Resources / Regulation / Surat Edaran Dirjen Pajak

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 04/PJ.7/1993

Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU PPh 1984 beserta penjelasannya dan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU PPN 1984 beserta penjelasannya diatur wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk mengatur lebih lanjut mengenai perlakuan perpajakan atas transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa. Ketentuan tersebut berkaitan pula dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh 1984.

Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Badan dapat terjadi karena pemilikan atau penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya sebanyak 25% atau lebih, atau antara beberapa badan yang 25% atau lebih sahamnya dimiliki oleh suatu badan. Sedangkan untuk Wajib Pajak Perseorangan hubungan istimewa dapat terjadi karena hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atau kesamping satu derajat.

Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Perseorangan dianggap terjadi misalnya antara ayah, ibu, anak, saudara (kandung), mertua, anak tiri dan ipar. Hubungan istimewa dimaksud dapat mengakibatkan kekurang-wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha.
Secara universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.

Kekurang wajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada :

(1)

Harga penjualan;

(2)

Harga pembelian;

(3)

Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);

(4)

Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)

(5)

Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;

(6)

Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;

(7)

Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).

Perlu disadari bahwa dengan perkembangan dunia usaha yang demikian cepat, yang sering kali bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan metode usaha baru yang semula belum dikenal dalam bidang usaha (misalnya dalam bidang keuangan dan perbankan), maka bentuk dan variasi transfer pricing dapat tidak terbatas. Namun demikian dengan pengaturan lebih lanjut ketentuan tentang transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa diharap dapat meminimalkan atau mengurangi praktek penghindaran/penyelundupan pajak dengan rekayasa transfer pricing tersebut.
Perlu ditegaskan pula bahwa Transfer Pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yangmempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas mate-riil (substance over form rule).
Untuk memudahkan bagi Saudara dalam menangani kasus-kasus Transfer Pricing atau yang mengandung indikasi adanya Transfer Pricing, di bawah ini disampaikan beberapa contoh dari kasus dimaksud beserta perlakuan perpajakannya.

(1)

Kekurang-wajaran harga penjualan

Contoh 1 :

PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang PT. A ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 160,- per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp. 200,- per unit.

Perlakuan Perpajakan :
Dalam contoh tersebut, harga pasar sebanding (comparable uncontrolled price) atas barang yang sama adalah yang dijual kepada PT. X yang tidak ada hubungan istimewa. Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp. 200,- per unit. Harga ini dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan dan/ atau pengenaan pajak. Kalau PT. A adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), ia harus menyetor kekurangan PPN-nya (dan PPn BM kalau terutang). Atas kekurangan tersebut dapat diterbitkan SKP dan PT. A tidak boleh menerbitkan faktur pajak atas kekurangan tersebut, sehingga tidak merupakan kredit pajak bagi PT. B.

Contoh 2 :

PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 160,- per unit. PT. A tidak melakukan penjualan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa.

Perlakuan Perpajakan :
Dalam contoh di atas, maka harga yang wajar adalah harga pasar atas barang yang sama (dengan barang yang diserahkan PT. A) yang terjadi antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila ditemui kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk barang yang sama (terutama karena PT. A tidak menjual kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa), maka dapat ditanggulangi dengan menerapkan harga pasar wajar dari barang yang sejenis atau serupa, yang terjadi antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Dalam hal terdapat kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk barang yang sejenis atau serupa, karena barang tersebut mempunyai spesifikasi khusus, misalnya semi finished products, maka pendekatan harga pokok plus (cost plus method) dapat digunakan untuk menentukan kewajaran harga penjualan PT. A.
Misalnya diketahui bahwa PT. A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu produksinya dari para pemasok yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi per unit adalah Rp. 150,- dan laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antar pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable mark up) adalah 40% dari harga pokok.
Dengan menerapkan metode harga pokok plus maka harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT. A kepada PT. B untuk tujuan penghitungan penghasilan kena pajak/dasar pengenaan pajak adalah Rp. 210 {Rp. 150 + (40% x Rp. 150)}.

Contoh 3 :

PT. B menjual kembali barang yang dibeli dari PT. A pada contoh 2 di atas ke pihak yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp. 250,- per unit. Laba kotor sebanding untuk penjualan barang tersebut adalah 20% dari harga jualnya.

