Agar terdapat kepastian dalam perlakuan perpajakan atas pemindahtanganan harta baik antar perseorangan, antara perseorangan dengan badan usaha maupun antar badan usaha, dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut :
- Pemindahtanganan harta dapat dilakukan dalam bentuk :
– penjualan,
– pengalihan/tukar menukar,
– hibah,
– warisan dan
– penyertaan dalam bentuk harta (inbreng atau in-kind perticipation). -
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta sesungguhnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (selanjutnya disebut UU PPh 1984) yaitu dalam :
– Pasal 4 ayat (1) huruf d,
– Pasal 4 ayat (3) huruf a, b, e dan f,
– Pasal 6 ayat (1) huruf d,
– Pasal 9 ayat (1) huruf f,
– Pasal 10 ayat (1),
– Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8),
serta dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985.
Oleh karena itu Surat Edaran ini merupakan penegasan dan penjelasan atas ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut di atas. - Keuntungan karena pemindahtanganan harta termasuk obyek PPh.
3.1 Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 diatur bahwa yang menjadi obyek Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak, dengan nama dan dalam bentuk apapun, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia (broad income concept dan world-wide income concept).
Walaupun demikian, dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh 1984 diatur jenis-jenis penghasilan yang tidak termasuk sebagai obyek Pajak Penghasilan.3.2 Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 diatur bahwa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likwidasi, adalah obyek Pajak Penghasilan.
3.3 Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 1984 diatur bahwa keuntungan karena pengalihan harta dari orang pribadi, anggota firma, anggota perseroan komanditer atau kongsi kepada perseroan terbatas di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya tidak termasuk sebagai obyek PPh sepanjang memenuhi syarat : 3.3.1 pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor; 3.3.2 pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak; 3.3.3 pengenaan pajak di kemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin. Ketiga persyaratan tersebut bersifat kumulatif, dan penilaian harta yang dipindahtangankan itu harus mengikuti ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a UU PPh 1984 (lihat contoh 8). 3.4 Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh 1984 diatur, bahwa harta yang diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal tidak termasuk obyek PPh, dengan syarat dasar penilaiannya harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b UU PPh 1984.
3.5 Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh 1984 diatur bahwa pemindahtanganan harta karena hibah atau bantuan yang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan dari pihak yang bersangkutan, dan warisan, tidak termasuk obyek PPh bagi penerimanya, dan bagi pemberinya (sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh 1984) harta yang dihibahkan, bantuan dan warisan dimaksud tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak.
Bagi penerimanya, sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984, dasar penilaian harta yang diperoleh dari hibah, bantuan atau warisan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang menyerahkan. - Kerugian karena pemindahtanganan harta yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan merupakan biaya.
4.1 Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 diatur bahwa kerugian yang diderita karena penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan besarnya penghasilan kena pajak. Dalam ketentuan tersebut jelas bahwa tidak semua kerugian karena pemindahtanganan harta boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan penghasilan kena pajak, melainkan hanya terbatas pada kerugian dari pemindahtanganan harta yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan saja. 4.2 Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh 1984 ditentukan bahwa harta yang dihibahkan, diberikan sebagai bantuan/sumbangan dan diwariskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh 1984, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak.
- Penyusutan/amortisasi sebagai akibat pemindahtanganan harta.
5.1 Dalam Pasal 11 UU PPh 1984 diatur mengenai penyusutan dan amortisasi.
UU PPh 1984 menganut dua metode penyusutan, yaitu :- metode menurun secara berimbang (declining balance) untuk harta Golongan 1, Golongan 2 dan Golongan 3; dan
- metode garis lurus (straight line) untuk golongan bangunan. Sedangkan mengenai amortisasi dianut dua metode, yaitu :
- metode menurun secara berimbang dengan tarif sesuai dengan tarif penyusutan harta Golongan 1, atau Golongan 2 atau Golongan 3, sesuai dengan masa manfaat harta tak berwujud yang bersangkutan; dan
- metode satuan produksi, terbatas atas biaya untuk memperoleh hak penambangan dan hak pengusahaan hutan.
