Resources / Blog / Tentang Pajak

Bank Indonesia, Subjek Pajak atau Bukan? Ini Penjelasannya

Bank Indonesia memiliki satu tujuan tunggal yakni menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Tahukah Anda jika Bank Indonesia tergolong sebagai subjek pajak?

SPT Tahunan 2021: Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Lapor Pajak

Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah lembaga negara yang didirikan untuk satu tujuan utama yakni stabilitas nilai tukar rupiah. Tapi, tahukah Anda  jika Bank Indonesia tergolong sebagai subjek pajak?

Setiap kali rupiah mengalami fluktuasi, nama bank Indonesia menjadi sangat populer. Mulai dari media massa, politisi, ahli ekonomi hingga pengusaha membahas fungsi dan kinerja bank sentral tersebut. Sebagai wajib pajak, tidak ada salahnya untuk sedikit memahami peran dan fungsi Bank Indonesia. Sebab, urusan pajak seringkali berkaitan dengan naik-turunnya nilai tukar rupiah yang menjadi fungsi bank sentral. Bahkan, Bank Indonesia sendiri merupakan subjek pajak.

Namun, sebelum membahas lebih lanjut mengenai status subjek pajak Bank Indonesia, yuk kita cari tahu dulu sejarah perkembangan bank sentral ini.

Sejarah Bank Indonesia

Republik Indonesia baru memiliki bank sentral pada 1953, tepat delapan tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Pemerintah saat itu mengambil alih De Javache Bank N.V(De Javasche Bank (DJB)), menyuntikkan modal senilai Rp 25 juta dan mengubah Namanya menjadi Bank Indonesia.

Sebenarnya, gagasan pembentukan bank sentral sudah ada sejak pembahasan materi Undang-Undang Dasar 1945 dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Gagasan itu selanjutnya dituangkan dalam Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tentang Hal Keuangan.

Pembentukan bank sentral dimulai dari SK Presiden dan Wakil Presiden Soekarno-Hatta tanggal 16 September 1945 kepada R.M. Margono Djojohadikoesoemo untuk mempersiapkan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sentral.

bank indonesia

Untuk menindaklanjuti perintah Bung Karo dan Bung Hatta, didirikanlah Jajasan Poesat Bank Indonesia yang kemudian dilebur ke dalam BNI. Karena tidak stabilnya kondisi negara pada masa revolusi, BNI tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai bank sentral secara maksimal.

Sementara itu, yang pada zaman Hindia Belanda pernah menjadi bank sirkulasi, kembali membuka cabangnya di wilayah yang dikuasai NICA sejak awal tahun 1946. Pada tahun 1949 di Konferensi Meja Bundar (KMB), DJB pun ditetapkan sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan BNI berfungsi sebagai bank umum.

Namun, setelah RIS bubar pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia berkeinginan memiliki bank sentral yang independen dan bebas dari kepemilikan asing.

Keinginan tersebut difokuskan pada nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi meski masih berstatus bank swasta dan didominasi Belanda. Pada 1951, DJB dinasionalisasi dan kepemilikan sahamnya berhasil diselesaikan oleh Panitia Nasionalisasi. Maka dengan berlakunya UU No. 11/1953 tentang penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, DJB dirubah namanya menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia pertama adalah Sjafruddin Prawiranegara. Pada awal berdirinya, Bank Indonesia memiliki usaha antara lain memindahkan uang (melalui surat atau pemberitahuan dengan telegram, wesel tunjuk, dan lain-lain), menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran, mendiskonto surat wesel, surat order, dan surat-surat utang, serta beberapa usaha lainnya.

Fungsi Bank Indonesia

Sejak tahun 1999, fungsi Bank Indonesia berubah seiring status dan kedudukan yang baru sebagai lembaga negara yang independen dalam melaksanakan wewenangnya. Baik presiden, Menteri maupun lembaga pemerintahan lain tidak dapat melakukan intervensi terhadap Bank Indonesia.

Hal ini diatur secara tegas melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia.

Seperti disinggung pada awal artikel, Bank Indonesia memiliki satu tujuan tunggal yakni menjaga stabilitas nilai tukar rupiah baik terhadap barang dan jasa maupun terhadap mata uang negara lain.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki tiga pilar utama yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan.

