Resources / Blog / Bukti Potong

Kredit Online dan Pajak Bunga Pinjaman di Indonesia

Ingin mengajukan kredit online? Ketahui lebih dulu informasi terbaru mengenai kredit online seperti peraturan, legalitas usaha dan pengawasannya oleh OJK melalui artikel singkat berikut ini.

SPT Tahunan 2021: Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Lapor Pajak

Terminologi Kredit Online

Agar dapat memahami kredit online, kita harus mengetahui terminologi yang ada di belakangnya. Istilah ini berasal dari dua kata yakni kredit dan online.

Mengacu Undang-Undang Pokok Perbankan No. 7 Tahun 1992, kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melaksanakan sejumlah bunga sebagai imbalan.

Sementara, kata online (daring) secara sederhana adalah kondisi atau keadaan di mana seseorang terhubung atau terkoneksi ke dalam jaringan internet. Kata online acap kali dibahasakan dengan dunia maya.

Sehingga, kredit online dapat diartikan sebagai penyediaan uang atau pinjaman yang dapat diakses melalui jaringan internet atau di dalam dunia maya.

Kehadiran kredit online di Indonesia ditandai dengan masifnya penggunaan internet. Sementara, produk kredit online ditawarkan oleh lembaga keuangan baik bank maupun non-bank dan perusahaan financial technology (Fintech).

Kredit Online di Indonesia

Jika dulu seorang debitur harus menemui kreditur secara langsung untuk mengajukan pinjaman, seiring dengan perkembangan internet dan teknologi informasu, pengajuan kredit bisa dilakukan tanpa tatap muka.

Kredit online dewasa ini sering dikaitkan dengan perusahaan yang menyediakan pinjaman secara online, dan umumnya dijalankan oleh perusahaan fintech.

Biasanya, perusahaan fintech yang menyediakan produk kredit online tak sebatas menyediakan layanan berupa pinjaman atau kredit tanpa agunan (KTA), melainkan menyediakan produk keuangan lainnya seperti kartu kredit, kredit multiguna, kredit usaha dan lain sebagainya.

Payung Hukum Kredit Online

Menyadari besarnya potensi kredit online, pemerintah merasa perlu membuat peraturan yang secara tegas melindungi konsumen atau pengguna layanan kredit online.

Memang, saat ini belum ada peraturan selevel undang-undang yang mengatur industri baru ini. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Bank Indonesia (BI) selaku regulator jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran telah menelurkan serangkaian aturan yang mampu menjaga ruang gerak fintech serta memberikan perlindungan bagi konsumen.

Aturan-aturan yang di dalamnya turut mengatur fintech penyedia layanan kredit online antara lain:

1. Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI). Aturan ini dibuat untuk mengatur bisnis kredit online dengan skema peer to peer lending (P2P).

Aturan ini bertujuan untuk melindungi keamanan dana dan data konsumen, mencegah pencucian uang untuk pendanaan terorisme, menjaga stabilitas keuangan serta beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pemilik dan pengelola perusahaan fintech.

2. Peraturan BI (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PTP). PBI ini membahas seputar penyelenggara pemrosesan transaksi pembayaran, perizinan dan persetujuan penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, kewajiban penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, laporan, peralihan izin penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengawasan, larangan, serta sanksi.

3. PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. PBI ini merupakan payung hukun bagi penyelenggaraan fintech, termasuk di dalamnya fintech yang menyediakan kredit online.

OJK sebagai regulator jasa keuangan pun tidak berhenti pada POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Pada 1 September 2018, OJK mengeluarkan POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.

Dalam keterangan resminya, Ketua Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengemukakan, keluarnya peraturan ini dikarenakan OJK mengerti akan kecepatan perkembangan teknologi di sektor keuangan.

Melalui POJK ini, OJK mengatur sejumlah hal yakni:

  • Mekanisme pencatatan dan pendaftaran fintech.
  • Pemantauan dan pengawasan fintech.
  • Pembentukan ekosistem fintech.
  • Manajemen risiko serta aspek perlindungan konsumen.

Perkembangan Fintech Kredit Online

Hingga Agustus 2018, fintech penyedia kredit online yang terdaftar di OJK tercatat mencapai 67 perusahaan. Jumlah fintech penyedia kredit online ini terdiri dari 65 perusahaan fintech konvensional dan 2 perusahaan fintech syariah.

Dari 67 perusahaan fintech penyedia kredit online ini, 66 perusahaan berdomisili di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) serta satu perusahaan berdomisili di Bandung.