5.2 Dengan adanya pemindahtanganan harta, maka terjadi perubahan besarnya dasar penyusutan setiap golongan harta sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) UU PPh 1984. Ketentuan yang berkaitan dengan perlakuan PPh atas keuntungan/kerugian pemindahtanganan harta ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (1) UU PPh 1984 kalimat ke dua, yang berbunyi: “Keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta yang dapat disusutkan harus dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf b.”
5.3 Pasal 11 ayat (7) UU PPh 1984 hanya mengatur perlakuan PPh mengenai penarikan harta dari pemakaian atas harta yang dapat disusutkan dengan metode menurun secara berimbang. Dalam pasal tersebut tidak diatur perlakuan PPh atas keuntungan atau kerugian dari pemindahtanganan harta tidak berwujud dan pemindahtanganan harta yang disusutkan dengan metode garis lurus (golongan bangunan). Penyusutan/amortisasi karena penarikan harta Golongan Bangunan dan harta tidak berwujud diatur dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985.
5.4 Dalam Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8) UU PPh 1984 diatur bahwa penarikan harta dari
pemakaian dibedakan dalam 2 (dua) sebab, yaitu :5.4.1 Karena sebab luar biasa : - karena bencana;
- karena perusahaan menghentikan sebagian besar usahanya karena sebab-sebab di luar kekuasaan perusahaan (lihat juga penjelasan Pasal 11 ayat (7) UU PPh 1984), misalnya karena peraturan pemerintah.
5.4.2 Karena sebab biasa, yaitu sebab-sebab selain sebab luar biasa, misalnya karena dijual atau ditukar dengan harta lain. 5.5 Penghitungan keuntungan atau kerugian karena pemindahtanganan harta diatur menjadi satu dengan metode penyusutannya, sebagai berikut : 5.5.1 Karena sebab luar biasa :
Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian karena sebab luar biasa, maka untuk memperoleh dasar penyusutan, suatu jumlah sebesar harga sisa buku dikurangkan dari jumlah awal, dan jumlah sebesar harga sisa buku itu merupakan kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan, sedangkan hasil penjualan atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan (Pasal 11 ayat (7) huruf a UU PPh 1984). Selanjutnya lihat contoh 1 dan 2.5.5.2 Karena sebab biasa :
Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian karena sebab biasa, maka untuk memperoleh dasar penyusutan, penerimaan netto dari (pemindahtanganan) harta yang bersangkutan dikurangkan dari jumlah awal (Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984). Jika pengurangan dimaksud dalam suatu tahun pajak menghasilkan dasar penyusutan di bawah nol, maka dasar penyusutan itu harus dinaikkan menjadi nol, dan jumlah yang sama dengan kenaikan itu harus ditambahkan pada penghasilan dalam tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 11 ayat (8) UU PPh 1984). Selanjutnya lihat contoh 3, 4, 5, dan 6.5.6 Mengenai pemindahtanganan harta Golongan Bangunan, perlakuan pajaknya diatur dalam Pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985, yaitu bahwa apabila terjadi penarikan harta Golongan Bangunan dari pemakaian, baik karena sebab biasa maupun karena sebab luar biasa, maka untuk memperoleh dasar penyusutan, harga perolehan dikurangkan dari jumlah awal Golongan Bangunan. Jumlah sebesar harga sisa bukunya dibebankan sebagai biaya pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut, dan jumlah sebesar nilai jual atau harga jual atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan (lihat contoh 7).
5.7 Mengenai pemindahtanganan harta tak berwujud, perlakuan pajaknya diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985. Apabila terjadi penarikan harta tak berwujud dari pemakaian, baik karena sebab biasa maupun karena sebab luar biasa, maka untuk memperoleh dasar amortisasi, jumlah sebesar harga sisa buku dari harta tak berwujud dikurangkan dari jumlah awal dan jumlah yang dikurangkan tersebut dibebankan sebagai biaya dalam tahun terjadinya penarikan. Jumlah sebesar nilai penggantian atau harga penggantian atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan.