Namun, Bank Indonesia juga memiliki fungsi menjaga stabilitas sistem keuangan. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia menjalankan lima fungsi yakni:

  1. Menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka.
  2. Menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan.
  3. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
  4. Memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan yang dapat berdampak pada stabilitas sistem keuangan.
  5. Bank Indonesia berfungsi sebagai jaring pengaman sistem keuangan.

Misi Bank Indonesia

Selain menstabilkan moneter dan keuangan, Bank Indonesia juga memiliki sejumlah misi lain yang tidak kalah penting yakni:

  • Mengembangkan ekonomi keuangan digital.
  • Mendukung stabilitas makro ekonomi dan pertumbuhan ekonomi.
  • Memperkuat efektivitas kebijakan Bank Indonesia dan pembiayaan ekonomi, termasuk infrastruktur, melalui akselerasi pendalaman pasar keuangan.
  • Mengembangkan ekonomi dan keuangan Syariah.
  • Memperkuat peran internasional, organisasi, sumber daya manusia, tata kelola dan sistem informasi Bank Indonesia.

Daftar Gubernur Bank Indonesia

Gubernur Bank Indonesia dan Deputi Gubernur Bank Indonesia memiliki masa jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang paling lama satu kali masa jabatan.

Lalu seperti apakah tata cara pemilihan Gubernur Bank Indonesia? Seperti dikutip dari situs resmi Bank Indonesia, gubernur senior, deputi senior dan deputi Bank Indonesia ditunjuk oleh presiden.

Presiden kemudian menyampaikan nama-nama tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dilanjutkan ke Komisi XI DPR RI. Komisi terkait kemudian mengadakan fit and proper test dan menyeleksi dan memutuskan nama kandidat yang terpilih sebagai Gubernur Bank Indonesia.

Berikut ini daftar lengkap Gubernur Bank Indonesia:

  • Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1953-1958)
  • Mr. Loekman Hakim (1958-1959)
  • Mr. Soetikno Slamet (1959-1960)
  • Mr. Soemarno (1960-1963)
  • T. Jusuf Muda Dalam (1963-1966)
  • Radius Prawiro (1966-1973)
  • Rachmat Saleh (1973-1983)
  • Arifin Siregar (1983-1988)
  • Adrianus Mooy (1988-1993)
  • Sudrajad Djiwandono (1993-1998)
  • Syahril Sabirin (1998-2003)
  • Burhanuddin Abdullah (2003-2008)
  • Boediono (2008-2009)
  • Miranda Gultom Mei (2009-Juli 2009)
  • Darmin Nasution (2009-2013)
  • Agus Martowardojo (2013-2018)
  • Perry Warjiyo (2018- Sekarang)

Surplus Bank Indonesia, Objek Pajak atau Bukan?

Nah, setelah mengenal seluk beluk Bank Indonesia, sekarang saatnya membahas hubungan Bank Indonesia dan pajak. Mengutip ulang pertanyaan pada awal artikel ini, apakah Bank Indonesia merupakan subjek pajak?

Jawabannya, berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Bank Indonesia masuk kategori sebagai subjek pajak badan.

Alasannya, Bank Indonesia memenuhi sejumlah syarat sebagai wajib pajak badan yakni sekumpulan orang dan/modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak yang berbentuk Lembaga independen.

Jika Bank Indonesia adalah subjek pajak, yang menjadi objek pajaknya adalah surplus Bank Indonesia. Apa itu surplus Bank Indonesia?

Surplus Bank Indonesia adalah penerimaan berupa bagi hasil, bunga, uang jasa dan hasil dari penyertaan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan perbankan yang dapat dilakukan Bank Indonesia seperti penyedia jasa sistem, fasilitator kliring, penyedia fasilitas pembiayaan dan pendanaan jangka pendek, fasilitator dalam lalu lintas beli devisa dan sebagai pemegang kas pemerintah.

Dari mana Bank Indonesia mendapatkan penghasilan? Seperti yang kita tahu Bank Indonesia memiliki sejumlah produk seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), tabungan, deposito, diskonto, pemberian kredit pada bank yang kesulitan mendapatkan kredit pinjaman dari bank lainnya serta keuntungan sebagai fasiitator kliring antar bank dan jual beli devisa.

Baca Juga: Implementasi Penurunan Tarif PPh Badan Tahun 2021

Reading: Bank Indonesia, Subjek Pajak atau Bukan? Ini Penjelasannya