Resources / Blog / Tentang e-Filing

Joint Operation, Pahami Konsep dan Ketentuan Perpajakannya di Sini!

Apa itu Joint Operation?

Joint Operation (JO) adalah bentuk kerja sama operasi, yaitu perkumpulan dua perusahaan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. Penggabungan badan atau perusahaan ini bersifat sementara sampai proyek tersebut selesai.

Dalam beberapa surat Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, istilah joint operation sering juga disebut konsorsium. Perusahaan gabungan yang melakukan JO turut menggabungkan sumber produksi, pemasaran, keuangan, serta hal-hal manajerial lainnya.

Sejarah Munculnya JO di Indonesia

JO diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1991 sebagai bentuk kemitraan antara badan usaha jasa konstruksi asing (BUJKA) dengan badan usaha jasa konstruksi nasional (BUJKN). Model kerja sama seperti JO kerap diaplikasikan pada proyek infrastruktur skala besar yang berkarakteristik kompleks, berisiko besar, dan berteknologi tinggi. Namun saat ini JO sudah banyak diimplementasikan untuk kerja sama perusahaan di bidang telekomunikasi hingga makanan.

Pada awal keberadaannya, JO diperkenalkan di Indonesia melalui regulasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 50/PRT/1991 dan perubahan terakhir dari regulasi tersebut adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2011.

Dalam regulasi tersebut, JO didefinisikan sebagai bentuk kerja sama operasi antara satu atau lebih BUJKA dengan satu atau lebih BUJKN yang bersifat sementara dan bukan merupakan bentuk badan hukum baru.

Regulasi tersebut sebenarnya mengatur persyaratan pemberian izin perwakilan konsiderannya adalah untuk mendorong peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional dan perekonomian nasional. Sehingga dalam mencapai tujuan dari regulasi tersebut maka setiap BUJKA yang akan melaksanakan aktifitas proyeknya di Indonesia diwajibkan bermitra dengan BUJKN. Model kerja sama ini juga membawa keuntungan bagi Indonesia lantaran BUJKA diwajibkan melakukan transfer of knowledge kepada partner lokalnya.

Tujuan Membentuk JO

Pada umumnya, suatu perusahaan melakukan JO untuk memperluas wilayah usaha atau meningkatkan kualitas produknya. Contohnya saja perusahaan food and beverage (F&B) dalam negeri bekerja sama dengan pemegang merek es krim luar negeri untuk meningkatkan penjualannya atau mencapai target pasar. Perusahaan asing tersebut juga punya maksud untuk menjajaki pasar lokal dengan bekerja sama dengan perusahaan domestik agar mereknya lebih dikenal dan pemilik merek es krim bisa lebih mudah berekspansi nantinya.

Tipe-Tipe Joint Operation

1. Administrative Joint Operation

Tipe JO yang juga sering disebut Kerja Sama Operasi (KSO) ini merupakan bentuk kerja sama yang kontrak dari pemberi kerjanya ditandatangani atas nama JO. Pada kondisi ini, JO seolah-olah menjadi entitas tersendiri, terpisah dari perusahaan yang menjadi anggota JO.

Kemudian pekerjaan terhadap proyek menjadi tanggung jawab entitas JO, bukan masing-masing perusahaan anggota kerja sama itu. Sejumlah masalah permodalan hingga pembagian hasil juga ditentukan berdasarkan porsi pekerjaan masing-masing anggota yang disepakati dalam joint operation agreement. Contohnya seperti pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost), hingga pembagian hasil (profit sharing).

2. Non-Administrative Joint Operation

Tipe JO ini sering disebut konsorsium, di mana kontrak dengan pemberi kerja (project owner) dibuat atas nama masing-masing perushaan anggota kerja sama tersebut. JO dalam hal ini hanya berperan sebagai alat koordinasi, dengan begitu tanggung jawab pekerjaan terhadap project owner ada pada masing-masing anggota.