5.8 Dalam Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985 diatur bahwa apabila terjadi penarikan harta berwujud dari pemakaian karena dihibahkan, disumbangkan, atau diwariskan kepada pihak lain, maka dasar penyusutan dihitung sebagai berikut : 5.8.1 Untuk harta golongan bukan bangunan, jumlah sebesar harga sisa buku dari harta yang dihibahkan, disumbangkan atau diwariskan tersebut, dikurangkan dari jumlah awal masing-masing golongan harta yang bersangkutan. Jumlah sebesar harga sisa buku tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya; 5.8.2 Untuk harta Golongan Bangunan, jumlah sebesar harga perolehan dari bangunan yang dihibahkan, disumbangkan atau diwariskan tersebut dikurangkan dari jumlah awal Golongan Bangunan. Jumlah sebesar harga sisa bukunya tidak boleh dikurangkan sebagai biaya. - Dasar penilaian harta.
6.1 Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta tidak dapat dipisahkan dari ketentuan mengenai penilaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984.
Ketentuan umumnya adalah bahwa dalam melakukan penyusutan atau amortisasi terhadap harta dan penghitungan keuntungan atau kerugian dalam hal penjualan yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga perolehannya adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan, sedangkan dalam hal pengalihan harta nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan.6.2 Dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 1984 (lihat butir 3.3.), dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya yang diterima oleh pihak yang mengalihkan adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan tersebut. Perlu ditambahkan, apabila dikemudian hari saham atau bukti penyertaan lainnya tersebut dijual atau dialihkan, maka keuntungannya adalah obyek PPh sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984.
6.3 Dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh 1984, dasar penilaian harta bagi yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan. Perlu ditambahkan bahwa apabila di kemudian hari harta tersebut dijual atau dialihkan, maka keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta tersebut oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya adalah obyek PPh sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984.
6.4 Yang dimaksud dengan nilai menurut pembukuan sebagaimana dikemukakan diatas adalah harga sisa buku sesuai dengan penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984.
6.5 Penilaian harta yang diterima karena hibah, sumbangan atau warisan, bagi penerimanya diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 yang berbunyi : “dalam hal penyerahan harta hibahan, pemberian bantuan yang bebas pajak, dan warisan, dasar penilaian yang digunakan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang melakukan penyerahan.”
Dalam memori penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 antara lain dijelaskan bahwa dalam hal harta tersebut adalah harta yang boleh disusutkan maka nilai perolehan bagi yang menerima hibah, sumbangan, atau warisan adalah harga sisa buku harta tersebut pada saat dialihkan. Sedangkan bila harta tersebut adalah harta yang tidak boleh disusutkan (misalnya tanah, saham), maka nilai yang dimaksud adalah nilai perolehan dari pihak yang memberi hibah, sumbangan, atau warisan.
Nilai perolehan bagi penerima dimaksud merupakan jumlah awal dasar penyusutan apabila harta tersebut dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. - Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta oleh Wajib Pajak yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan.
7.1 Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU PPh 1984 Wajib Pajak yang peredaran brutonya tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, dan mereka tidak wajib menyelenggarakan pembukuan melainkan hanya wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran atau penerimaan brutonya saja. 7.2 Wajib Pajak yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, tidak perlu melakukan pencatatan mengenai penyusutan atas harta yang dimiliki dan dipergunakan dalam usaha.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984, maka keuntungan penjualan/pengalihan harta adalah sebesar selisih lebih antara harga jual/nilai pengalihan dikurangi dengan harga sisa buku dari harta tersebut pada saat penjualan. Harga sisa buku dihitung dari harga perolehan dikurangi akumulasi penyusutannya sesuai dengan penggolongan harta sebagaimana dimaksud Pasal 11 UU PPh 1984. -
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta yang tidak boleh disusutkan.