Perlakuan Perpajakan :

(1)

Dalam menguji kewajaran harga penjualan dari PT. A ke PT. B, selain pendekatan harga pokok plus, dapat pula diterapkan pendekatan harga jual minus (sales minus/ resale price method). Dengan menerapkan metode tersebut maka harga penjualan barang PT. A ke PT. B yang wajar untuk perhitungan pajak penghasilan/dasar pengenaan pajak adalah Rp. 200,- {Rp. 250,- – (20% x Rp. 250,-)}.

(2)

Apabila ternyata terdapat kesulitan dalam memperoleh harga pasar sebanding dan juga sulit menerapkan metode harga jual minus maupun harga pokok plus maka dapat digunakan metode lainnya, misalnya dengan pendekatan tingkat laba perusahaan sebanding ( comparable profits) atau tingkat hasil investasi (return on investment) dari usaha yang sama, serupa atau sejenis. Misalkan diketahui bahwa persentase laba kotor jenis usaha yang sama dengan usaha PT. A dari data dunia bisnis adalah 30%. Selanjutnya ternyata bahwa laba kotor yang dilaporkan PT. A adalah 15%. Karena terdapat deviasi tingkat laba PT. A dari tingkat laba rata-rata tersebut di atas, maka dapat diduga bahwa ada penggeseran laba melalui penjualan dengan harga yang kurang wajar dari PT. A ke PT. B. Kalau misalnya PT. B merupakan pembeli tunggal (monopsoni) barang yang dijual PT. A tersebut, laba kotor PT. A atas barang tersebut untuk tujuan penghitungan pajak terutang harus dihitung kembali menjadi sebesar 30%.

(2)

Kekurang-wajaran harga pembelian

Contoh :
H Ltd Hongkong memiliki 25 % saham PT. B. PT. B mengimpor barang produksi H Ltd dengan harga Rp. 3.000 per unit. Produk tersebut dijual kembali kepada PT. Y (tidak ada hubungan istimewa) dengan harga Rp. 3500 per unit.

Perlakuan perpajakan :
Pada contoh tersebut di atas, pertama-tama dicari harga pasar sebanding untuk barang yang sama, sejenis atau serupa atas pembelian/impor dari pihak yang tidak ada hubungan istimewa atau antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa (sama halnya dengan kasus harga penjualan). Apabila ditemui kesulitan, maka pendekatan harga jual minus dapat diterapkan, yaitu dengan mengurangkan laba kotor (mark up) yang wajar ditambah biaya lainnya yang dikeluarkan Wajib Pajak dari harga jual barang kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila laba yang wajar diperoleh adalah Rp. 750,- maka harga yang wajar untuk perpajakan atas pembelian barang dari H Ltd di Hongkong adalah Rp. 2.750 (Rp. 3.500 – Rp.750). Harga ini merupakan dasar perhitungan harga pokok PT. B dan selisih Rp. 250 antara pembayaran utang ke H Ltd di Hongkong dengan harga pokok yang seharusnya diperhitungkan dianggap sebagai pembayaran dividen terselubung.

(3)

Kekurang-wajaran alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
Contoh :
Pusat perusahaan (Head Office) di luar negeri dari BUT di Indonesia sering mengalokasikan biaya administrasi dan umum (overhead cost) kepada BUT tersebut. Biaya yang dialokasikan tersebut antara lain adalah :

  1. Biaya training karyawan BUT di Indonesia yang diselenggarakan kantor pusat di luar negeri;
  2. Biaya perjalanan dinas direksi kantor pusat tersebut ke masing-masing BUT;
  3. Biaya administrasi/manajemen lainnya dari kantor pusat yang merupakan biaya penyelenggaraan perusahaan;
  4. Biaya riset dan pengembangan yang dikeluarkan kantor pusat.