Dari segi status kepemilikan, dari 67 perusahaan fintech penyedia kredit online, 45 perusahaan berstatus lokal dan 22 perusahaan merupakan penanaman modal asing.

Perkembangan kinerja penyedia kredit online ini tergolong mengesankan. Bayangkan, per Juli 2018 lalu, jumlah rekening penyedia dana telah mencapai 135.025 entitas, meningkat 33,77% year to date (ytd). Sedangkan jumlah rekening peminjam mencapai 1.430.357 entitas atau meningkat 450,92% ytd.

Pada periode tersebut, jumlah kredit yang dikucurkan perusahaan-perusahaan fintech ini mencapai Rp 9,21 triliun atau meningkat 259,36% ytd. Peningkatan penyaluran kredit online ini ternyata tidak seiring sejalan dengan tingkat kredit macet. Sebab, tingkat kredit macetnya cukup rendah, yakni sekitar 1,4%.

Upaya Pengawasan Kredit Online

Dari segi pengawasan, OJK terus melakukan monitoring guna memastikan perusahaan fintech penyedia kredit online yang tidak terdaftar dan berizin tidak berkeliaran.

Hasilnya, awal September 2018 lalu, Satgas Waspada Investasi menemukan 182 fintech penyedia kredit online yang tidak memiliki ziin maupun terdaftar di OJK.

Dengan adanya temuan ini, total penyelenggara kredit online yang tidak berizin dan tidak terdaftar oleh OJK telah mencapai 407 perusahaan. Terhadap perusahaan-perusahaan ini OJK melakukan penindakan, antara lain:

  1. Menghentikan kegiatan usaha 182 perusahaan fintech penyedia kredit online yang tidak terdaftar di OJK.
  2. Perusahaan yang tidak terdaftar harus menghentikan kegiatannya.
  3. Semua bentuk aplikasi yang terdapat dalam google play, appstore dan media sosial lainnya harus dihapus.
  4. Memerintahkan perusahaan tersebut untuk segera menuntaskan tanggung jawab yang ada terhadap nasabah atau pengguna layanan.
  5. Menghimbau agar perusahaan fintech penyedia kredit online segera mendaftarkan diri ke OJK.

Selanjutnya, sebagai tindak lanjut pengawasan dan himbauan tersebut, OJK juga melakukan beberapa hal berikut:

  1. Menyebarkan daftar nama fintech tak berizin ke media massa.
  2. Menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri mengenai fintech penyedia kredit online.
  3. Meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memblokir aplikasi pada website dan media sosial lainnya.
  4. Meminta manajemen Google Indonesia memblokir aplikasi pada Google Playstore.
  5. Meminta semua perusahaan provider aplikasi seperti Google dan web portal untuk melakukan screening sebelum menampilkan platform aplikasi.
  6. Meminta masyarakat agar melakukan kegiatan pengajuan kredit online pada perusahaan yang terdaftar atau berizin dari OJK.

Bunga Sebagai Objek PPh 23

Sama seperti lembaga keuangan konvensional, penyedia kredit online juga memungut bunga pinjaman pada nasabahnya. Nah, berdasarkan pasal 23 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bunga pinjaman yang diterima penyedia kredit online dikategorikan sebagai objek pajak PPh pasal 23.

Berikut ini kutipan langsung pasal tersebut:

Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan,disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. sebesar 15% dari jumlah bruto
atas:

(2) bunga sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf f

Dari pasal di atas kita dapat menyimpulkan, pemberi kredit online sebagai penerima penghasilan wajib membayarkan pajak penghasilan atas bunga pinjaman. Dan, apabila penerima pinjaman merupakan pemotong pajak, maka penerima pinjaman berkewajiban untuk memotong pajak sebesar 15% pada saat pengembalian pinjaman.

Demikianlah sedikit serba-serbi kredit online. Penting bagi masyarakat untuk selalu mencari informasi terbaru mengenai kredit online, baik soal produk-produknya maupun penyedia layanannya.

Sementara, bagi wajib pajak yang berlaku sebagai pemotong pajak, pastikan untuk membayar dan melaporkan pungutan PPh 23 jika Anda mengajukan pinjaman pada lembaga keuangan.

Sekarang, membayar dan melaporkan pajak sudah mudah berkat kehadiran aplikasi OnlinePajak yang merupakan mitra resmi Ditjen Pajak. Melalui OnlinePajak, Anda bisa menuntaskan kewajiban perpajakan Anda dari mana saja dan kapan saja. Ayo, gunakan OnlinePajak sekarang.

Reading: Kredit Online dan Pajak Bunga Pinjaman di Indonesia