Istilah Pemungutan PPN dan Pemotongan PPh
Dunia perpajakan terdapat dua istilah yang meski sekilas memiliki arti yang sama, namun dua istilah ini memiliki makna yang berbeda. Dua istilah yang dimaksud adalah pemungutan PPN dan pemotongan PPh.
Memang, antara pemungutan PPN dan pemotongan PPh terlihat jelas perbedaannya, dimana istilah pemungutan condong ditujukan kepada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara, istilah pemotongan condong kepada Pajak Penghasilan (PPh).
Sebenarnya dalam PPh juga dikenal adanya istilah pemungutan, yakni untuk PPh Pasal 22. Namun, dalam tulisan ini secara spesifik akan dibahas mengenai perbedaan pemungutan PPN dan pemotongan PPh serta prinsip-prinsip yang menyertai dua istilah perpajakan ini.
Perbedaan Pemungutan PPN dan Pemotongan PPh
Perbedaan utama antara pemungutan PPN dan pemotongan PPh terletak pada pengertian dasar kedua istilah ini. Pemungutan PPN dapat diartikan sebagai kegiatan memungut sejumlah pajak yang terutang atas suatu transaksi, dalam hal ini PPN.
Sementara, pemotongan PPh diartikan sebagai kegiatan memotong sejumlah pajak yang terutang dari keseluruhan pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak. Pemotongan pajak ini dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan pembayaran terhadap penerima penghasilan. Pihak pembayar bertanggungjawab atas pemotongan dan penyetoran serta pelaporannya.
Secara sederhana, pemungutan PPN merupakan kegiatan menambah jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya diterima. Kegiatan pemungutan PPN ini dilakukan oleh pihak penerima pembayaran atau penjual Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Sementara, pemotongan PPh merupakan kegiatan mengurangi pembayaran atau jumlah yang diterima. Kegiatan pemotongan PPh ini dilakukan oleh pembeli BKP/JKP.
Prinsip Pemungutan PPN dan Pemotongan PPh
Dipandang dari prinsipnya, pemungutan PPN dan pemotongan PPh sama memiliki prinsip self assessment, dalam arti pemungut dan pemotong diberikan kepercayaan oleh pemerintah untuk melakukan penghitungan, pemungutan dan pemotongan serta menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
Namun, dalam pemotongan PPN berlaku beberapa prinsip, yakni prinsip tempat asal, prinsip tempat tujuan. Prinsip tempat asal merupakan prinsip dimana barang dan jasa dikenakan PPN di tempat barang dan jasa tersebut dibuat atau diproduksi. Artinya, pengenaan pajak dilakukan di negara asal tempat terjadinya pembelian/penyerahan barang sebagai representasi tempat konsumsi. Dalam prinsip ini ekspor diberlakukan sama dengan transaksi domestik.
Sementara prinsip tempat tujuan merupakan prinsip dimana barang danjasa dikenakan PPN di tempat barang dan jasa tersebut di konsumsi tanpa memperhatikan tempat asal barang tersebut di produksi. Prinsip ini membebaskan pajak di negara pengekspor dan mengenakan pajak atas barang dan jasa di negara pengimpor sebagai tempat representasi konsumsi.
Nah, di Indonesia prinsip yang digunakan adalah prinsip tempat tujuan. Jadi, pemungutan PPN dikenakan saat barang tersebut dikonsumsi, sehingga pembayaran PPN atas ekspor bisa diminta kembali dan negara mengenakan pajak atas impor.
Memang, dalam Undang-Undang (UU) PPN tidak secara langsung disebut bahwa Indonesia menganut prinsip tempat tujuan. Namun, jika dilihat secara substansi, pengertian tempat tujuan adalah memberlakukan pemungutan pajak, dalam hal ini pemungutan PPN, ketika barang dan/atau jasa dikonsumsi, mengembalikan pembayaran PPN atas barang ekspor dan mengenakan PPN atas impor. Hal ini secara jelas termaktub dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4 yang menyebutkan bahwa pemungutan PPN dikenakan atas:
- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean.
- Impor BKP.
- Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean.
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
- Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
- Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
- Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP.
- Ekspor JKP oleh PKP.
Sementara, untuk pengenaan pemungutan PPN 0% untuk ekspor dijelaskan pada Pasal 7 Ayat (2), yang menyatakan bahwa tarif PPN sebesar 0% diterapkan pada:
- Ekspor BKP berwujud.
- Ekspor BKP tidak berwujud.
- Ekspor JKP.
Pengenaan tarif 0% pada ekspor BKP/JKP bukan berarti atas ekspor tersebut dibebaskan dari pemungutan PPN. Pengenaan tarif 0% di sini dapat berarti bahwa pajak masukan yang telah dibayarkan untuk perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.