Resources / Regulation

Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 20/PJ.4/1995

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 80/KMK.04/1995 tanggal 6 Februari 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :

  1. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, bagi jenis usaha bank, asuransi, sewa guna usaha dengan hak opsi, dan pertambangan diperkenankan untuk membentuk atau memupuk dana cadangan untuk menutup risiko yang akan terjadi yang pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.

  2. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 80/KMK.04/1995 dinyatakan bahwa besarnya dana cadangan yang diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya untuk masing-masing jenis usaha adalah sebagai berikut :

    Nomor Jenis Usaha Cadangan yang diperkenankan Besarnya Cadangan
    1. Bank Cadangan Piutang Tidak Tertagih Maksimum 3% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang
    2. Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Cadangan Piutang Tidak Tertagih Maksimum 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang
    3. Asuransi Kerugian a. Cadangan Premi 40% dari premi tanggungan sendiri
    b. Cadangan Klaim

    sama dengan jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum dibayar ditambah dengan klaim yang sedang dalam proses

    4. Asuransi Jiwa Cadangan Premi Sesuai dengan penghitungan aktuaria yang disahkan oleh Ditjen Lembaga Keuangan
    5. Pertambangan Cadangan Reklamasi

    Dihitung dengan menggunakan metode satuan produksi atas dasar taksiran biaya reklamasi

  3. Besarnya jumlah cadangan piutang tidak tertagih untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi sebagaimana tersebut dalam tabel diatas merupakan jumlah maksimum yang diperkenankan. Dengan demikian apabila kedua jenis usaha tersebut secara komersial mencantumkan besarnya cadangan piutang tidak tertagih masih dalam batas yang ditentukan, maka untuk kepentingan perpajakan besarnya cadangan piutang tidak tertagih adalah sama dengan jumlah yang ditentukan untuk kepentingan komersial.
    Contoh 1 :
    Bank A mempunyai saldo piutang per 1 Januari 1995 sebesar Rp. 300.000.000.000,00 dan saldo piutang per 31 Desember 1995 sebesar Rp. 500.000.000.000,00. Dengan demikian rata-rata saldo piutang adalah sebesar Rp. 400.000.000.000,00. Berdasarkan data tersebut besarnya cadangan piutang tidak tertagih yang diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya tahun 1995 maksimum sebesar 3% dari Rp. 400.000.000.000,00 atau sebesar Rp. 1.200.000.000,00. Apabila dalam laporan keuangan komersial Bank A tersebut mencantumkan besarnya cadangan piutang tidak tertagih sebesar Rp. 800.000.000,00, maka besarnya cadangan yang diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya untuk kepentingan fiskal adalah sama dengan besarnya cadangan komersial tersebut yaitu Rp. 800.000.000,00. Sebaliknya apabila Bank tersebut secara komersial mencantumkan cadangan piutang tidak tertagih sebesar Rp. 1.500.000.000,00, maka besarnya cadangan yang diperkenankan sebesar Rp. 1.200.000.000,00.
    Perlu ditegaskan disini bahwa khusus untuk jenis usaha bank, besarnya jumlah cadangan piutang tak tertagih yang dapat dibebankan sebagai biaya tidak dibedakan antara Bank Pemerintah dan Bank Swasta lainnya, yaitu maksimum sebesar 3% (tiga persen). Jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih pada tahun ini dibebankan pada pos cadangan piutang tidak tertagih yang dibentuk tahun lalu dan apabila ternyata terdapat kelebihan atau kekurangan jumlah cadangan, maka jumlah kelebihan atau kekurangan tersebut dimasukkan sebagai penghasilan atau kerugian dalam tahun ini.