Harta yang tidak boleh disusutkan adalah tanah, saham dan harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Pasal 11 ayat (1) UU PPh 1984 menyebutkan bahwa tanah tidak dapat disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan (misalnya tanah yang dipergunakan sebagai bahan untuk membuat semen, genteng, batu bata).
Dengan demikian dalam hal terjadi pemindahtanganan harta yang tidak boleh disusutkan, keuntungan yang diterima atau diperoleh adalah selisih antara harga pengalihan dengan harga perolehan.
Ketentuan ini berlaku terhadap Wajib Pajak, baik yang wajib melakukan pembukuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, maupun yang penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU PPh 1984. -
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan oleh Wajib Pajak Perseorangan.
Dalam hal pemindahtanganan harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak Perseorangan dan harta tersebut tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, maka pengenaan pajak atas keuntungan, yaitu selisih antara harga pengalihan dengan harga perolehan, dilakukan dengan menerapkan tarif efektif rata-rata (TER) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42Tahun 1985.
Untuk menentukan harga perolehan pada saat penjualan, maka harga perolehan pada tahun pembelian dikalikan dengan faktor penyesuaian yang setiap tahun ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985. -
Perlakuan PPh atas pertukaran saham dengan saham.
Pertukaran saham dengan saham dapat dilakukan antara perseroan biasa (unlisted company) dengan perseroan publik (listed company), atau antar perseroan biasa, atau antar perseroan publik.
Dalam hal terjadi pertukaran saham dengan saham, nilai yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan perlakuan pajaknya adalah nilai pasar. Apabila nilai pasar dari saham yang dipertukarkan tidak diketahui karena tidak diperdagangkan di bursa, maka nilai yang dipakai adalah nilai yang dihitung berdasar kekayaan bersih (net-worth) dari perseroan yang bersangkutan, yaitu selisih antara seluruh harta dikurangi dengan seluruh kewajiban pada saat terjadinya transaksi (lihat contoh 9). -
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta dalam hal terdapat hubungan istimewa.
Dalam hal ada hubungan istimewa antara pihak yang menjual atau yang mengalihkan dengan pihak pembeli atau yang menerima pengalihan, yang mengakibatkan nilai/harga yang menjadi dasar pemindahtanganan tidak wajar maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh 1984 Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan. Dengan kata lain Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali harga
jual atau harga/nilai pengalihan harta yang dijual atau dialihkan itu. Jika Saudara menemukan kasus-kasus seperti ini supaya diajukan langsung ke Kantor Pusat untuk memperoleh keputusan. - Untuk memudahkan penerapan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, dibawah ini diberikan contoh-contoh penerapannya.
Contoh 1 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana.
PT. X mempunyai harta Golongan 2, yang jumlah awalnya pada tahun 1984 adalah Rp.800 juta.Dalam tahun 1984 terjadi penambahan harta, yaitu pembelian bus AA dengan harga perolehan Rp. 200 juta yang diasuransikan sebesar Rp. 175 juta. Pada pertengahan tahun 1985 bus AA tersebut terbakar.
Perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :1) Penyusutan : Jumlah awal 1-1-1984 Rp. 800 juta Pembelian bus AA tahun 1984 Rp. 200 juta
——————-Dasar penyusutan tahun 1984 Rp. 1.000 juta Penyusutan tahun 1984 (25%) Rp. 250 juta
——————–Jumlah awal 1-1-1985 Rp. 750 juta Pengurangan : sebesar harga sisa
buku bus AA yang terbakar
pertengahan tahun 1985Rp. 150 juta
——————-Dasar penyusutan tahun 1985 Rp. 600 juta 2) Penghasilan penggantian asuransi :
Harga sisa buku bus AA sebesar Rp. 150 juta merupakan kerugian, sedangkan
penggantian asuransi sebesar Rp. 175 juta merupakan penghasilan pada tahun pajak saat
klaim asuransi tersebut diakui.Contoh 2 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta karena sebab luar biasa di luar contoh 1 di atas.
