Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU PPh 1984 beserta penjelasannya dan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU PPN 1984 beserta penjelasannya diatur wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk mengatur lebih lanjut mengenai perlakuan perpajakan atas transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa. Ketentuan tersebut berkaitan pula dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh 1984.
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Badan dapat terjadi karena pemilikan atau penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya sebanyak 25% atau lebih, atau antara beberapa badan yang 25% atau lebih sahamnya dimiliki oleh suatu badan. Sedangkan untuk Wajib Pajak Perseorangan hubungan istimewa dapat terjadi karena hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atau kesamping satu derajat.
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Perseorangan dianggap terjadi misalnya antara ayah, ibu, anak, saudara (kandung), mertua, anak tiri dan ipar. Hubungan istimewa dimaksud dapat mengakibatkan kekurang-wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha.
Secara universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Kekurang wajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada :
(1) |
Harga penjualan; |
(2) |
Harga pembelian; |
(3) |
Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost); |
(4) |
Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan) |
(5) |
Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya; |
(6) |
Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar; |
(7) |
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center). |
Perlu disadari bahwa dengan perkembangan dunia usaha yang demikian cepat, yang sering kali bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan metode usaha baru yang semula belum dikenal dalam bidang usaha (misalnya dalam bidang keuangan dan perbankan), maka bentuk dan variasi transfer pricing dapat tidak terbatas. Namun demikian dengan pengaturan lebih lanjut ketentuan tentang transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa diharap dapat meminimalkan atau mengurangi praktek penghindaran/penyelundupan pajak dengan rekayasa transfer pricing tersebut.
Perlu ditegaskan pula bahwa Transfer Pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yangmempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas mate-riil (substance over form rule).
Untuk memudahkan bagi Saudara dalam menangani kasus-kasus Transfer Pricing atau yang mengandung indikasi adanya Transfer Pricing, di bawah ini disampaikan beberapa contoh dari kasus dimaksud beserta perlakuan perpajakannya.
(1) |
Kekurang-wajaran harga penjualan |
Contoh 1 : |
|
PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang PT. A ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 160,- per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp. 200,- per unit. |
|
Perlakuan Perpajakan : |
|
Contoh 2 : |
|
PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 160,- per unit. PT. A tidak melakukan penjualan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa. |
|
Perlakuan Perpajakan : |
|
Contoh 3 : |
|
PT. B menjual kembali barang yang dibeli dari PT. A pada contoh 2 di atas ke pihak yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp. 250,- per unit. Laba kotor sebanding untuk penjualan barang tersebut adalah 20% dari harga jualnya. |
|
Perlakuan Perpajakan : |
|
(1) |
Dalam menguji kewajaran harga penjualan dari PT. A ke PT. B, selain pendekatan harga pokok plus, dapat pula diterapkan pendekatan harga jual minus (sales minus/ resale price method). Dengan menerapkan metode tersebut maka harga penjualan barang PT. A ke PT. B yang wajar untuk perhitungan pajak penghasilan/dasar pengenaan pajak adalah Rp. 200,- {Rp. 250,- – (20% x Rp. 250,-)}. |
(2) |
Apabila ternyata terdapat kesulitan dalam memperoleh harga pasar sebanding dan juga sulit menerapkan metode harga jual minus maupun harga pokok plus maka dapat digunakan metode lainnya, misalnya dengan pendekatan tingkat laba perusahaan sebanding ( comparable profits) atau tingkat hasil investasi (return on investment) dari usaha yang sama, serupa atau sejenis. Misalkan diketahui bahwa persentase laba kotor jenis usaha yang sama dengan usaha PT. A dari data dunia bisnis adalah 30%. Selanjutnya ternyata bahwa laba kotor yang dilaporkan PT. A adalah 15%. Karena terdapat deviasi tingkat laba PT. A dari tingkat laba rata-rata tersebut di atas, maka dapat diduga bahwa ada penggeseran laba melalui penjualan dengan harga yang kurang wajar dari PT. A ke PT. B. Kalau misalnya PT. B merupakan pembeli tunggal (monopsoni) barang yang dijual PT. A tersebut, laba kotor PT. A atas barang tersebut untuk tujuan penghitungan pajak terutang harus dihitung kembali menjadi sebesar 30%. |