  4. Cadangan premi untuk perusahaan asuransi kerugian pada prinsipnya merupakan jumlah premi yang diterima lebih dahulu (“unearned premium”) oleh perusahaan asuransi. Oleh karena itu penghasilan yang diterima lebih dahulu tersebut baru akan merupakan Objek Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak berikutnya.
    Dengan demikian untuk perusahaan asuransi kerugian, seluruh premi asuransi tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak wajib dimasukkan kedalam Penghasilan Kena Pajak pada tahun pajak yang bersangkutan, dan kemudian sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah premi yang diterima tersebut merupakan cadangan premi yang dapat dibebankan sebagai biaya pada tahun pajak tersebut Jumlah cadangan premi tersebut akan merupakan Objek Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak berikutnya. Yang dimaksud dengan premi asuransi tanggungan sendiri adalah premi bruto dikurangi dengan premi reasuransi.
    Contoh 2 :
    Perusahaan asuransi kerugian B menerima atau memperoleh premi asuransi tanggungan sendiri dalam Tahun Pajak 1995 sebesar Rp. 40.000.000.000,00. Besarnya cadangan premi yang diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya untuk tahun pajak 1995 adalah 40% X Rp. 40.000.000.000,00 atau sebesar Rp. 16.000.000.000,00. Jumlah cadangan premi sebesar Rp. 16.000.000.000,00 yang dibentuk pada tahun 1995 tersebut seluruhnya merupakan Objek Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak 1996.
    Dengan demikian apabila dalam Tahun Pajak 1996 perusahaan tersebut menerima atau memperoleh premi asuransi tanggungan sendiri sebesar Rp. 50.000.000.000,00, maka penghasilan kena pajaknya ditambah dengan jumlah cadangan premi yang dibentuk tahun 1995 sebesar Rp. 16.000.000.000,00, sedangkan cadangan premi yang dapat dibebankan sebagai biaya untuk tahun pajak 1996 adalah sebesar 40% X Rp. 50.000.000.000,00 atau sebesar Rp. 20.000.000.000,00.

  5. Disamping cadangan premi, perusahaan asuransi kerugian diperkenankan juga untuk membentuk cadangan klaim untuk menutup klaim asuransi yang sudah dilaporkan akan tetapi penghitungan dan/atau pembayaran klaim tersebut masih dalam proses. Besarnya jumlah cadangan klaim tersebut ditetapkan sebesar perkiraan penghitungan klaim yang akan dibayar sesuai dengan penghitungan perusahaan asuransi yang bersangkutan.
    Perlu ditegaskan bahwa khusus untuk klaim-klaim yang kemungkinan akan diajukan tetapi belum dilaporkan oleh tertanggung (“incurred but not reported” atau IBNR) tidak dapat dibentuk cadangan klaimnya. Dengan demikian walaupun perusahaan asuransi sudah mengetahui adanya peristiwa yang akan menimbulkan klaim akan tetapi tertanggung belum melaporkan adanya peristiwa tersebut belum dapat dibentuk cadangan klaim.
    Setiap akhir tahun, perusahaan asuransi kerugian wajib membuat perbandingan atas besarnya cadangan klaim yang telah dibebankan sebagai biaya tahun lalu dengan besarnya realisasi pembayaran klaim tahun ini. Dalam hal terdapat selisih lebih cadangan klaim maka jumlah kelebihan tersebut merupakan Objek Pajak Penghasilan pada tahun ini, sedangkan apabila jumlah cadangan klaim tersebut tidak mencukupi untuk menutup pembayaran klaim pada tahun ini maka kekurangan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya.

    Contoh 3 :
    Perusahaan asuransi kerugian B secara komersial pada akhir tahun pajak 1995 membuat cadangan klaim sebesar Rp. 22.500.000.000,00 dengan perincian sebagai berikut :

    1. klaim yang sudah selesai diproses (besarnya kerugian serta klaim yang akan dibayarkan telah dihitung dan disetujui oleh kedua belah pihak) tetapi belum dilakukan pembayaran sebesar Rp. 10.000.000.000,00 ;
    2. klaim yang belum selesai diproses (sudah dilaporkan oleh tertanggung tetapi jumlah klaimnya sedang dalam proses) sebesar Rp. 5.000.000.000,00 ;
    3. klaim yang berhubungan dengan adanya peristiwa yang telah terjadi dan diumumkan di koran atau informasi lainnya akan tetapi belum dilaporkan (IBNR) oleh tertanggung sebesar Rp. 7.500.000.000,00

    Berdasarkan ketentuan diatas, maka perusahaan asuransi kerugian tersebut secara fiskal dapat membebankan cadangan klaim sebagai biaya dalam tahun pajak 1995 sebesar Rp. 15.000.000.000,00 yaitu Rp. 10.000.000.000,00 ditambah dengan Rp. 5.000.000.000,00, sedangkan jumlah sebesar Rp. 7.500.000.000,00 atas IBNR tidak dapat dibentuk cadangannya. Perlu juga ditegaskan bahwa perkiraan besarnya cadangan klaim yang sedang dalam proses dihitung dengan memperhatikan besarnya tanggungan maksimum sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian polis.