PT. X memiliki mesin dan beberapa harta lain dalam golongan yang sama, dengan nilai sisa buku pada tanggal 1 Januari 1991 adalah Rp. 680 juta. Nilai sisa buku mesin tersebut adalah Rp. 660 juta. Mesin tersebut kemudian dijual kepada PT. Y (karena berdasarkan Peraturan Pemerintah lokasinya dilarang sebagai lokasi industri) dengan harga Rp. 800 juta. Setelah penjualan mesin tersebut PT. X tidak lagi melakukan usaha walaupun secara formal tidak dibubarkan (dilikuidasi). Penjualan mesin tersebut merupakan penarikan harta dari pemakaian karena sebab luar biasa, yang perlakuan pajaknya tunduk pada Pasal 11 ayat (7) huruf a UU PPh 1984.Perlakuan PPh nya bagi PT. X atas transaksi tersebut adalah sebagai berikut :
1) Penyusutan : Jumlah awal (1-1-1991) Rp. 680 juta Penambahan selama tahun 1991 Rp. –
—————–Rp. 680 juta Pengurangan : harga sisa buku mesin yang dijual ke PT. Y pada 1-1-1992 sebesar Rp. 660 juta
——————Dasar penyusutan 1-1-1991 Rp. 20 juta Penyusutan tahun 1991 (25%) Rp. 5 juta
—————–Jumlah awal (1-1-1992) Rp. 15 juta 2) Penghasilan penjualan mesin.
Harga sisa buku sebesar Rp. 660 juta harus dibukukan sebagai kerugian tahun 1991
sedangkan harga penjualan sebesar Rp. 800 juta merupakan penghasilan pada tahun yang bersangkutan.Contoh 3 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena penjualan yang menimbulkan keuntungan.
PT. X mempunyai beberapa jenis harta golongan 2 bukan bangunan yang salah satunya mempunyai nilai buku Rp. 100 juta. Harta tersebut dijual kepada PT. Y dengan harga Rp.200 juta. Perlakuan PPh bagi PT. X :
Bagi PT. X perhitungan dasar penyusutannya adalah sebagai berikut :Jumlah awal
Rp. 1.000 juta
Pengurangan :
penerimaan netto penjualan harta kepada PT. YRp. 200 juta
——————-
Jumlah awal untuk tahun pajak berikutnya
Rp. 800 juta
Berdasarkan Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984, setelah terjadi penjualan harta, PT. X hanya dapat menyusutkan hartanya atas dasar nilai sebesar Rp. 800 juta, sehingga biaya penyusutan akan lebih kecil dari pada sebelum terjadi penjualan tersebut.
Perlakuan PPh bagi PT. Y :
Bagi PT. Y dasar penyusutan atas harta yang dibeli dari PT. X adalah Rp. 200 juta, yaitu sebesar harga perolehannya sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984.Contoh 4 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena penjualan yang menimbulkan kerugian.Seandainya harta PT. X dijual dengan nilai Rp. 50 juta sedangkan nilai sisa bukunya adalah Rp. 100 juta, maka perhitungan dasar penyusutannya adalah sebagai berikut :
Jumlah awal
Rp. 1.000 juta
Pengurangan : penerimaan netto penjualan
salah satu jenis harta kepada PT. YRp. 50 juta
Dasar penyusutan
Rp. 950 juta
Bila dibandingkan dengan contoh 3, maka dalam hal diderita kerugian, dasar penyusutannya lebih besar dari pada seandainya diperoleh keuntungan. Dengan demikian jumlah penyusutannya menjadi lebih besar yang berarti bahwa kerugian yang diderita tidak dibebankan sekaligus tetapi bertahap melalui metode penyusutan.