(4)

Perlakuan perpajakan :
Alokasi biaya-biaya tersebut diatas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang diperoleh masing-masing BUT dan bukan merupakan duplikasi biaya. Biaya kantor pusat yang boleh dialokasikan kepada BUT tidak termasuk bunga atas penggunaan dana kantor pusat, kecuali untuk jenis usaha perbankan, dan royalti/sewa atas harta kantor pusat. Dalam hal berlaku perjanjian penghindaran pajak berganda maka pengalokasian biaya kantor pusat, kepada BUT adalah seperti yang diatur dalam perjanjian tersebut. Kewajaran biaya training di atas dapat diuji dengan membandingkan jumlah biaya training yang sama atau sejenis, yang diselenggarakan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Untuk biaya lainnya, maka besarnya biaya yang dapat dialokasikan dihitung berdasar faktor-faktor tertentu yang dapat mencerminkan dengan baik proporsi manfaat yang diterimanya, misalnya perbandingan jumlah peredaran.

Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
Contoh :
H Ltd di Hongkong memiliki 80% saham PT. C dengan modal yang belum disetor sebesar Rp. 200 juta. H Ltd juga memberikan pinjaman sebesar Rp. 500 juta dengan bunga 25% atau Rp. 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat yang berlaku adalah 20%.

Perlakuan perpajakan :

(a)

Penentuan kembali jumlah utang PT. C. Pinjaman sebesar Rp. 200 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT. C yang dapat diakui adalah sebesar Rp. 300 juta ( RP. 500 juta – Rp. 200 juta ).

(b)

Perhitungan Pajak Penghasilan. Bagi PT. C pengurangan biaya bunga yang dapat dibebankan adalah Rp. 60 juta (20% x Rp. 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan kena pajak. Selisih Rp. 65 juta (Rp. 125 juta – Rp. 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% atau dengan tarif sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.

(5)

Kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya
Contoh kasus Pembayaran lisensi, franchise dan royalti :

Contoh 1 :
PT. A, perusahaan komputer, memberikan lisensi kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal di negara X untuk memasarkan program komputernya dengan membayar royalti 20% dari penjualan bersih. Selain itu PT. A juga memasarkan program komputernya melalui PT. B di negara B (ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal dan membayar royalti 15% dari penjualan bersih.

Perlakuan perpajakan :
Oleh karena program komputer yang dipasarkan PT. B sama dengan yang dipasarkan PT. X, atas dasar matching transaction method untuk tujuan perpajakan maka royalti di PT. B juga harus 20%. Kalau kondisi yang sama tidak diperoleh maka perlu diadakan penyesuaian. Pendekatan demikian disebut comparable adjustable method (metode sebanding yang disesuaikan). Contoh tersebut dapat juga digunakan untuk menguji kewajaran franchise atau imbalan lain yang
serupa dengan itu.

Contoh 2 :
G GmbH Jerman, perusahaan farmasi, memiliki 50% saham PT. B (Indonesia) yang beroperasi di bidang usaha yang sama. G GmbH mensuplai bahan baku dan pembantu kepada PT. B dengan harga DM 120 per unit. Selanjutnya didapat informasi, misalnya dari SGS di Jerman, bahwa harga internasional untuk bahan tersebut adalah DM 100 per unit.

Perlakuan perpajakan :
Harga sebanding untuk bahan tersebut adalah DM 100 per unit. Untuk bahan farmasi umumnya terdapat paten atas penemuan ramuannya. Kemungkinan tidak terdapat kontrak lisensi yang ditutup antara G GmbH dengan PT. B. Kalau dalam praktek perdagangan ternyata pada umumnya terdapat imbalan royalti (tanpa diketahui berapa jumlahnya), maka jumlah sebesar DM 20 dianggap sebagai pembayaran royalti.
Di lain pihak kalau diperoleh data bahwa royalti umumnya adalah 10% dari harga, maka dapat disimpulkan bahwa royaltinya sebesar DM 10, sedang selisihnya dianggap pembagian dividen.

Contoh kasus imbalan atau jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa sejenis
lainnya :
PT. A memiliki 25% saham PT. B. PT. A memberikan bantuan teknik kepada PT. B dengan imbalan sebesar Rp. 500. Imbalan jasa yang sama dengan keadaan yang sama atau serupa adalah Rp. 250.
Perlakuan Perpajakan :
Dalam kasus di atas, maka imbalan jasa yang wajar adalah Rp 250.

Contoh kasus komisi :
PT. A memiliki 25% saham PT. B. PT. B juga merupakan distributor PT. A dengan komisi 5% dari harga jual. Disamping itu PT. B juga sebagai distributor produk perusahaan lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa dengan komisi 9%.untuk memasarkan produk PT. A, diperlukan biaya-biaya promosi dan sebagainya yang menjadi beban PT. B.

