian Saudara akan hal-hal sebagai berikut :
    1. Persetujuan hanya berlaku bagi orang pribadi yang bertempat tinggal atau badan yang berkedudukan di kedua negara, yaitu Indonesia dan Mauritius.
    1. Pelaksanaan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, yaitu mengenai definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT), dari suatu badan atau perusahaan yang berkedudukan di Mauritius, harus tunduk kepada ketentuan Pasal 5 Persetujuan, yang antara lain mengatur bahwa :

      b.1.

      Termasuk dalam pengertian bentuk usaha tetap adalah :

      (a) suatu tempat kedudukan manajemen;
      (b) suatu cabang;
      (c) suatu kantor;
      (d) suatu pabrik;
      (e) suatu bengkel;
      (f)

      suatu gudang, dalam kaitannya penyediaan fasilitas pergudangan oleh seseorang untuk pihak lain;

      (g) suatu tanah pertanian atau perkebunan;
      (h)

      suatu tambang, sumur minyak atau gas, tempat penggalian atau tempat lain untuk pengambilan sumber daya alam;

      (i)

      suatu proyek bangunan atau konstruksi, proyek perakitan atau instalasi yang meliputi masa lebih dari 6 bulan;

      (j)

      pemberian jasa-jasa, termasuk jasa konsultan, jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia dan meliputi satu masa atau beberapa masa yang secara keseluruhan lebih dari 4 bulan dalam jangka waktu 12 bulan.

      b.2.

      Tidak termasuk pengertian BUT meliputi :

      (a)

      penggunaan fasilitas semata-mata (solely) untuk maksud menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

      (b)

      pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata (solely) dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;

      (c)

      tempat penyimpanan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan Mauritius semata-mata (solely) dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

      (d)

      pengurusan suatu tempat tetap semata-mata (solely) untuk maksud membeli barang-barang atau barang dagangan, ataupun untuk mengumpulkan keterangan untuk kepentingan perusahaan;

      (e)

      menguasai suatu tempat tetap semata-mata (solely) untuk tujuan periklanan, untuk memberikan keterangan, untuk melakukan riset ilmiah, ataupun untuk kegiatan-kegiatan yang serupa yang bersifat persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary) bagi kepentingan perusahaan;

      (f)

      menguasai suatu tempat tetap semata-mata (solely) atas kombinasi kegiatan-kegiatan yang disebutkan di sub paragraph (a) s/d (e), di samping itu penguasaan tersebut juga termasuk untuk kegiatan persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary) bagi kepentingan perusahaan.

    2. Laba usaha dari suatu BUT di Indonesia dari perusahaan yang berkedudukan di Mauritius yang dikenakan PPh di Indonesia adalah laba yang berasal dari kegiatan yang dilakukan BUT tersebut. Jadi berbeda dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU PPh 1984. Perlu ditegaskan bahwa laba setelah pajak dari BUT perusahaan Mauritius di Indonesia dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 10%.

    3. Penerapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 terhadap imbalan atas jasa yang diberikan oleh orang pribadi subjek pajak Mauritius di Indonesia dalam rangka melakukan pekerjaan bebas disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 Persetujuan, yaitu yang termasuk dalam pengertian pekerjaan bebas adalah dokter, ahli hukum, ahli teknik, arsitek, dokter gigi, akuntan dan sebagainya hanya dikenakan pajak di Indonesia apabila kegiatannya dilakukan melalui suatu tempat usaha tetap atau berada di Indonesia dalam suatu jangka waktu melebihi 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

    4. Perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari hubungan kerja perlu memperhatikan Pasal 15 Persetujuan yaitu, bahwa penghasilan sebagai karyawan yang merupakan subjek pajak Mauritius hanya dikenakan pajak di Mauritius walaupun pekerjaannya dilakukan di Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

      (i)

      dalam suatu tahun takwim karyawan tersebut berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam masa 12 bulan; dan

      (ii)

      gajinya tidak dibayar oleh pemberi kerja yang merupakan subjek pajak Indonesia; dan

      (iii)

      gajinya tidak dibebankan pada suatu BUT yang berada di Indonesia.

    5. Penghasilan sebagai anggota dewan direksi (board of directors) atau dewan komisaris suatu perusahaan dikenakan pajak di negara di mana perusahaan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan. Jadi seandainya penduduk Mauritius menjadi anggota dewan komisaris dari suatu PT PMA, gaji yang diterimanya dikenakan PPh walaupun orang tersebut hanya sekali-sekali saja datang ke Indonesia.