Contoh 5 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pertukaran harta dengan harta bukan saham.
PT. X mempunyai harta yang terdiri dari beberapa jenis mesin, yang nilai bukunya adalah sebagai berikut :Mesin 1
Rp.
500 juta
Mesin 2
Rp.
300 juta
Mesin 3
Rp.
1.000 juta
——————–
Dasar penyusutan
Rp. 1.800 juta
Mesin 2, yang harga pasarnya adalah Rp. 500 juta, ditukar dengan Mesin B milik PT. Y yang nilai bukunya adalah Rp. 400 juta tetapi harga pasarnya adalah Rp. 500 juta. Berdasarkan Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984, perlakuan pajaknya melalui metode penyusutan adalah sebagai berikut :
Bagi PT. X :
Perhitungan dasar penyusutannya adalah :Jumlah awal Rp. 1.800 juta Pengurangan :
Harga pasar Mesin 2 yang dialihkan ke PT. YRp. 500 juta
———————Rp. 1.300 juta Penambahan :
Sebesar harga pasar Mesin B yang diterima dari PT. YRp 500 juta
——————–Dasar penyusutan
Rp. 1.800 juta Bagi PT. Y :
Perhitungan dasar penyusutannya adalah :Mesin A Rp. 600 juta Mesin B Rp. 400 juta Jumlah awal
———————
Rp. 1.000 jutaPengurangan :
Sebesar harga pasar Mesin B yang dialihkan kepada PT.X Rp. 500 juta ——————–
Rp. 500 jutaPenambahan :
Sebesar harga pasar Mesin 2 yang diterima dari PT. XRp. 500 juta Dasar penyusutan
——————–
Rp. 1.000 jutaContoh 6 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pertukaran harta dengan saham.PT. X PT. Y Aktiva Aktiva Harta 1.000 Harta 4.000 ——— Saham dalam portepel 1.000
———1.000 5.000 Pasiva Pasiva Hutang 400 Modal saham 5.000 Modal saham 600 ——— ——— 1.000 5.000 Setelah terjadi pengalihan, pembukuan fiskalnya adalah :
PT. X PT. Y Aktiva Aktiva Harta 900 Harta 4.000 Saham PT. Y 100 Saham dalam portepel 900 Harta PT. X 100 ——— ——— 1.000 5.000 Pasiva Pasiva Hutang 400 Modal saham 5.000 Modal saham 600 ———
1.000———
5.000Contoh 7 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta Golongan Bangunan dari pemakaian.
PT. A mempunyai harta Golongan Bangunan dengan perincian sebagai berikut :
Harga perolehan (tidak termasuk harga tanah)Bangunan X : Rp. 2.000 juta Bangunan Y : Rp. 10.000 juta
———————-Rp. 12.000 juta Akumulasi penyusutan
Bangunan X : Rp. 400 juta Bangunan Y : Rp. 1.600 juta
———————-Rp. 2.000 juta Nilai buku 1-1-1992 :
Bangunan X : Rp. 1.600 juta Bangunan Y : Rp. 8.400 juta
——————-Rp. 10.000 juta Tahun 1992 Bangunan X dijual seharga Rp. 2.000 juta (tidak termasuk harga tanah), sehingga
perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :1) Jumlah awal 1-1-1992 Rp. 12.000 juta Bangunan X dijual, harga perolehannya Rp. 2.000 juta Dasar penyusutan 1992
——————-
Rp. 10.000 juta2) Harga sisa buku Bangunan X sebesar Rp. 1.600 juta dibebankan sebagai biaya untuk tahun
1992.3) Hasil penjualan sebesar Rp. 2.000 juta merupakan penghasilan tahun 1992. Contoh 8 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 1984. Tuan A dan Tuan B adalah Wajib Pajak Perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan, bersama- sama menyertakan hartanya kepada PT. X, oleh karena itu Tuan A dan Tuan B memperoleh saham PT. X. Nilai buku harta Tuan A adalah Rp. 200 juta, sedangkan nilai pasarnya adalah Rp. 250 juta. Nilai buku harta Tuan B Rp. 20 juta dan nilai pasarnya adalah Rp. 30 juta. Tuan A memperoleh saham PT. X sebesar Rp. 200 juta sedangkan Tuan B memperoleh saham PT. X sebesar Rp. 20 juta. Dalam pembukuannya PT. X harus mencatat sebagai berikut :PT. X