Perlakuan perpajakan :
Berdasarkan analisis fungsi, maka besarnya komisi dari PT. A sebesar 5% adalah kurang wajar karena sebagai distributor PT. B masih menanggung biaya promosi, dsb yang dapat melebihi jumlah komisinya.
Di lain pihak diketahui bahwa komisi dari pihak ketiga yang tidak dibebani biaya promosi adalah 9%.
Oleh karena itu maka komisi dari PT. B yang wajar adalah minimal sebesar 9% ditambah dengan suatu jumlah untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan.

(6)

Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham atau oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar.

Contoh :
A adalah pemegang 50% saham PT. B. Harta perusahaan PT. B berupa kendaraan, dibeli A dengan harga Rp. 10 juta. Nilai buku kendaraan tersebut adalah Rp. 10 juta. Harga pasaran kendaraan sejenis dalam keadaan yang sama adalah Rp. 30 juta.

Perlakuan perpajakan :
Oleh karena harga pasar sebanding untuk kendaraan tersebut adalah Rp. 30 juta, maka penghasilan kena pajak PT. B dikoreksi positif Rp. 20 juta (Rp. 30 juta – Rp. 10 juta). Sedangkan bagi A selisih harga Rp. 20 juta merupakan penghasilan berupa dividen yang oleh PT. B harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%.

(7)

Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang tidak mempunyai substansi usaha (letter box company).
Contoh :
PT. I Indonesia, yang mempunyai hubungan istimewa dengan H Ltd Hongkong, dua-duanya adalah anak perusahaan K di Korea. Dalam usahanya PT. I mengekspor barang yang langsung dikirim ke X di Amerika Serikat atas permintaan H Ltd Hongkong. Harga pokok barang tersebut adalah Rp. 100. PT. I Indonesia selalu menagih H Ltd dengan jumlah Rp. 110. Sedang H Ltd Hongkong menagih X Amerika Serikat. Informasi yang diperoleh dari Amerika Serikat menunjukan bahwa X membeli barang dengan harga Rp. 175. Keterangan lebih lanjut menunjukan bahwa H Ltd Hongkong hanya berupa Letter Box Company (reinvoicing center), tanpa substansi bisnis.
Perlakuan perpajakan :
Oleh karena tarif pajak perseroan di Hongkong lebih rendah dari Indonesia, maka terdapat petunjuk adanya usaha Wajib Pajak untuk mengalihkan laba kena pajak dari Indonesia ke Hongkong agar di peroleh penghematan pajak. Dengan memperhatikan fungsi (substansi bisnis) dari H Ltd, maka perantaraan transaksi demikian (untuk penghitungan pajak) dianggap tidak ada, sehingga harga jual oleh PT. I dikoreksi sebesar Rp. 65 (Rp. 175 – Rp. 110). Kalau fungsi H Ltd adalah sebagai agen yang pada umumnya mendapat laba kotor (komisi) 10%, maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan laba sebesar Rp. 75 dialokasikan sebagai berikut :
– untuk H Ltd = Rp.17,50 (10% x Rp. 175),
– untuk PT. I = Rp. 57,50 (Rp. 75 – Rp. 17,50).
– Harga jual oleh PT. I yang wajar adalah Rp. 157,50 (Rp. 175 – Rp. 17,50).
Agar supaya para pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan dengan efektif terhadap kasus Transfer Pricing, akan segera diterbitkan Petunjuk Pemeriksaan Pajak Pada Kasus Transfer Pricing. Jika dalam pelaksanaan sehari-hari Saudara menghadapi kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan pada instansi pertama, hendaknya Saudara konsultasikan dengan Kanwil setempat. Kalau dibutuhkan data pembanding dari luar negeri maka permintaan hendaknya ditujukan ke Direktorat Peraturan Perpajakan. Selanjutnya Direktorat tersebut akan melaksanakan permintaan data dimaksud ke Negara yang bersangkutan. Prosedur permintaan data dilakukan sesuai dengan ketentuan pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

Drs. MAR’IE MUHAMMAD

Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 04/PJ.7/1993