Pentingnya Nomor Faktur Pajak
Keberadaan nomor faktur pajak bisa dibilang sangat penting dalam pelaporan perpajakan Indonesia. Sebab, nomor faktur pajak merupakan salah satu kelengkapan wajib suatu faktur pajak, yang merupakan bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).
Keberadaan nomor faktur pajak sebagai syarat wajib faktur pajak ini tertera pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 Tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak.
Pasal 7 PER-24/PJ/2012 secara jelas menyatakan bahwa PKP harus membuat faktur pajak dengan menggunakan kode dan nomor faktur pajak. Kode dan nomor faktur pajak yang dimaksud dalam peraturan ini terdiri dari 16 digit angka, yaitu:
- 2 digit kode transaksi.
- 1 digit kode status
- 13 digit Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) atau nomor faktur pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Awal Mula Penggunaan Nomor Faktur Pajak
Awal mula penggunaan nomor faktur pajak adalah pada tahun 1994 silam, ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Sejatinya, penggunaan faktur pajak sudah diperkenalkan tahun 1983, saat Indonesia mengalami reformasi sistem perpajakan, ditandai dengan pengenalan konsep pelaporan dengan sistem self assessment serta ditinggalkannya pungutan Pajak Penjualan (PPn) dan diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Namun, faktur pajak yang disyaratkan lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 ini tidak mengharuskan suatu faktur pajak untuk mencantumkan nomor faktur pajak. Barulah pada tahun 1994 keluar persyaratan wajib bahwasanya dalam menyusun faktur pajak harus menyertakan nomor faktur pajak.
Hal ini tertuang dalam Pasal 13 Ayat 5 Poin g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, yang menyatakan bahwa faktur pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP/JKP, dimana salah satu kelengkapan wajibnya adalah menyertakan “Nomor dan Tanggal Faktur Pajak”. Kata-kata nomor dalam peraturan tersebut dapat dimaknai sebagai awal mula kemunculan nomor faktur pajak.
Perubahan Penyusunan Nomor Faktur Pajak
Dalam perjalannya, penyusunan nomor faktur pajak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Ketika nomor faktur diperkenalkan, susunannya masih melibatkan nomor yang menunjukan identitas cabang PKP. JIka ditelaah, susunan nomor faktur pajak berdasarkan PER-13/PJ/2010 adalah sebagai berikut:
Format kode faktur pajak, yang terdiri dari:
- 2 digit pertama adalah kode transaksi
- 1 digit berikutnya adalah kode status
- 3 digit berikutnya adalah kode cabang
Format nomor seri faktur, yang terdiri dari:
- 2 digit pertama adalah tahun penerbitan
- 8 digit berikutnya adalah nomor urut
Kode cabang dalam nomor faktur pajak ini dapat diurutkan oleh PKP berdasarkan tanggal pengukuhan kantor cabang sebagai PKP. Selain itu, kode cabang ini dapat ditambah atau dihentikan penggunaannya, tergantung dari adanya penambahan atau pengurangan kantor cabang.
Selain adanya kode cabang dalam nomor faktur pajak, penyusunan nomor faktur pajak diserahkan pada PKP. Jadi, dalam menentukan 8 digit nomor urut pada nomor faktur pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan kebebasan kepada PKP untuk menyusunnya.
Nah, susunan nomor faktur pajak ini kemudian mengalami perubahan. Utamanya dalam hal kode faktur serta kewenangan penyusunan nomor urut pada nomor faktur pajak.
Nomor Faktur Pajak Berdasarkan PER-24/PJ/2012
Penyusunan nomor faktur pajak yang menggunakan format sesuai dengan yang tertera pada PER-13/PJ/2010 berubah pada tahun 2013. Perubahan susunan nomor faktur pajak ini ditandai dengan keluarnya PER-24/PJ/2012.
Perubahan pertama adalah, dihapuskannya kode cabang pada nomor faktur pajak. Sejak 1 April 2013 susunan nomor faktur pajak terdiri dari 16 digit, yakni sebagai berikut:
- 2 digit pertama adalah kode transaksi
- 1 digit berikutnya adalah kode status
- 13 digit berikutnya adalah nomor seri faktur pajak
Selain pada susunan nomor faktur pajak ini, perubahan lain adalah soal berakhirnya kewenangan PKP dalam menerbitkan nomor faktur pajak secara independen, digantikan oleh DJP. Artinya, sejak 1 April 2013, nomor faktur pajak dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.
Dialihkannya kewenangan penerbitan nomor faktur pajak, dari PKP ke KPP, dimaksudkan untuk menanggulangi kemunculan faktur pajak fiktif, yang dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan pajak. Hal ini otomatis dapat menyebabkan penerimaan negara dari sektor pajak berkurang.
Selain itu, susunan nomor faktur pajak yang hanya bisa dikeluarkan oleh KPP ini juga dimaksudkan untuk mempermudah PKP dalam membuat faktur pajak. Karena, penyusunan nomor faktur pajak oleh PKP terkadang membuat faktur pajak yang dibuat menjadi faktur pajak tidak sah.
Misalnya, ketika kantor cabang PKP membuat faktur pajak sendiri dan kemudian nomornya menjadi tidak urut dengan faktur pajak dari kantor cabang lain atau kantor induk, padahal menurut ketentuan yang tertera pada PER-13/PJ/2010, nomor faktur pajak harus urut. Jika tidak urut, maka yang terjadi adalah faktur pajak yang dibuat menjadi faktur pajak tidak sah. Konsekuensi yang harus diteirma PKP kala menerbitkan faktur tidak sah adalah PKP akan terkena denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Nah, jika nomor faktur pajak hanya dikeluarkan oleh KPP berdasarkan permintaan PKP, maka bisa meminimalisir terjadinya faktur pajak tidak sah dan hal ini jelas menguntungkan bagi PKP. Sebab, PKP bisa terhindar dari pengenaan denda sebesar 2% dari DPP.