Aktiva
Pasiva
Harta
220
Modal Tn A
200
Modal Tn B
20
——-
220——
220Setelah pengalihan, Tuan A dan Tuan B secara bersama-sama memiliki 100% dari modal yang disetor di PT. X. Tuan A dan Tuan B masing-masing akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila mereka dikemudian hari menjual saham-sahamnya dengan nilai yang melebihi nilai perolehannya. Demikian pula apabila harta tersebut kemudian oleh PT. X dijual, maka keuntungannya merupakan Obyek Pajak. Perlakuan pajak tersebut juga berlaku dalam hal harta yang dialihkan adalah tanah, yaitu badan usaha yang menerima pengalihan harus membukukannya dengan harga perolehan pihak yang mengalihkan (Tuan A dan Tuan B).
Contoh 9 :
Perlakuan PPh atas pertukaran saham dengan saham.
Tuan X adalah pemegang saham PT. A yang jumlah penyetorannya adalah Rp. 250 juta. Saham Tuan X pada PT. A tersebut ditukar dengan saham pada PT. B yang dimiliki oleh Tuan Y.
Sebelum terjadi pertukaran :PT A
PT. B
Aktiva
Aktiva
Harta
Rp. 500 juta
Harta
Rp. 1.000 juta
——————–
Rp. 500 juta—————–
Rp. 1.000 jutaPasiva
Pasiva
Kewajiban
Rp. 200 juta
Kewajiban
Rp. 150 juta
Modal saham
(Tn X)Rp. 250 juta
Modal saham
(Tn Y)Rp. 750 juta
Laba ditahan
Rp. 50 juta
Laba ditahan
Rp. 100 juta
——————
——————–
Rp. 500 juta
Rp. 1.000 juta
Seluruh saham Tn X pada PT A ditukar dengan saham Tn Y pada PT B, dengan nilai Rp.300 juta.
Setelah terjadi pertukaran, neraca fiskal kedua PT adalah sebagai berikut :
PT. A
PT. B
Aktiva
Rp. 500 juta
Aktiva
Harta
Harta
Rp. 1.000 juta
——————–
Rp. 500 juta—————–
Rp. 1.000 jutaPasiva
Pasiva
Kewajiban
Rp. 200 juta
Kewajiban
Rp. 150 juta
Modal saham
(Tn Y)Rp. 300 juta
Modal saham
(TN Y)Rp. 450 juta
(Tn X)
Rp. 300 juta
Laba ditahan
Rp. 100 juta
——————–
——————
Rp. 500 juta
Rp. 1.000 juta
Perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :
Bagi Tuan X selisih antara nilai saham PT. B (Rp. 300 juta) dengan modal yang disetornya pada PT. A (Rp. 250 juta) merupakan keuntungan karena pengalihan saham (Rp. 50 juta) yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 adalah obyek PPh.
Perlu ditegaskan bahwa contoh-contoh pembukuan yang diberikan dalam Surat Edaran ini adalah tata cara pembukuan yang diselenggarakan menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan. -
Berdasarkan penegasan di atas, sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, kepada Saudara diinstruksikan untuk melakukan penelitian material atas SPT Tahunan PPh untuk 5 tahun terakhir terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan data/informasi yang ada telah melakukan transaksi pemindahtanganan harta, dan melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Demikian untuk dilaksanakan.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
Drs. MAR’IE MUHAMMAD