Aspek PPh dalam Administratif JO

Penghasilan yang diperoleh masing-masing perusahaan anggota JO masih dikenakan kewajiban pemotongan pajak penghasilan (PPh) badan. Pemotongan dilakukan sesuai dengan porsi pekerjaan atau penghasilan yang diterima perusahaan.

Sebagai pemenuhan kewajiban pajak, JO tetap diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sendiri, meski JO bukanlah subyek PPh badan. Pemberian NPWP terhadap joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan dan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23/26, dan PPn.

Merujuk Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989 tentang Masalah Perpajakan Bagi Joint Operation, pembukuan yang menentukan dan memperhitungkan besarnya PPh terutang badan dapat dilakukan secara terpisah dari masing-masing perusahaan anggota JO. Ketentuan ini juga mencakup dan berlaku bagi penghasilan yang diterima dari proyek bantuan luar negeri.

Aspek PPh dalam Non-Administrative JO

Berbeda dengan administrative JO, non-administrative JO tidak diwajibkan memiliki NPWP serta pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing perusahaan anggota JO.

Tagihan ke project owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau bisa juga melalui JO namun menggunakan commercial invoice, dengan faktur pajak dan bukti potong PPh Pasal 4 Ayat (2) tetap atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).

Pemecahan Bukti Pemotongan PPh 23

Seperti diketahui, Joint Operation tidak termasuk Subjek Pajak PPh maka penghasilan yang diterima suatu JO sebenarnya adalah penghasilan para anggota JO yang besarnya bagian masing-masing ditentukan sesuai perjanjian.

Jika atas penghasilan berupa bunga, sewa dan lain-lain yang diterima atau diperoleh JO dari wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk (pemberi hasil) dipotong PPh Pasal 23, maka bukti potong PPh Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota JO agar dapat dikreditkan.

Berikut ini petunjuk pemecahan bukti pemotongan PPh 23 untuk penghasilan JO sebagaimana dijelaskan Direktur Jenderal Pajak dalam Surat edaran SE-44/PJ/1994:

1. Telah dilakukan pemotongan PPh 23 atas nama JO

  • JO mengajukan permohonan pemecahan bukti pemotongan PPh 23 kepada Kantor Pajak Pratama (KPP) dimana JO berkedudukan, dilampiri salinan dokumen pendirian JO.
  • KPP tersebut minta konfirmasi kepada KPP di mana pemotong PPh 23 terdaftar, mengenai pemotongan terhadap JO, menggunakan formulir konfirmasi lampiran.
  • Setelah terbukti benar telah dilakukan pemotongan terhadap JO maka KPP tersebut menerbitkan Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKKPP) PPh 23 yang seharusnya tidak terutang dengan menggunakan formulir KP PPh 3.46.
  • Atas dasar SKKPP tersebut, dilakukan pemindahbukuan dari PPPh 23 ke Pusat Logistik Berikat (PLB).
  • Pemindahbukuan dilakukan dari PLB ke PPh Pasal 25 atas nama para anggota JO dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing dengan tahun pajaknya sesuai yang tercantum pada bukti pemotongan PPh 25.
  • SKKPP tidak boleh diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP), juga tidak boleh dipindahbukukan untuk membayar kewajiban pajak JO.
  • Apabila anggota JO adalah wajib pajak luar negeri maka pemecahan bukti pemotongan PPh 23 (yang berupa bukti Pbk. 25) tidak boleh diperhitungkan dengan kewajiban PPh 26 dari JO, karena wajib pajak luar negeri tersebut dianggap mempunyai BUT di Indonesia.

2. Belum dilakukan pemotongan PPh 23

  • JO mengajukan permohonan pemecahan bukti pemotongan PPh 23 kepada pemberi hasil, dilampiri salinan dokumen pendirian JO.
  • Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil membuat bukti pemotongan PPh 23 atas nama JO dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-masing.
  • Bukti pemotongan PPh 23 disampaikan untuk para perusahaan anggota JO.
Reading: Joint Operation, Pahami Konsep dan Ketentuan Perpajakannya di Sini!