(2) |
Kekurang-wajaran harga pembelian |
Contoh : |
|
Perlakuan perpajakan : |
|
(3) |
Kekurang-wajaran alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost) Contoh : Pusat perusahaan (Head Office) di luar negeri dari BUT di Indonesia sering mengalokasikan biaya administrasi dan umum (overhead cost) kepada BUT tersebut. Biaya yang dialokasikan tersebut antara lain adalah :
|
(4) |
Perlakuan perpajakan : |
Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham |
|
Perlakuan perpajakan : |
|
(a) |
Penentuan kembali jumlah utang PT. C. Pinjaman sebesar Rp. 200 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT. C yang dapat diakui adalah sebesar Rp. 300 juta ( RP. 500 juta – Rp. 200 juta ). |
(b) |
Perhitungan Pajak Penghasilan. Bagi PT. C pengurangan biaya bunga yang dapat dibebankan adalah Rp. 60 juta (20% x Rp. 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan kena pajak. Selisih Rp. 65 juta (Rp. 125 juta – Rp. 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% atau dengan tarif sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. |
(5) |
Kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya |
Contoh 1 : |
|
Perlakuan perpajakan : |
|
Contoh 2 : |
|
Perlakuan perpajakan : |
|
Contoh kasus imbalan atau jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa sejenis |
|
Contoh kasus komisi : |
|
Perlakuan perpajakan : |
|
(6) |
Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham atau oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar. |
Contoh : |
|
Perlakuan perpajakan : |
|
(7) |
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang tidak mempunyai substansi usaha (letter box company). |
Contoh : PT. I Indonesia, yang mempunyai hubungan istimewa dengan H Ltd Hongkong, dua-duanya adalah anak perusahaan K di Korea. Dalam usahanya PT. I mengekspor barang yang langsung dikirim ke X di Amerika Serikat atas permintaan H Ltd Hongkong. Harga pokok barang tersebut adalah Rp. 100. PT. I Indonesia selalu menagih H Ltd dengan jumlah Rp. 110. Sedang H Ltd Hongkong menagih X Amerika Serikat. Informasi yang diperoleh dari Amerika Serikat menunjukan bahwa X membeli barang dengan harga Rp. 175. Keterangan lebih lanjut menunjukan bahwa H Ltd Hongkong hanya berupa Letter Box Company (reinvoicing center), tanpa substansi bisnis. |
|
Perlakuan perpajakan : Oleh karena tarif pajak perseroan di Hongkong lebih rendah dari Indonesia, maka terdapat petunjuk adanya usaha Wajib Pajak untuk mengalihkan laba kena pajak dari Indonesia ke Hongkong agar di peroleh penghematan pajak. Dengan memperhatikan fungsi (substansi bisnis) dari H Ltd, maka perantaraan transaksi demikian (untuk penghitungan pajak) dianggap tidak ada, sehingga harga jual oleh PT. I dikoreksi sebesar Rp. 65 (Rp. 175 – Rp. 110). Kalau fungsi H Ltd adalah sebagai agen yang pada umumnya mendapat laba kotor (komisi) 10%, maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan laba sebesar Rp. 75 dialokasikan sebagai berikut : – untuk H Ltd = Rp.17,50 (10% x Rp. 175), – untuk PT. I = Rp. 57,50 (Rp. 75 – Rp. 17,50). – Harga jual oleh PT. I yang wajar adalah Rp. 157,50 (Rp. 175 – Rp. 17,50). Agar supaya para pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan dengan efektif terhadap kasus Transfer Pricing, akan segera diterbitkan Petunjuk Pemeriksaan Pajak Pada Kasus Transfer Pricing. Jika dalam pelaksanaan sehari-hari Saudara menghadapi kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan pada instansi pertama, hendaknya Saudara konsultasikan dengan Kanwil setempat. Kalau dibutuhkan data pembanding dari luar negeri maka permintaan hendaknya ditujukan ke Direktorat Peraturan Perpajakan. Selanjutnya Direktorat tersebut akan melaksanakan permintaan data dimaksud ke Negara yang bersangkutan. Prosedur permintaan data dilakukan sesuai dengan ketentuan pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. |
Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
Drs. MAR’IE MUHAMMAD