  6. Perusahaan asuransi jiwa dapat membentuk atau memupuk dana cadangan premi tanggungan sendiri. Berbeda dengan cadangan premi yang dibentuk oleh perusahaan asuransi kerugian, cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa dibentuk atau dipupuk untuk menutup klaim yang pasti akan terjadi atau jatuh tempo.
    Besarnya saldo cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa setiap tahun harus dihitung oleh aktuaris dan harus mendapat pengesahan dari Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan. Oleh karena itu untuk menghitung besarnya cadangan premi yang dapat dibebankan sebagai biaya dalam satu tahun, perusahaan asuransi yang bersangkutan wajib menyertakan perhitungan cadangan premi yang telah disahkan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, dan besarnya cadangan premi yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah kenaikan jumlah saldo akhir dibandingkan dengan saldo awal cadangan premi tahun yang bersangkutan.
    Perlu ditegaskan juga bahwa dalam menghitung besarnya saldo cadangan premi setiap akhir tahun, perusahaan asuransi harus memperhitungkan pembayaran klaim asuransi yang sudah jatuh tempo atau karena meninggalnya tertanggung pada tahun yang bersangkutan, dengan demikian pembayaran klaim tersebut dibebankan kepada perkiraan cadangan premi.

    Contoh 4 :
    Berdasarkan pengesahan dari Ditjen Lembaga Keuangan tentang besarnya cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa “C” dinyatakan sebagai berikut :

akumulasi cadangan premi akhir tahun 1995 Rp. 60.000.000.000,00
akumulasi cadangan premi akhir tahun 1994 Rp. 40.000.000.000,00
kenaikan cadangan premi 1995 Rp. 20.000.000.000,00

Dengan demikian besarnya cadangan premi yang boleh dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan asuransi jiwa tersebut untuk tahun pajak 1995 adalah sebesar Rp. 20.000.000.000,00.
Perlu diketahui bahwa dalam penghitungan akumulasi cadangan premi pada akhir tahun 1995 tersebut berasal dari Ditjen Lembaga Keuangan telah memperhitungkan adanya pembayaran klaim karena jatuh tempo atau meninggalnya tertanggung dalam tahun 1995 serta adanya pertambahan polis baru.

  • Perusahaan pertambangan yang menurut kontrak dengan pemerintah diharuskan untuk melakukan reklamasi atas tanah yang telah dieksploitasi dapat membentuk atau memupuk cadangan biaya reklamasi sejak tahun mulainya produksi komersial.
    Yang dimaksud dengan produksi komersial adalah apabila perusahaan tersebut telah melakukan penjualan atas hasil pertambangan tersebut. Besarnya cadangan biaya reklamasi yang dapat dibebankan sebagai biaya setiap tahun dihitung dengan menggunakan metode satuan produksi dengan memperhatikan perkiraan seluruh kandungan hasil tambang yang akan diperoleh serta perkiraan biaya reklamasi atas tanah dimana hasil tambang tersebut dieksploitasi.
    Contoh 5 :
    Perusahaan pertambangan D diwajibkan untuk melakukan reklamasi atas tanah yang sudah selesai dilakukan penambangannya. Besarnya biaya reklamasi tersebut diperkirakan sebesar Rp. 5.000.000.000,00, sedangkan jumlah kandungan tambang yang terdapat di lokasi tersebut diperkirakan 20 juta ton. Apabila perusahaan tersebut dalam tahun pajak 1996 melakukan penambangan dan jumlah produksi yang dihasilkan sebanyak 1 juta ton, maka besarnya cadangan biaya reklamasi yang diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya dalam tahun pajak 1996 adalah sebesar (1/20 x Rp. 5.000.000.000,00 atau sebesar Rp. 250.000.000,00.

  • Cadangan biaya reklamasi yang dibentuk dan dipupuk oleh perusahaan pertambangan wajib disimpan dalam bentuk deposito di Bank Pemerintah yang pencairannya akan diatur lebih lanjut. Besarnya biaya reklamasi yang sesungguhnya dikeluarkan oleh perusahaan pertambangan dibebankan pada perkiraan cadangan biaya reklamasi. Apabila setelah berakhirnya masa kontrak atau selesainya penambangan terdapat selisih yang terjadi antara pengeluaran yang sebenarnya dengan jumlah cadangan biaya reklamasi yang telah dibentuk dan dipupuk, maka selisih tersebut diperhitungkan dengan laba rugi perusahaan pada akhir Tahun Pajak tersebut.
  • Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK

    ttd

    FUAD BAWAZIER

    Reading: Surat Edaran Dirjen Pajak – SE 20/PJ.4/1995