    6. Penghasilan dari artis, atlit akan dikenakan pajak di negara di mana kegiatan sebagai artis dan atlit tersebut, dilakukan, tetapi penghasilan dari kegiatan sebagai artis dan atlit tersebut akan dibebaskan pajak apabila kegiatan tersebut disponsori/dibiayai oleh pemerintah atau lembaga pemerintah.

    7. Penghasilan berupa pensiun atau imbalan sejenis lainnya yang diterima penduduk Mauritius dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia.

    8. Penduduk Mauritius yang melakukan kegiatan di Indonesia sebagai guru dan/atau peneliti dan kegiatan itu dilakukan di Indonesia berdasarkan permintaan universitas, akademi, sekolah atau lembaga pendidikan yang serupa serta kunjungannya ke Indonesia semata-mata untuk mengajar atau meneliti untuk masa tidak lebih dari dua tahun tidak akan dikenakan pajak di Indonesia atas penghasilan dari kegiatan mengajar dan meneliti tersebut, kecuali apabila penelitian tersebut dilaksanakan untuk kepentingan usaha orang pribadi atau badan tertentu.

    9. Penduduk Mauritius yang menjalani pendidikan dan latihan di Indonesia yang menerima pembayaran semata-mata untuk keperluan hidup dan pendidikannya saja tidak dikenakan pajak sepanjang sumber pembayaran berasal dari luar Indonesia. Selain itu dalam hal hibah, beasiswa atau pembayaran untuk biaya pendidikan diperoleh dari perusahaan Indonesia maka penduduk Mauritius tersebut berhak memperoleh pengurangan-pengurangan sebagaimana diberikan kepada subjek pajak Indonesia.

    10. Laba dari perusahaan penerbangan dan pelayaran dalam jalur lalu lintas internasional, termasuk penyewaan kontainer dan peralatan lain yang berhubungan dengan kegiatan tersebut, hanya dikenakan pajak dinegara dimana perusahaan tersebut merupakan wajib pajak dalam negeri. Disamping itu hal ini juga berlaku atas laba dari kegiatan partisipasi di suatu terminal udara atau laut dalam suatu agen internasional.

    11. Penghasilan berupa bunga, dividen dan royalti yang dibayar dari Indonesia kepada Wajib Pajak Mauritius yang berhak menikmati (beneficial owner), tarif pemotongan PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut :

      l.1.

      Dividen (Pasal 10 Persetujuan)

      (i)

      5% dari jumlah bruto dividen jika penerimanya memiliki sedikitnya 20% dari modal perusahaan yang membayar dividen;

      (ii)

      10% dari penerimaan bruto dividen dalam hal lainnya.

      l.2. Bunga (Pasal 11 Persetujuan) :
      (i)

      10% dari jumlah bruto bunga;

      (ii)

      dibebaskan dari pengenaan pajak di Indonesia jika bunga tersebut dibayar kepada pemerintah Mauritius termasuk Pemerintah Daerah dan Bank Sentralnya.

      l.3. Royalti (Pasal 12 Persetujuan) 10% dari jumlah bruto.
  3. Persetujuan ini mengatur juga mengenai pertukaran informasi antara Indonesia dengan Mauritius. Apabila Indonesia memerlukan informasi dari Mauritius yang berkaitan dengan kepentingan perpajakan di Indonesia dalam rangka penghindaran pajak berganda atau mencegah penyelundupan pajak, baik mengenai kegiatan Wajib Pajak Indonesia ataupun Wajib Pajak Mauritius, maka Indonesia berhak memperoleh informasi dimaksud dari Competent Authority Mauritius. Dengan demikian apabila Kantor Unit Pemeriksaan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak memerlukan informasi misalnya konfirmasi mengenai suatu transaksi antara Wajib Pajak Indonesia dengan Wajib Pajak Mauritius, harga suatu produk/jasa tertentu dan lain sebagainya di Mauritius, maka hendaknya segera mengajukan permintaan informasi tersebut melalui Direktorat Hubungan Perpajakan Internasional, untuk dapat diteruskan kepada pihak Mauritius.

  4. Ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Mauritius dapat dipelajari dari naskah Persetujuan terlampir. Namun, tidak berlebihan juga untuk diutarakan disini, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Mauritius, sebagaimana juga dengan Persetujuan serupa dengan Negara-negara lain, adalah suatu ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi orang atau badan yang merupakan wajib pajak kedua negara. Untuk menentukan apakah seseorang atau sebuah perusahaan adalah “wajib pajak dalam negeri” Mauritius, perlu diperoleh kepastian dari pejabat yang berwenang di Mauritius melalui Direktorat Hubungan Perpajakan Internasional.

Demikian untuk mendapat perhatian Saudara guna dilaksanakan sebagaimana mestinya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

A. ANSHARI RITONGA

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 04/PJ.1013/1999