Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang PPh 1984 besarnya penghasilan kena pajak ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya atau imbalan yang dibayarkan atas pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan berupa antara lain upah, gaji, bonus, gratifikasi dan jasa produksi. Berkenaan dengan timbulnya salah pengertian dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan atas pembayaran Bonus, Gratifikasi, Jasa Produksi dan Tantiem, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
-
Pembayaran Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi kepada karyawan perusahaan termasuk dalam pengertian biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh 1984, sehingga dalam menghitung penghasilan kena pajak pembayaran Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi kepada karyawan tersebut dapat mengurangi penghasilan bruto.
-
Apabila Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi yang dibayarkan kepada karyawan maupun Direksi dan Komisaris dibebankan kepada Retained Earning maka pembayaran tersebut merupakan penggunaan Retained Earning, sehingga bukan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh 1984.
Dengan demikian pembayaran Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi semacam ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung penghasilan kena pajak. -
Tantiem merupakan bagian keuntungan yang diberikan kepada Direksi dan Komisaris oleh pemegang saham yang didasarkan pada suatu prosentase/jumlah tertentu dari laba perusahaan setelah kena pajak. Oleh karena itu pemberian Tantiem tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dan bagi si penerimanya merupakan penghasilan sehingga dikenakan pemotongan PPh Pasal 21.
-
Pembayaran gaji yang melebihi kewajaran, bonus, jasa produksi dan gratifikasi yang dibayarkan kepada pemegang saham yang juga menjadi Komisaris, Direksi atau Pegawai merupakan pembagian laba yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.
Pembayaran-pembayaran kepada pemegang saham tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf g merupakan dividen, sehingga dipotong PPh sesuai dengan Pasal 23/26 UU PPh 1984.
Dengan penegasan ini, maka ketentuan yang sudah ada yang bertentangan dengan Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
Drs. MAR’IE MUHAMMAD