Sekilas BUMN Sebagai Pemungut PPN
BUMN sebagai pemungut PPN merupakan istilah bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditetapkan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pemungut PPN memiliki mekanisme pemungutan dan pelaporan PPN yang berbeda dibandingkan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya, dalam hal pemungutan dan pelaporan.
Jadi, jika ada Perusahaan Kena Pajak (PKP) yang merupakan rekanan BUMN melakukan penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP), maka PPN akan dipungut oleh BUMN sebagai pemungut PPN dan tidak lagi dipungut oleh PKP penjual.
Penetapan BUMN sebagai pemungut PPN ditetapkan lewat PMK Nomor 136/PMK.03/2012, yang kemudian diperjelas dalam Surat Edaran (SE) Nomor SE-45/PJ/2012. Dalam PMK Nomor 136/PMK.03/2012 disebutkan bahwa tujuan ditetapkannya BUMN sebagai pemungut PPN adalah, untuk lebih memudahkan pemungutan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) oleh PKP rekanan kepada BUMN.
Kriteria BUMN Sebagai Pemungut PPN
Dalam SE Nomor SE-45/PJ/2012, BUMN sebagai pemungut PPN adalah BUMN yang paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Pemerintah. Penetapan BUMN sebagai pemungut PPN ini hanya berlaku bagi BUMN saja, bukan anak usaha maupun usaha patungan antara perusahaan swasta dengan BUMN.
Artinya, jika sebuah BUMN memiliki beberapa anak usaha maka yang memiliki fungsi sebagai pemungut PPN hanyalah BUMN induk, bukan anak usahanya. Pun demikian jika BUMN membentuk Kerja Sama Operasional (KSO) dengan BUMN lain ataupun perusahaan swasta, maka perusahaan KSO tersebut bukanlah pemungut PPN.
Ketetapan BUMN sebagai pemungut PPN bisa hilang apabila terjadi perubahan kepemilikan saham. Pasalnya, adanya perubahan kepemilikan saham ini bisa menyebabkan BUMN tersebut tidak lagi memenuhi kriteria BUMN sebagai pemungut PPN.
Sebaliknya, jika suatu badan usaha mengalami perubahan kepemilikan, sehingga statusnya memenuhi kriteria BUMN, maka terhitung sejak tanggal akta yang menyatakan perubahan kepemilikan tersebut, badan usaha dimaksud secara otomatis menjadi BUMN sebagai pemungut PPN dan melakukan kewajiban sebagai pemungut PPN.
Pengecualian Pungutan PPN oleh BUMN Sebagai Pemungut PPN
Tidak semua transaksi antara rekanan BUMN dengan BUMN dipungut PPN. BUMN sebagai pemungut PPN tidak melakukan pungutan terkait transaksi-transaksi berikut:
- Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 10 juta rupiah termasuk jumlah PPN atau PPN dan PPnBM, yang terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
- Pembayaran atas penyerahan BKP/JKP yang menurut ketentuan perundang-undangan mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
- Pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero).
- Pembayaran atas rekening telepon.
- Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan.
- Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.
Perlakuan Faktur Pajak Terkait Transaksi Dengan BUMN Sebagai Pemungut PPN
Seperti yang telah disebutkan, transaksi antara PKP rekanan dengan BUMN sebagai pemungut PPN memiliki mekanisme berbeda, dimana jika PKP menyerahkan BKP/JKP kepada BUMN sebagai pemungut PPN maka PPN akan dipungut oleh BUMN sebagai pemungut PPN dan tidak lagi dipungut oleh PKP penjual.
Namun, penerbitan faktur pajak tetap menjadi kewajiban PKP yang menyerahkan BKP/JKP, meski pemungut PPN adalah BUMN. Atas penyerahan BKP/JKP, PKP rekanan wajib membuat faktur pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) kepada BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Perbedaan antara faktur pajak yang dikeluarkan PKP rekanan untuk BUMN sebagai pemungut PPN dengan faktur pajak pada umumnya terletak pada penggunaan kode faktur pajak. Pada transaksi penyerahan BKP/JKP dari PKP rekanan dengan BUMN, kode faktur pajak yang digunakan adalah 030. Penggunaan kode faktur 010 hanya digunakan untuk transaksi penyerahan BKP/JKP dengan nilai tidak melebihi Rp 10 juta.
Untuk penerbitan faktur pajaknya, PKP rekanan dapat menerbitkan 1 faktur pajak yang meliputi seluruh penyerahan BKP/JKP yang dilakukan kepada BUMN yang sama selama 1 bulan kalender.
Artinya, dalam hal transaksi penyerahan antara PKP rekanan dengan BUMN sebagai pemungut PPN, pembuatan faktur pajak gabungan diperbolehkan. Faktur pajak gabungan ini harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPN dan PPnBM oleh BUMN sebagai Pemungut PPN
Bila transaksi yang terjadi adalah transaksi antara BUMN, dimana keduanya merupakan pemungut PPN atau transaksi antara BUMN sebagai pemungut PPN dengan pemungut PPN lain, maka yang berlaku adalah sebagai berikut:
- PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP/JKP dari BUMN kepada BUMN tidak dikecualikan dari pemungutan oleh pemungut PPN. Sehingga BUMN yang menerima penyerahan BKP/JKP tetap melakukan kewajiban pemungutan PPN.
- Atas penyerahan BKP/JKP dari BUMN kepada pemungut PPN selain BUMN, PPN dan PPnBM yang terutang tetap dipungut oleh pemungut PPN yang menerima penyerahan BKP/JKP.
Untuk penyetoran PPN, BUMN sebagai pemungut PPN wajib menyetorkan PPN dan PPnBM yang telah dipungut ke Kantor Pos/Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan SSP dengan Kode Akun Pajak 411211 dan Kode Jenis Setoran 900.
SSP harus diisi dengan menyertakan NPWP serta identitas PKP rekanan dan penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama PKP rekanan.
Terkait jatuh tempo, penyetoran PPN oleh BUMN sebagai pemungut PPN tidak mengacu pada tanggal penerbitan faktur pajak oleh PKP rekanan. Oleh karena itu, apabila BUMN terlambat melakukan penyetoran yang disebabkan karena keterlambatan PKP rekanan menerbitkan faktur pajak, maka atas keterlambatan penyetoran tersebut, BUMN sebagai pemungut PPN tetap dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Untuk pelaporannya, pemungutan PPN dan PPnBM oleh BUMN sebagai pemungut PPN dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) masa pajak PPN bagi Pemungut PPN Formulir 1107 PUT yang wajib disampaikan dalam bentuk elektronik (e-SPT).
Apabila dalam suatu bulan, BUMN sebagai pemungut PPN tidak melakukan pemungutan PPN dan PPnBM, maka BUMN tersebut tetap wajib menyampaikan SPT Masa PPN Formulir 1107 PUT dan diisi dengan angka 0.
Terkait dengan BUMN sebagai pemungut PPN yang memiliki status PKP. Kewajiban pelaporan dilakukan setiap bulan dengan menggunakan formulir 1111 dan formulir 1107 PUT.
Terhadap cabang-cabang BUMN yang telah melakukan pemusatan tempat PPN terutang, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai pemungut PPN dilakukan oleh BUMN yang ditunjuk sebagai tempat pemusatan PPN terutang.
Sementara, jika BUMN tidak berstatus sebagai PKP, maka pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai pemungut PPN dilakukan di masing-masing tempat kegiatan usaha yang melakukan transaksi dengan PKP rekanan.